4 Mei 2024

Pandemi telah setahun berlalu. Bukan hanya berdampak pada ketidakstabilan ekonomi global, faktanya pandemi juga telah menimbulkan masalah sosial, khususnya dalam interaksi masyarakat dan keluarga. Pandemi yang membatasi mobilitas manusia, tak luput mengubah kondisi interaksi keseharian dalam keluarga.

Bahkan tak sedikit kemudian hubungan suami istri mengalami guncangan. Mungkin karena intensitas bertemu yang terlalu panjang dan berbeda dari biasanya (sebelum pandemi) ataupun karena ekonomi rumah tangga diterjang pandemi. Tak dimungkiri, ambruknya ekonomi global turut berdampak pada ekonomi rumah tangga.

Terlebih lagi pondasi bangunan keluarga minim nilai-nilai agama, sehingga amat rentan, terutama dalam kondisi dan situasi yang serba tak jelas seperti saat ini. Akhirnya, interaksi antara anggota keluarga yang buruk melahirkan banyaknya kerusakan sosial dalam lingkup internal keluarga.

Mulai dari kasus kekerasan seksual hingga pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya hingga seorang ibu yang melakukan hubungan seksual dengan anak laki-lakinya hingga kasus pembunuhan anak oleh orang tuanya dan berbagai problem kehidupan lainnya.

Awal maret lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020 di Mercure Hotel, Jakarta.

Merujuk pada CATAHU 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 12 tahun kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen.

Angka kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es yang tak kunjung menemukan titik penyelesaiannya. Bahkan di ranah personal, CATAHUN 2020, mencatat ada kenaikan angka kasus kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 65% dari tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2019 tercatat ada 2.341 kasus, yang didominasi oleh kasus inses sebanyak 770 kasus.

Menurut Mariana, banyaknya kasus inses terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi tidak aman bahkan dengan orang terdekat. Salah satu kasus inses yang ditangani langsung oleh Komnas Perempuan adalah perkosaan yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya.

Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat bentuk atau pola baru dari kekerasan terhadap perempuan yakni kekerasan berbasis gender online. Berdasarkan CATAHU 2020, angka kekerasan berbasis gender online ini terus meningkat, sepanjang tahun 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.

Kekerasan siber meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil temuan Komnas Perempuan, anak perempuan dan perempuan kerap kali menjadi korban penyebaran video dan foto porno dari pacar dan atau orang terdekatnya.

Nyatanya, saat ini monster yang menakutkan bagi seorang anak perempuan dan perempuan bukan lagi orang jauh atau asing, tapi ayah ataupun suami atau orang dari lingkungan terdekatlah yang menjadi musuh menakutkan dan harus dihindari. Naudzhubillah.

Solusi Salah Kaprah Ala Kaum Feminis

Berbagai persoalan yang menimpa kaum perempuan dan anak, tentu tak dilewatkan para kaum feminis untuk menggulirkan isu disparitas gender. Pejuang kesetaraan gender yang memang mangasosiasikan rumah tangga sebagai salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan, kembali mendapat momentum untuk terus menyuarakan pembebasan kaum perempuan dan anak. Para feminis  menempatkan ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan sebagai masalah utama kekerasan terhadap perempuan.

Mereka mengatakan, ada konstruksi seksualitas di masyarakat patriarki yang mewajarkan laki-laki bersikap agresif terhadap perempuan, sehingga permisif terhadap kekerasan seksual. Perempuan menjadi pihak yang disalahkan. Misal, ada pelembagaan bahwa perempuan tidak boleh keluar malam, tidak boleh pakai baju terbuka, dan sebagainya. 

Mestinya, penting berpikir bahwa laki-laki juga harus mengontrol tubuhnya, menahan diri dan tidak berpikiran kotor. Jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan, bukan perempuan yang mesti disalahkan, tetapi bahwa pelaku harus dihukum dengan seberat-beratnya.

Padahal jika ditelaah lebih jauh dengan melihat fakta ataupun data dilapangan, ada kontradiksi yang sangat jelas antara tuntutan adanya UU perlindungan terhadap perempuan dan anak dengan tuntutan untuk ‘membebaskan’ perempuan. 

Ada kontradiksi antara himbauan untuk menghormati perempuan dan membiarkan perempuan terjebak dalam perkembangan industri iklan, bisnis dan hiburan yang jelas hal tersebut mengeksploitasi perempuan; juga pembiaran terhadap peredaran minuman keras, penyalahgunaan narkoba dan hiburan porno yang memicu laki-laki memperkosa perempuan.

Kontradiksi inilah yang menjadi ciri khas idelogi kapitalis liberal. Ideologi ini menyanjung nilai-nilai kebebasan individu dan mengabaikan akibat buruk pada masyarakat. Kebutuhan individu manapun mesti dipenuhi selama mereka menginginkannya. Tidak peduli apakah keinginan itu benar atau salah.  Kapitalisme menganggap bahwa unsur masyarakat hanya individu saja. 

Mereka menafikan aturan, pemikiran dan perasaan yang dibentuk oleh aturan tersebut.  Fokusnya pada kepentingan individu dan mewujudkan semua kebutuhannya. Aturan dibuat ketika muncul pergesekan atau konflik di antara kepentingan individu-individu tersebut.  Sebab itu, aturan dari ideologi kapitalis seperti ‘pemadam kebakaran’. 

Baru dirumuskan jika masalah sudah terjadi. Bersifat tambal sulam dan kontradiktif. Tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Selamanya masyarakat di sistem kapitalis liberal akan bergulat dengan masalah yang tidak kunjung usai, seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak ini.

Oleh karena itu, penanganan kekerasan terhadap perempuan tanpa kembali pada persoalan dasar manusia tentu tidak akan menemukan titik terang yang menunjukkan solusi. Keyakinan feminis bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat diselesaikan dengan legislasi UU, namun tidak mempersoalkan bercokolnya ideologi kapitalis yang sangat menyanjung kebebasan individu dan merendahkan martabat perempuan, adalah kesia-siaan.  Sebab di satu sisi mereka minta perempuan di-’merdeka’-kan dengan tidak diikat nilai atau aturan yang mengekang, apakah itu agama atau budaya.

Di sisi lain mereka tidak bisa menolak doktrin kapitalisme yang mewajibkan pemenuhan kepentingan individu, apa dan siapapun itu.  Mereka tidak memahami bahwa berbagai persoalan yang menimpa perempuan sesungguhnya lahir dari ide kebebasan ini.

Penanganan yang sungguh-sungguh atas kasus ini memerlukan sistem pemerintahan yang menjamin perwujudan perlindungan terhadap perempuan sebagai pilar utama di setiap level kebijakan.

Jaminan Perlindungan Sejati

Sesungguhnya yang memahami potensi dan karakter manusia itu adalah Pencipta-Nya sendiri, Allah SWT.  Zat Yang Maha mengetahui ini telah menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan sekaligus menurunkan syariah untuk mengaturnya. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah menjamin keselamatan dan keamaan bagi kaum perempuan dan anak.

Sistem Islam telah mengatur interaksi lawan jenis dalam masyarakat, yang tidak akan menimbulkan kekerasan terhadap perempuan dan persoalan lain yang ditimbulkan dari interaksi ini.

Adapun jaminan perlindungan dari Islam untuk Perempuan antara lain, pertama,Jaminan dengan Sistem Pergaulan. Dalam Memandang perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dalam kehidupan domestik dan publik.  Rasulullah saw. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (Perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).”

Di rumah tangga, mereka seperti dua orang sahabat yang saling support kebutuhan masing-masing. Bekerjasama dalam mendidik generasi. Dalam kehidupan publik mereka adalah mitra sejajar dalam memajukan masyarakat. Tidak membenarkan memandang perempuan sebagai obyek pemuas hasrat seksual. Islam membatasi perbincangan seksual hanya dalam ranah domestik, di antara suami-istri. 

Pandangan ini diedukasi dalam pendidikan keluarga oleh orangtua, juga di sekolah formal termasuk pendidikan non-formal di masyarakat. Dengan itu terbentuk pandangan khas masyarakat Islam terhadap interaksi laki-laki dan perempuan dalam rangka melestarikan manusia dan bukan pandangan seksualitas semata, seperti pandangan Barat sekular.

Perintah kepada laki-laki dan perempuan untuk menutupi auratnya dan menjaga kemaluannya. Pasalnya, semua bermula dari pandangan yang tidak dijaga, yang akan menjerumuskan pada keharaman. Memudahkan urusan untuk menikah. Tidak mempersulit. Pasalnya, menikah adalah sarana penyaluran naluri seksual yang sah.

Menikah juga akan menjaga kehormatan masing-masing pasangan. Islam juga melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj=menonjolkan kecantikan kepada laki-laki lain) yang merangsang naluri seksual laki-laki. Mencegah laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas yang merusak akhlak. 

Perempuan tidak dibolehkan bekerja yang mengeksploitasi sisi kewanitannya, seperti menjadi SPG, dan lain-lain. Memerintahkan mahram untuk menemani perjalanan perempuan yang lebih dari sehari semalam dalam rangka menjaga kehormatannya.

Kedua, Jaminan dengan Sistem Penerangan dan Media. Negara dalam system Islam akan senantiasa mengawasi pemilik media massa untuk tidak menyebarkan konten porno dan akan menindak tegas jika melanggar dengan mencabut izin pendiriannya.

Ketiga, Jaminan dengan Sistem Ekonomi.  Menjamin kebutuhan finansial perempuan melalui pemberian nafkah oleh wali atau suaminya. Tidak mewajibkan wanita bekerja.  Dengan itu ia dapat menjalankan secara sempurna tugas utama dan strategisnya dalam mendidik dan menjaga generasi.

Keempat, Jaminan dengan Sistem Sanksi. Sistem Islam akan akan menangani kelemahan individu yang terjerumus dalam penyimpangan dengan hukum yang jelas dan tegas. Menghukum pelaku pelecehan seksual, pemerkosan, pacaran, pembunuhan dan sejenisnya dengan hukuman setimpal.

Masya Allah. Sungguh sangat detail Islam mengatur perlindungan terhadap perempuan, oleh karena itu hanya Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan perempuan. Jaminan perlindungan pada seluruh sistem di atas hanya bisa diterapkan oleh negara yang menjadikan syariah Islam sebagai sumber aturan. 

Negara yang menolak prinsip-prinsip rusak kapitalisme liberal dan mengagungkan nilai-nilai ketakwaan serta  melarang segala bentuk aktivitas yang menjadikan perempuan sebagai obyek komoditas dan merendahkan perempuan. 

Negara yang memberi rasa aman pada perempuan baik di dalam rumah maupun diluar rumah, tapi juga memberi kesempatan pada perempuan berkontribusi aktif di bidang politik, pendidikan, ekonomi dan layanan publik lain yang bebas dari pelecehan.

WalLâhu a’lam bish shawâb.

Penulis: Tri Wahyuningsih | Pegiat Literasi dan Media

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.