2 Mei 2024
13 / 100

 

Oleh Reni Rosmawati

Ibu Rumah Tangga 

 

Betapa malang nasib pengungsi Rohingya. 

Akibat pengusiran dari negeri asalnya, hingga kini, mereka terkatung-katung. Bahkan, tiga kapal pengungsi etnis muslim Rohingya diketahui kembali berlayar di pesisir pantai Aceh. Satu kapal yang berisi kapal yang berisi 249 orang pengungsi yang mendarat di bibir pantai Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka Bireuen, mendapatkan penolakan dari warga Aceh setempat. Meskipun demikian, warga Aceh tetap memberikan bekal makanan dan minuman kepada para pengungsi Rohingya. (DetikSumut, 19/11/2023)

 

Menanggapi hal ini, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International menilai tindakan penolakan tersebut merupakan kemunduran adab bangsa ini. Menurutnya respon penolakan sejumlah pihak tersebut merupakan tindakan tidak bertanggung jawab. (Tirto.id, 19/11/2023)

 

Sementara itu, menurut Juru Bicara Keamanan Luar Negeri, Muhammad Iqbal,  Indonesia tidak memiliki kewajiban menerima pengungsi Rohingya. Karena Indonesia bukan negara yang meratifikasi konvensi mengenai status pengungsi internasional tahun 1951. (Antaranews.com, 16/11/2023)

 

Tidak Memiliki Status Kewarganegaraan 

 

Etnis Rohingya merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah Arakan, Negara bagian Myanmar. Sejak tahun 1948 tepatnya sejak berlakunya akta asing yang disusun oleh Inggris pada tahun 1864, etnis Rohingya memiliki problematik kewarganegaraan. Puncaknya setelah ditetapkannya undang-undang kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982. Di mana dalam undang-undang tersebut disebutkan kelompok atau etnis yang diakui sebagai warga Myanmar adalah mereka yang memiliki nenek moyang dan hidup di Myanmar sejak tahun 1823. 

 

Semenjak saat itu hingga kini etnis Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan (stateless). Pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh karena fisik mereka memiliki kemiripan. Setelah kejadian itu, berbagai penderitaan terus menghujani etnis Rohingya, mereka disiksa hingga dibunuh. Sehingga menyebabkan warga Rohingya mengungsi ke beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia untuk mencari perlindungan. (maksigama.wisnuwardhana.ac.id, 12/4/2017)

 

Bukan Sepenuhnya Salah Warga Aceh 

 

Faktanya, pengungsi Rohingya memang kerap berlabuh di perairan utara Indonesia untuk mencari perlindungan. Sejak beberapa tahun lalu, warga Indonesia pun telah legowo menerima pengungsi Rohingya di wilayah mereka. Melansir dari Setnasasean.id (15/9/2020), ratusan pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Aceh diterima dengan baik oleh warga setempat. Aksi warga Aceh ini pun mendapat pujian dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR). Namun seiring berjalannya waktu, para pengungsi Rohingya diketahui tidak tertib, mereka kerap melarikan diri. Inilah yang melatarbelakangi warga Aceh menolak pengungsi Rohingya, karena pengalaman menampung sebelumnya yang tidak tertib. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Kepala Desa Ule Madon, Rahmat Karpolo. (Soclyfe.com, 16/11/2023)

 

Dari fakta ini, kita bisa melihat bahwa penolakan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya, bukanlah sepenuhnya kesalahan warga Aceh. Karena warga Aceh sedari awal sudah menerima pengungsi Rohingya. Akar kesalahan sebenarnya adalah ada pada negara yang tidak memberi jaminan keamanan dari gesekan sosial yang berpotensi muncul ketika menerima arus pengungsi. Tersebab itu, menganggap tindakan penolakan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya sebagai kemunduran adab bangsa ini, adalah hal yang tidak sepenuhnya tepat. Karena hanya peran negara dengan segala otoritasnya lah yang akan mampu meminimalisasi gesekan yang terjadi antara warga Aceh dengan para pengungsi Rohingya. 

 

Ratifikasi Konvensi PBB

 

Sejatinya, masalah pengungsi Rohingya adalah masalah kita bersama. Sayangnya, hingga kini dunia belum mampu memberikan solusi tuntas atas pengungsi Rohingya. Apalagi tidak semua negara meratifikasi konvensi tentang pengungsi termasuk Indonesia. 

 

Pada tahun 1951, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah mengadakan ratifikasi konvensi mengenai status pengungsi di Jenewa. Ada 26 negara di Eropa yang tergabung dalam ratifikasi konvensi ini. (unhcr.org)

 

Sementara Indonesia sendiri, tidak turut serta dalam konvensi tersebut. Sehingga Indonesia merasa tidak berkewajiban menerima para pengungsi internasional. Inilah kiranya yang membuat pemerintah Indonesia setengah-setengah membantu para pengungsi Rohingya. Sebab, tidak mengikuti konvensi PBB. Sementara, Badan PBB bidang pengungsian (UNHCR) pun tidak mampu berbuat banyak terkait pengungsi Rohingya. 

 

Akibat Sistem Kapitalisme-Sekuler 

 

Sungguh, nasib malang yang dirasakan entitas Rohingya adalah akibat tidak adanya sebuah institusi negara yang mampu memberikan perhatian sekaligus menjamin keamanan dan kewarganegaraan bagi mereka. Hal ini karena sistem yang saat ini diadopsi di dunia berbasis kapitalisme-sekuler. 

 

Penerapan sistem kapitalisme-sekuler telah gagal memberikan perlindungan dan keamanan kepada umat Muslim khususnya, umat manusia pada umumnya. 

Atas nama nasionalisme, sistem kapitalisme-sekuler telah sukses memecah belah persatuan umat Muslim di seluruh dunia. Mereka pun akhirnya tidak memiliki institusi negara yang mampu menyatukan, melindungi, dan memberikan jaminan kewarganegaraan. Alhasil, tak sedikit manusia yang menderita akibat sistem ini, seperti entitas Rohingya misalnya. 

 

Sungguh, selama sistem kapitalisme-sekuler masih bercokol di dunia ini, keadilan dan perlindungan bagi umat manusia, khususnya umat Muslim, tidak akan pernah terealisasi. 

 

Islam Solusi Masalah Rohingya 

 

Sebagai agama sempurna, Islam hadir ke dunia ini bukan hanya bersifat sebagai agama ritual belaka. Lebih dari itu, Islam adalah ideologi kehidupan. 

 

Jika Islam diterapkan masalah entitas Rohingya yang terlunta-lunta akibat diusir dari negaranya tidak akan pernah terjadi. Hal demikian karena sistem Islam dengan segala kesempurnaannya akan menjadikan negara berikut penguasa sebagai junnah (perisai) bagi rakyatnya. Ia diwajibkan melindungi, memerhatikan, dan memastikan keamanan rakyatnya. 

 

Rasulullah saw. bersabda:

 

“Sesungguhnya pemimpin laksana perisai. Ia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berpegang di belakangnya, dan ia dijadikan sebagai tameng….” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini menegaskan bahwa negara dan penguasa dalam sistem Islam adalah perisai bagi manusia. Ia akan melindungi manusia, baik Muslim maupun non-muslim di manapun berada, apalagi bagi yang mendapatkan kezaliman. 

 

Sistem Islam, jika diterapkan akan mampu membela kemuliaan dan kehormatan darah setiap warganya, tanpa terkecuali. Hal ini karena sistem Islam akan senantiasa menempatkan syariat Islam sebagai satu-satunya sumber aturan. Karena tujuan Allah menurunkan syariat Islam ke dunia ini adalah untuk mengatur seluruh urusan manusia. Sebab, Allah Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur kehidupan. 

 

Tersebab itulah, dalam catatan sejarah, selama hampir 14 abad lamanya sistem Islam diterapkan, tidak pernah ada satu pun manusia yang terzalimi. Semua manusia bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun hidup tenteram dan aman. Semuanya dijaga dengan segenap jiwa raga. 

 

Sistem Islam menjamin keselamatan warganya di manapun dan kapanpun. Sistem Islam tidak akan membiarkan warga terlebih kaum muslimin mengalami diskriminasi dan pengusiran. 

 

Adapun dalam menjamin keamanan warganya yang tinggal di luar wilayah Islam, maka negara yang menerapkan aturan Islam akan menurunkan pasukan jihadnya jika mengetahui kaum muslimin terancam nyawanya. 

 

Hal ini sebagaimana pembelaan Khalifah Mu’tashim Billah yang mendengar pelecehan seorang wanita oleh tentara Romawi kepadanya. Khalifah langsung mengirimkan pasukan jihadnya untuk melindungi dan membela wanita tersebut. Pasukan jihad ini terdiri dari tentara muslim dan para lelaki dewasa lainnya, serta berada di bawah komando Departemen Jihad. Sehingga pada waktu itu, pasukan jihadnya sangat besar. Bahkan panjang barisan pasukannya tidak putus dari gerbang istana Khalifah di Baghdad sampai Asia Kecil (Amuria). 

 

Demikianlah sekilas gambaran tentang betapa hebatnya sistem Islam dalam menjaga, melindungi, dan memberikan keamanan bagi warganya dan seluruh umat manusia. Semoga pemaparan yang singkat ini mampu membuka mata dan pikiran kita betapa hanya Islamlah satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan seluruh masalah kehidupan sampai tuntas, salah satunya masalah entitas Rohingya. “Wallahu a’lam bi ash-shawwab.”

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.