4 Mei 2024

Penulis : Imas Royani

Dimensi.id-Puluhan mahasiswa Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Mahasiswa Ikopin (Asoemsi Bergerak) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ikopin, menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus Ikopin, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis 23 Juli 2020. Aksi unjuk rasa ini sempat diwarnai bakar ban. Dalam aksinya, mahasiswa dari berbagai jurusan ini menuntut pihak kampus untuk melakukan pemotongan SPP, dan meminta pihak kampus untuk transparansi mengenai keuangan kampus.

Menurut Anggi Agus Hanafiah sebagai koordinator  dalam aksi tersebut ada beberapa tuntutan yang disampaikan kepada pihak kampus, yaitu:

1. Pihak kampus harus memberikan potongan SPP.

2. Transparansi keuangan kampus.

3. Mendorong 88 pihak kampus agar lebih berpartisipasi dalam pengimpletasian,pengembangan dan pembangunan koperasi berskala regional maupun nasional.

Sebelumnya, pihak kampus hanya memberikan subsidi kuota sebesar Rp. 200.000,00. Aksi audensi terbuka ini menindaklanjuti hasil dari audensi ke 1 dan ke 2 atas ketidakpuasaan kebijakan yang diberikan oleh pihak kampus terkait pemotongan biaya SPP. Dalam hal perkembangan, pengimplementasian dan pembangunan koperasi berskala regional maupun nasional, pihak kampus seolah berjalan sendirian.

Kepada NOTIF.ID Anggi mengungkapkan bahwa Koperasi yang ada hanya diperalat untuk dijadikan topeng penerapan ekonomi kapitalis. Misalnya, Kemenkopukm malah bekerjasama dengan salah-satu E-commerce swasta dalam pengembangan dan pendorongan pergerakan koperasi berbasis digital (digitalisasi koperasi), dan hal tersebut diamini oleh Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki. Ikopin sebagai satu-satunya kampus yang berbasis keilmuan koperasi di Indonesia dan Asia seolah-olah kehilangan marwahnya, karena kebijakan pemerintah terlebih Kementerian Koperasi dan UMKM tidak menghiraukan apa yang telah diusahakan oleh Ikopin.

Masih menurut Anggi, dalam pembentukan Undang Undang (Bagian 10 UU Cipta Kerja Pasal 107) yang mengatur tentang perkoperasian, Ikopin sebagai lokomotif keilmuan koperasi sama sekali tidak ikut andil dalam perumusan naskah akademiknya. Asoemsi dan BEM Ikopin mendorong Ikopin untuk menolak RUU Cipta Kerja yang sudah jelas RUU tersebut sangat bertentangan dengan prinsip koperasi dan ekonomi kerakyatan sebagai soko guru perekonomian bangsa,

Sebenarnya tuntutan mahasiswa Ikopin mengenai pemotongan SPP, transparansi keuangan, dan meminta perhatian dalam pengembangan koperasi yg menjadi ciri ikopin, hampir senada dengan tuntutan mahasiswa di kampus lainnya. Karut marut yang terjadi di Pendidikan Tinggi (PT) terkait masalah keuangan dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi yang harus ditanggung oleh mahasiswa, tak terkecuali di masa pandemi covid-19 seperti sekarang ini.  Padahal semenjak terjadinya pandemi ini, hampir 99% proses pembelajaran dilaksanakan secara online dan itu memerlukan biaya yang sangat tinggi mulai dari penyediaan handphone yang harus memadai dan memiliki aplikasi penunjang daring, juga tentunya kuota yang harus selalu ada.

Karena pembelajaran dilaksanakan secara online, maka otomatis pasilitas kampuspun sebenarnya tidak digunakan. Dan itulah yang dikeluhkan oleh mahasiswa. Seharusnya kampus memberikan kebijakan berupa menghapus biaya atau setidaknya mengurangi biaya SPP/UKT yang membebani mahasiswa. Secara saat ini pengeluaran mahasiswa menjadi berlipat dan semakin membengkak. Kondisi ini diperparah karena banyak orangtua dari mahasiswa tersebut yang berhenti bekerja karena pandemi ini.

Saat ini banyak PT yang  simbiosis mutualisme dengan dunia industri yang nyata-nyata itu merupakan bentuk kerja dari sistem kapitalis. Hal ini disebabkan karena PT secara lembaga kini berbentuk Badan Hukum, artinya  pemerintah lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Akibatnya PT akan semakin bebas menentukan pembiayaan di kampusnya tanpa adanya kran dari pemerintah. Kampus pun akhirnya menjadi lahan bisnis. Siapa yang memiliki uang dan sanggup membayar maka boleh menikmati pendidikan di PT dan bagi yang

tidak sanggup membayar maka pendidikan tersebut tinggallah mimpi. Pendidikan semakin dikomersilkan. Bukan lagi melihat hasil prestasi dari mahasiswa, asalkan beruang maka sudah dapat gelar sarjana dengan mudah. Maka pantaslah banyak lulusan yang tidak memiliki kompetensi karena yang diukur bukan tingkat kecerdasannya.

Kampus sengaja diarahkan untuk mencetak Sumber Daya Manusia  (SDM) sebagai pekerja untuk kebutuhan  industri. Bukan lagi pencetak para intelektual. Bahkan Ikopin yang seharusnya  pro pada ekonomi rakyat karena berlandaskan koperasi, nyatanya tetap  bekerja sama dengan kapitalis besar. Kalau tidak bekerja sama dengan kapitalis besar tentu kejadian pada tanggal 23 Juli 2020 tidak akan terjadi bahkan tidak akan sampai terjadi pembakaran ban dalam aksi tersebut.

Belum lagi kebijakan ‘kampus merdeka’ yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan  Nadiem Makarim yang semakin meliberalkan PT. Dalam konsep Kampus Merdekanya, Nadiem bahkan memberikan keluasaan bagi mahasiswa dengan jatah dua semester untuk kegiatan di luar kelas. Selanjutnya dalam ‘kampus merdeka’ juga memberikan kemudahan kepada  Perguruan Tinggi Negeri atau PTN dengan status Satuan Kerja atau Satker dan Badan Layanan Umum (BLU) untuk berubah ke status PTN dengan Badan Hukum atau PTN-BH sehingga PT berfungsi hampir seperti swasta walaupun didanai pemerintah, tapi mendapatkan berbagai hak seperti swasta diantaranya dapat  leluasa bermitra dengan industri, termasuk melakukan proyek komersial.

Kemudian kebijakan Kampus Merdeka berikutnya   adalah mengenai program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Selanjutnya yang tidak kalah ‘merdekanya’ dalam konsep kampus Merdeka  adalah mengenai otonomi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) untuk membuka atau mendirikan program studi (prodi) baru. Hal ini tentu saja semakin memperlihatkan jati diri pendidikan Indonesia terutama PT termasuk didalamnya Ikopin yang semakin tidak berdaya melawan  cengkeraman kapitalis.

Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada awal Maret 2020 yang lalu telah mengeluarkan  babak baru dari Kebijakan Merdeka Belajar yakni Merdeka Belajar Episode 4. Salah satu programnya ialah Program Organisasi Penggerak (POP). Lewat Program Organisasi Penggerak ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berusaha merangkul banyak organisasi masyarakat besar maupun kecil, termasuk relawan atas nama pribadi, yang berkontribusi dalam bidang pendidikan. Tak sekadar kebijakan, Kemendikbud juga menganggarkan dana sekitar Rp 595 miliar per tahun demi menyokong Program Organisasi Penggerak. Dana tersebut dikucurkan kepada organisasi masyarakat yang terpilih untuk menjalankan program-program pelatihan guru dan kepala sekolah agar memiliki kompetensi menciptakan anak didik yang berkualitas dalam segi ilmu maupun karakter. (kompas.com 11/03/2020).

Belakangan program tersebut menjadi polemik karena setelah ditetapkannya beberapa calon organisasi penggerak yang lolos evaluasi proposal POP, Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU, Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) malah menyatakan mundur dari program tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyatakan bakal turun tangan memantau dan mendalami Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud ini (Kompas.com 25/07/2020). Pemicu polemik tersebut adalah karena Nadiem bersama dengan jajarannya memasukkan Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation ke dalam daftar penerima hibah dari Kemendikbud. Hal ini dianggap merupakan langkah yang tidak etis, pasalnya kedua lembaga ini adalah pihak yang dinilai tidak membutuhkan hibah dari APBN.

Pengalihan tanggung jawab ini akan menimbulkan bahaya di antaranya, pelalaian kewajiban negara, karena dengan adanya peran dari ormas dan swasta maka negara akan dengan sangat mudah melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini juga akan menguntungkan pihak tertentu seperti yang sudah sering terjadi dimana berbagai program yang dijalankan dalam sist

em kapitalis akan menjadi alat pengeruk keuntungan bagi kepentingan sebagian pihak.  Dan yang paling berbahaya adalah dapat menjauhkan dari esensi pendidikan yang sahih yaitu  akan lahir para calon pemimpin siap kerja dan berdaya saing global, yang  memiliki misi mengembangkan alur pendidikan internasional, dan sudah pasti akan mendukung terwujudnya pendidikan kapitalis serta menjauhkan dari konsep pendidikan Islam

Berbeda jauh dengan pendidikan dalam sistem Islam dimana pendidikan adalah hak rakyat dan kewajiban penguasa untuk memberikannya. Pendidikan merupakan bagian dari riayah penguasa, bukan komoditas bisnis seperti yang terjadi saat ini. Dalam Islam, pendidikan haram untuk dikomersilkan. Pendidikan diberikan negara secara gratis, kalaupun ada pembiayaan maka negara akan berupaya agar biaya yang dibebankan menjadi semurah-murahnya sehingga pendidikan dapat diperoleh dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kaya atau miskin. sehingga para pelajar dan mahasiswa tidak perlu memikirkan besarnya biaya SPP dan biaya lain yang selama ini menjadi beban.

Mereka akan fokus belajar dan terus membuat penemuan-penemuan baru yang berguna sehingga tidak perlu menjadi pekerja. Mereka bahkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mampu berinovasi. Dengan begitu maka Sumber Daya Alam yang selama ini dikelola oleh pihak asing, dapat dikelola sendiri oleh generasi kita dan menjadi SDM yang berkualitas sehingga tidak perlu lagi mengimpor tenaga kerja dari luar. Dengan diterapkannya sistem Islam maka tidak akan ada lagi sarjana yang menganggur karena mereka berkompeten membuka peluang kerja untuk dirinya bahkan untuk orang lain.

Sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam negara Khilafah terbukti mampu menghasilkan pendidikan berkualitas. Baik kurikulum, pengadaan guru hingga pengelolaan sekolah, semuanya diatur sesuai aturan Islam. Perhatian Negara pada guru, pelajar dan semua orang yang terlibat di dalamnyapun begitu besar. Tidak ada yang teraniaya dan terdzolimi. Karena pemimpin Negara dalam Khilafah Islam mengamalkan hadis Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam  (yang artinya): “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Negara menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga mampu mengelola sumber-sumber pemasukan bagi negara, seperti kekayaan alam dan lainnya. Khilafah memberlakukan sistem pembiayaan berbasis Baitulmal, sehingga kebutuhan pendidikan berapa pun besarnya akan diupayakan terpenuhi. Karena semua sekolah negeri dan PT negeri statusnya gratis sebagai bentuk pelayanan Negara kepada warga negara untuk mendapatkan hak asasi mereka dalam pendidikan, maka pihak swasta yang ingin berkontribusi dalam pendidikan pun tidak boleh berorientasi profit atau mencari keuntungan.

Pada fakta sejarah Khilafah Islam, banyak para aghniya (orang kaya) yang berlomba-lomba mendirikan fasilitas pendidikan dalam rangka mengharapkan pahala (amal jariyah) dengan mendirikan sekolah dan PT juga dalam memenuhi sarana pendukung pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, pusat keterampilan, dan lain-lain. Semuanya memiliki status sebagai badan wakaf yang biasanya ditanggung oleh mereka sendiri.

Pendidikan dikelola dengan basis Aqidah Islam. Dengan visi membangun peradaban Islam dan berkontribusi untuk  kemaslahatan umat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ustazah Yusriana bahwa, “Dalam sistem Khilafah Islamiyah, negaralah yang merencanakan, mengatur, dan menerapkan sistem pendidikan, karena Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab mengurus kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan pada pendidikan serta para guru sebagai pengajar ilmu yang akan memuliakan generasi selanjutnya.”

Dengan paradigma dan kebijakan dalam sistem Khilafah Islam seperti inilah, berbagai polemik dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan baik guru maupun pelajar akan  tereliminasi, karena Negara mengambil peran penuh dan strategis dalam upaya peningkatan kualitas tersebut . Bahkan dengan kebijakan Khilafah Islam ini akan ada jaminan dalam mewujudkan para pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas dan profesional sehingga akan terwujud generasi cemerlang dan pemimpin peradaban di masa yang akan datang dan akan mencetak para intelektual berkepribadian  Islam. 

Oleh karena itu bila kita menghendaki sistem pendidikan Islam berlangsung kembali, harus ada kesadaran bersama untuk membangun sistem Khilafah Islamiyah yang akan menjamin pelaksanaan Syariat Islam dan mampu memenuhi kebutuhan umat, termasuk kebutuhan pada terwujudnya pendidikan yang berkualitas.

Maka apakah kita masih ragu untuk memperjuangkan tegaknya kembali Sistem Khilafah Islam yang akan memberikan keberkahan bagi seluruh umat manusia? Wallahu a’lamu bis showab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.