3 Mei 2024

Dimensi.id-Setiap orang tentu mendambakan kehidupan keluarga yang harmonis, tenteram, bahagia dan sejahtera bersama orang-orang tercinta, yaitu istri/suami, anak-anak, orang tua dan anggota keluarga lainnya.

Bersama-sama saling menjaga, memupuk cinta dan kasih sayang dalam bahtera rumah tangga, hingga kelak akan berlabuh ke Syurga-Nya.

Namun sejak hadirnya wabah virus corona, membuat aktivitas dunia seakan berhenti pada satu titik. Semua orang dipaksa untuk menerima situasi dan kondisi yang serba sulit, sehingga tidak sedikit orang yang harapan dan cita-citanya hancur berkeping-keping, termasuk harapan untuk dapat hidup tenang dan bahagia ditengah-tengah keluarga.

Pandemi virus corona hingga saat ini masih merajai, belum ada yang sanggup menaklukkan mahluk tak berotot dan tak berbobot ini.

Kemunculannya sanggup meluluhlantakkan semua aspek kehidupan manusia, bahkan negara-negara raksasa kapitalis dunia saat ini, masih kewalahan dalam menanggulanginya, apalagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, sudah dapat dipastikan “pontang-panting” dalam mengantisipasi serangan virus mematikan ini.

Virus corona atau Covid-19 yang diketahui awal kemunculannya pada Desember 2019 lalu itu, kini telah memporakporandakan berbagai sektor kehidupan manusia, diantaranya adalah sektor kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, keagamaan dan lain-lainya.

Munculnya pandemi virus corona lambat laun mulai mengancam keharmonisan dan keutuhan dalam rumah tangga, salah satu contohnya adalah mencuatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang akhir-akhir ini semakin meningkat.

Menurut Kombes. Pol. Hendra Kurniawan, di wilayah Bandung saja saat ini sudah terjadi peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tercatat ada tujuh kasus per bulan, padahal sebelum ada kejadian luar biasa (wabah virus corona), jumlah laporan dari masyarakat tentang  kekerasan dalam rumah tangga  hanya satu kasus per bulan.

Menurut beliau, meningkatnya jumlah kasus KDRT dipicu oleh  faktor ekonomi, diantaranya karena banyaknya pekerja (karyawan) yang terpaksa dirumahkan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan, dan banyak perusahaan yang mem-PHK-kan para karyawannya secara sepihak, menyusul kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem social distancing, PSBB (Penerapan Sosial Berskala Besar) dan program-program lainnya, dalam menangani pandemi ini.

Para korban PHK ini akhirnya banyak yang tinggal di rumah saja, berkumpul dengan istri dan keluarganya, namun hidup dalam keadaan ekonomi yang sempit dan morat-marit, tanpa penghasilan, sedangkan kebutuhan hidup pokok mereka terbengkalai.

Pada saat seperti inilah muncul konflik yang disebabkan karena kepanikan dan rasa cemas yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kehilangan “sense of kontrol”, yaitu bertindak cepat menuruti kata hati, tanpa mau berpikir panjang, sehingga terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemukulan, pemaksaan, pelecehan, perampasan, dan lain-lain.

Para pelaku sudah tidak memiliki rasa takut terhadap siapapun, bahkan mereka berani melanggar Undang-undang yang ada, seperti Pasal 1 UU PKDRT yang menyatakan bahwa; Tindakan kekerasan rumah tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang (terutama perempuan) yang berakibat timbulnya kesengsaraan/penderitaan rumah tangga yang secara fisik, seksional, dan atau menelantarkan rumah tangga, termasuk ancaman untuk perbuatan, pemaksaan, atau perampasan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kasus KDRT seperti fenomena gunung es karena kemungkinan faktanya jauh lebih banyak daripada yang tercatat dalam buku laporan, mengingat petugas kepolisian hanya menangani kasus yang masuk kedalam berkas perkara. Kenyataanya banyak tindakan KDRT yang tidak dilaporkan ke petugas terkait dengan berbagai alasan (http://www.dara.co.id)

Di Bandung, banyaknya jumlah kasus KDRT ini sebanding dengan banyaknya kasus tindak kekerasan lainnya seperti curat, curanmor dan lain-lain. Pihak kepolisian Kabupaten Bandung telah menangani 18 kasus kejahatan dalam sebulan ini.

Langkah pemerintah dalam menangani wabah virus corona selama ini, seperti penerapan Sosial Distancing yang diberlakukan oleh pemerintah, dimana solusi ini tidak dibarengi dengan informasi yang akurat, kurangnya edukasi kepada masyarakat, serta minimnya fasilitas pemenuhan kebutuhan pokok dasar manusia oleh negara.

Negara dalam hal ini dinilai abai terhadap nasib rakyatnya.

Semua ini mencerminkan betapa buruknya kinerja pemerintah dalam menangani kasus demi kasus yang terjadi.

Ditengah-tengah musibah pandemi covid-19 ini, seharusnya negara hadir dan berdiri di garda terdepan dalam upaya menanggulangi berbagai persoalan terkait dampak pandemi Covid-19. Sejak awal Pemimpin negara kita telah salah langkah, yaitu menolak usulan agar negara kita melakukan sistem lockdown atau karantina wilayah, padahal lockdown ini merupakan cara jitu (dari ajaran Islam) untuk mengunci dan menghentikan penyebaran wabah penyakit menular, seperti virus corona atau Covid-19.

Lockdown bertujuan untuk membatasi pergerakan orang agar tidak memasuki daerah yang telah terpapar wabah, dan melarang orang keluar dari wilayah wabah, sehingga tidak menular ke daerah lain.

Pada saat lockdown atau karantina wilayah ini diterapkan, maka pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang terkena kebijakan lockdown ini, sehingga rakyat yang dikarantina (dilockdown) merasa tenang diam di rumahnya, tanpa harus memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Rakyat akan patuh terhadap himbauan dari pemerintah, dan tidak mungkin berkeliaran di jalan-jalan untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

Dengan demikian, kondisi ditengah-tengah masyarakat yang dikarantina pun akan tetap stabil dan tidak akan menimbulkan gejolak sosial, seperti yang terjadi saat ini.

Islam adalah agama yang sempurna, dalam ajaran Islam, seorang pemimpin (kepala negara) berkewajiban mengurus urusan rakyatnya (ri’ayatusy syu’unil ummah).

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,

“Barang siapa yang diangkat oleh Allah, menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan hidup mereka, perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka, maka Allah akan menutupi (dirinya) tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatiannya, dan kemiskinannya (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi dan Abu Maryam).

Menjamurnya korban PHK, yang kemudian ‘menjelma’ menjadi warga Miskin Baru (misbar), yang berimbas pada maraknya tindak kekerasan dan kriminal ( termasuk tindakan KDRT), jelas merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mengatasi multi krisis di negeri ini.

KDRT dalam pandangan Islam adalah bentuk perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pasangan suami istri atau anggota keluarga lain, karena merupakan perbuatan yang tercela dan pastinya akan mendapat siksa (azab).

Sistem Islam mengajarkan kepada para suami agar memperlakukan istrinya dengan baik, seperti hadits dari Rasulullah Saw berikut ini,

“Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik perlakukannya kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik perlakukannya kepada keluargaku (H.R. Ibnu Manah).

Maka hendaklah kita mengikuti teladan dari rumah tangga Rasulullah Saw dan para sahabat nabi, agar terbentuk keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah.

Terkait masalah KDRT yang kembali mencuat gegara ketidaksigapan pemerintah dalam mengatasi musibah pandemi Covid-19, maka penyelesaiannya tentu tidak bisa dilakukan oleh individu atau kelompok saja, namun membutuhkan peran Pemimpin negara.

Berbagai masalah yang muncul hari ini tentu menuntut adanya perubahan yang mendasar.

Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu memberikan solusi terbaik dalam setiap permasalahan umat (rakyat), baik itu urusan individu, kemasyarakatan atau yang menyangkut urusan negara, karena sistem pemerintahan Islam bersumber dari Wahyu Allah SWT, dimana setiap penyelesaian masalah selalu merujuk kepada kitabullah dan sunnatullah.

Dengan sistem pemerintahan Islam akan lahir pemimpin-pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab atas segala  permasalahan yang dihadapi oleh rakyatnya, pemimpin yang cinta terhadap rakyat, dan rakyatnya pun akan cinta terhadap  pemimpinnya.

Dengan demikian, syari’at Islam yang diterapkan secara Kaffah (menyeluruh), merupakan kebutuhan yang sangat mendesak di  negeri ini.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Penulis : Sumiyah Ummi Hanifah (Member AMK Dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.