25 April 2024
64 / 100

 

Dimensi.id–“Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun, kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal.” (HR. Bukhari)

 

Tahta sungguh mempesona dan menggoda. Menjadi orang yang memegang kuasa kini jadi incaran manusia. Segala cara ditempuh untuk mewujudkannya. Tak peduli benar salah atau halal haram.

 

Politisasi Bansos

 

Bantuan sosial bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Bantuan sosial atau Bansos hadir sebagai bagian dari skema perlindungan sosial oleh negara. Tapi, menjelang pemilu saat ini program pembagian Bansos dipolitisasi.

 

Viral di media sosial, video yang memperlihatkan Bansos beras dari Bulog berwajah salah satu pasangan calon Pilpres. Tak hanya itu, dilansir dari laman Kompas, Kamis (18/1/2024), ditemukan kasus-kasus politisasi bansos oleh caleg di daerah pemilihan. Dengan modus memanipulasi Program keluarga Harapan (PKH), para caleg menunggangi pesan agar para pemilih di daerah itu mencoblos sang caleg nantinya.

 

Bantuan sosial berbentuk beras 10 kg dan Bantuan Langsung Tunai senilai Rp 200ribu per bulan kian masif dibagikan. Berdasarkan data BBC Indonesia (30/1/2024), total alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp433 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih tinggi daripada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022).

 

Publik pun membaca kemana arah masifnya Bansos Jelang Pemilu ini. Tidak jauh dari upaya menyandera dan membeli suara rakyat saat Pemilu nanti. Bawaslu sebagai pihak yang mengawasi pelanggaran selama kampanye dan pemilu hanya bisa menghimbau. Sebagaimana disampaikan oleh Totok Hariyono, anggota Bawaslu bahwa Bawaslu sudah memberikan imbauan kepada presiden, termasuk pejabat negara agar tidak melakukan tindakan yang melanggar larangan kampanye atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Sebagai negarawan, tentu [presiden] sudah sangat memahami tentang etika bernegara.

 

Godaan Pemegang Kuasa

 

Nikmatnya duduk di kursi kekuasaan membuat para penguasa tergiur melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Setiap peluang dan kesempatan yang ada akan digunakan secara optimal, tak peduli melanggar etika bahkan hukum yang ada. Penyalahgunaan kekuasaan dan uang negara ibarat aji mumpung yang biasa dilakukan.

 

Inilah wajah buruk demokrasi yang meniscayakan kebebasan berperilaku. Apalagi aturan agama dijauhkan dari kehidupan yang ada, tak mempan bicara halal haram pada mereka.

 

Bukan tanpa sebab, perilaku menyedihkan para pejabat terjadi karena rendahnya kesadaran politik masyarakat. Masih banyaknya masyarakat yang bisa diiming-imingi janji manis, diberi uang dan barang menunjukkan buruknya pendidikan negeri ini dan putus asanya rakyat di tengah kemiskinan yang kian mencekik. Akhirnya, rakyat pun berpikir pragmatis, asal dapat materi, suara mereka bisa dibeli.

 

Ini jadi pukulan bagi pemerintah, harusnya pemerintah serius mengatasi kemiskinan yang kian menggurita. Bukannya, mempolitisasi dan mengeksploitasi kemiskinan yang diderita oleh rakyat.

 

Bansos Bukan Solusi

 

Bantuan sosial berupa 10 kg beras dan uang Rp 200rb per bulan bukan solusi atas kemiskinan yang rakyat derita. Lebuh kompleks dari sekedar bagi-bagi materi yang tak seberapa dan sementara. Kemiskinan yang terjadi di negeri ini adalah hasil dari penerapan kapitalisme yang menguntungkan para pemodal saja.

 

Atas nama rakyat, pemerintah negeri memberikan sumber kekayaan alam negeri kepada asing, aseng dan swasta lainnya. Sementara rakyat harus berjuang mengais rezeki diantara limbah dan kerusakan lingkungan yang dibuat para pengusaha.

 

Bukan dengan sistem kapitalisme demokrasi yang ada saat ini kita bisa keluar dari himpitan kemiskinan dan godaan penyalahgunaan kekuasaan dan uang negara. Melainkan dengan sistem Islam yang datang dari Sang Pencipta. Aturan yang dibawa oleh manusia pilihan, Nabi Muhammad saw. Aturan gemilang dan cemerlang saat diterapkan dalam kehidupan selama 13 abad.

 

Islam melarang penguasaan sektor kepemilikan umum oleh swasta baik itu pribumi atau asing dan aseng. Negara diberikan kewajiban untuk mengelolanya dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Bisa jadi negara memberikan produk jadi seperti BBM, atau layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan yang gratis tapi berkualitas.

 

Dalam Islam, para penguasa harus sadar bahwa posisi mereka bukan atasan tapi abdi bagi rakyatnya. Islam pun senantiasa mengingatkan bahwa kekuasaan dalam amanah yang berat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt di akhirat kelak. Sehingga lahirlah para penguasa yang takut mendzalimi rakyatnya, takut melanggar hukum syarak. Takkan berani menyalahgunakan kekuasaan dan uang negara demi mencapai ambisi politiknya.

 

Lahirlah pemimpin yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin yang beriman dan bertakwa pada Allah swt. Juga memiliki potensi yang tinggi sehingga tak perlu pencitraan agar disukai rakyat.

 

Bukan hanya itu, politik dalam Islam bukan melulu tentang pemilu. Tapi, mengenai urusan ummat termasuk kriteria pemimpin yang baik dalam Islam. Maka, rakyat akan senantiasa diedukasi tentang hal ini bukan hanya saat menjelang pemilu, tapi bisa jadi dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Sebagaimana banyak hadist Rasul tentang kepemimpinan.

 

Wallahua’lam bish shawab.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.