18 Mei 2024

Peristiwa Agung yang penuh berkah,  Isra’ Mi’raj. Dimana Allah Swt memperjalankan hambanya dari Masjidil Haram ke kemasjidil Aqsa lalu naik ke Sidrotul Muntaha pada langit ke tujuh. Perjalanan yang sekejap, bisa di pahami dari kata ‘Lailan”  dalam surat Al Isra’ ayat pertama artinya semalam, dalam tafsir bermakna kejadian yang cepat. Subhanalloh, perisriwa di luar hukum alam yang menegaskan posisi manusia saat itu.

Bagi yang benci semakin keras permusuhannya, yang bimbang menjadi murtad. Sebaliknya, yang beriman semakin yakin akan kenabian Muhammad  dan kebesaran Allah, Rabb semesta alam. Jika pengaruhnya demikian, tentu Isra’ Mi’raj bukanlah peristiwa biasa tanpa makna. Terlalu naif jika hanya dilalui dengan sekedar seremonial saja.

Peristiwa demi peristiwa dalam Isra’ Mi’raj, memiliki isyarat atau maksud-maksud tertentu yang bisa dipahami hanya  bagi pemikiran cemerlang. Salah satunya yang kita pantas dan bahkan harus memahiminya adalah maksud yang bersifat politik. Maksud itu tampak saat Rosul dalam Isra’nya di Baitul Maqdis, sholat bersama para nabi dimana beliau sebagai imamnya.

Setelah itu dibawakan 2 gelas untuk beliau, gelas berisi susu dan satu lagi berisi khomer. Beliau Saw memilih gelas berisi susu dan meminumnya. Lalu Jibril berkata: Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah membimbing umatmu, wahai Muhammad. Apa yang bisa kita pahami dari peristiwa ini?

Dimensi Politik

Dengan tampilnya Rosul sebagai imam para nabi, menunjukkan secara tidak langsung sebagai kesepakatan dan pengakuan para wakil semua umat terhadap kepemimpinan Rosululloh Saw. beserta risalah yang dibawanya. Pengakuan yang kukuh yang membawa pada perubahan politik yang sangat mendasar.

Kepemimpinan sebelumnya selalu dibawa oleh para nabi dari kalangan Bani Israil. Dan telah dicabut tongkat kepemimpinannya serta diserahkan kepada Muhammad dan umatnya. Mengapa ini terjadi? Peralihan kepemimpinan itu merupakan sunnatullah pada setiap umat sebagaimana firman Allah dalam surat:

 وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia…” (QS Ali Imran ayat 140).

Meski sunnatulloh pergantian kepemimpinan ini tidak begitu saja terjadi. Ada syarat atau kondisi tertentu yang menjadikan kepemimpinan itu beralih. Sesungguhnya kepemimpinan dunia sebelumnya ada ditangan bani Israil. Namun mereka kemudian mencoba mengubah agama-agama mereka, mengganti petunjuk-petunjuk yang menjadi ciri khasnya.

Maka agama yang sudah berubah ini tidak layak lagi menjadi pemimpin dunia, otomatis pengemban agama ini juga tidak berhak dengan kepemimpinan ini. Maka Allah mencabut kepemimpinan ini dan menyerahkan kepada umat yang lain. Dan isyarat dalam Isra’ Mi’raj itu bahwa kepemimpinan diserahkan kepada Muhammad dan umatnya. Allahu Akbar. Bagaimana wujud kepemimpinan Muhammad dan umatnya?

Isyarat Terwujud Dengan Tegak Daulah Islam

Satu tahun setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, berdirilah Daulah Islam di Madinah AlMunawwaroh. Sistem pemerintahan berdasar Islam. Sistem dari Ilahi yang sesuai dengan fitrah   manusia. Muhammad Saw memulai kepemimpinannya. Kerena sesungguhnya sebelum Nabi Saw. wafat, Allah telah menaklukkan baginya Mekah, Khaibar, Bahrain, dan semua kawasan Jazirah Arabia serta negeri Yaman seluruhnya. Beliau Saw. sempat memungut jizyah dari orang-orang Majusi Hajar dan juga dari para penduduk yang ada di pinggiran negeri Syam (yang berada di dekat negeri Arab).

Berbagai macam hadiah berdatangan kepada beliau Saw. dari Heraklius (Kaisar Romawi), penguasa negeri Mesir dan Iskandariah (yaitu raja Muqauqis), raja-raja negeri Amman (oman), dan Raja Negus (raja negeri Abesinia yang bertahta sesudah As-hamah rahimahullah).

Setelah beliau wafat sistem ini dilanjutkan dengan tegaknya kekhilafahan ‘alaminhajin nubuwwah, dilanjutkn dengan khilafah Umayyah, Abassiyah dan Usmaniyah. Hampir 1400 tahun kepemimpinan itu berlangsung. Subhanalloh. Allah telah memenuhi janjiNya sebagaimana dalam surat Annur:55

{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (55) }

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Janji itu datang ketika umat Muhammad menjadi umat yang layak menerima kepemimpinan tersebut. Sebagaimana Al-Qur’an mengisyaratkan umat Islam dengan “khairu ummat”, umat terbaik atau umat pilihan.

Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imrān/3:110).

Rasulallah saw ditanya tentang “khairu umat.”

Beliau menjawab, khairu umat itu mempunyai empat syarat, yaitu; Pertama, mereka yang paling banyak membaca teks maupun konteks. Kedua, orang yang paling bertaqwa, baik individual maupun sosial. Ketiga, orang yang paling banyak membangun jaringan silaturahim. Keempat, mereka selalu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Realitas Kondisi Umat Islam

Sejak tahun 1924 dengan hilangnya Khilafah Usmaniyah, praktis umat Islam tidak lagi memiliki dan menjadi pemimpin dunia. Persis dengan kondisi Bani Israil kalau itu. Umat Islam mulai meremehkan agamanya, menjual agamanya dengan harga yang murah untuk dunia mereka. Namun Maha Besar Allah yang senantiasa melindungi agama ini sehingga masih terjaga kemurniannya. Kondisi umat yang miris, dijajah, didzolimi dan dieksploitasi alamnya oleh bangsa lain tanpa mampu membela. Jauh dari kata khoiru ummah.

Pertanyaannya maukah kita dengan agama yang masih murni ini bangkit dan melakukan perubahan? Perubahan untuk mengambil kepemimpinan lagi. Tidak ada jalan lain, umat ini harus segera melayakkan diri dengan memperjuangkan Khilafah.  Kenapa khilafah? Karena hanya dengannya umat Islam menjadi satu dan mampu memimpin dunia. Kepemimpinan itu akan kembali sebagaimana bisyaroh Rosululloh Shollallahu ’alaih wa sallam dalam sebuah hadist :

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ

خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (أحمد)

“Muncul babak Kenabian di tengah kalian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Raja-raja yang menggigit selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak  selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian. Kemudian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diam.” (HR Ahmad).

Inilah dimensi Politik yang bisa kita petik dari momentum Isra’Mi’raj Mi’raj.

Wallahua’lambishowab

Penulis: Nuha

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.