7 Mei 2024
Predator Seks

Penulis : Tutut Ariani | Pemerhati Ummat

Dimensi.id-Setelah melalui pembahasan panjang dan menuai banyak pro dan kontra, akhirnya presiden Jokowi menandatangani PP Kebiri Predator Anak pada tanggal 7 Desember 2020 silam. Aturan tersebut merupakan turunan dari Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak Beleid, (Kompas.com, 3/1/2021).

Permasalahan predator anak memang masih menghantui negeri ini. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya kasus pelecehan seksual yang diadukan dan berhasil didata. Seperti dilansir di laman kemenpppa.go.id (23/6/2020), SIMFONI PPA telah merilis data selama kurun waktu 6 bulan, yaitu 1 Januari s.d 19 Juni 2020. Telah terjadi 3.087 kasus kekerasan pada anak, 1.848 kasus diantaranya adalah kekerasan seksual. Data tersebut menujukkan kenaikan kasus dibandingkan tahun 2019, sebanyak 1.192 kasus.

Tentu, hal tersebut menjadi sebuah realitas yang meresahkan. Pemerintah berharap dengan menerbitkan PP No 70 tersebut akan mengatasi dan menekan angka kasus kekerasan seksual pada anak. Selain itu, memberikan efek jera bagi para predator  yang selama ini tak pernah kapok dalam menjalankan nafsunya.

Sebenarnya, peraturan tentang hukuman kebiri bagi predator seksual sudah lama mencuat sejak tahun 2016. Ketika presiden Jokowi menerbitkan Perpu No 1/ 2016. Perpu yang kemudian disahkan menjadi undang-undang No 17 tahun 2016 itu, memasukkan tentang hukuman kebiri kimia ke dalam undang-undang perlindungan anak. Namun, saat itu banyak pihak yang masih pro dan kontra. Salah satunya adalah Ikatan Dokter Indonesia, IDI menolak eksekusi tersebut dengan alasan melanggar kode etik dan disiplin profesi kedokteran. Selain itu, hukuman kebiri kimia dinilai tidak efektif untuk membuat efek jera, jika motif pelaku kekerasan seksual adalah masalah psikologis. Misalnya, pelaku adalah korban kekerasan seksual di masa kecil.

Hal tersebut membuka realitas, bahwa kasus kekerasan seksual masih belum menemukan solusi yang tepat. Meskipun sudah ada undang-undang yang mengaturnya sejak tahun 2016, data terhadap kasus tersebut malah menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi.

Sebenarnya, terdapat beberapa alasan mengapa langkah pemerintah selama ini belum menjadi solusi yang menuntaskan. Diantaranya peraturan yang hanya fokus pada tindakan kuratif atau menghukum pelaku. Padahal terdapat langkah yang harus juga dilakukan, yaitu tindakan preventif atau pencegahan. Melihat begitu beragamnya dorongan para pelaku hingga melakukan kekerasan seksual selain karena dorongan psikologis. Misal, faktor media. Terbiasanya mengakses pornografi atau pornoaksi disebut dapat sebagai pemicu seseorang untuk melakukan kekerasan seksual.

Kerusakan yang menjadi wajar terjadi. Ketika pandangan hidup masyarakat adalah pemisahan agama dari kehidupan atau sekulerisme. Peraturan kehidupan yang dipakai dan lahir darinya sudah pasti cacat dan rusak. Sekulerisme mengandalkan akal manusia untuk membuat aturan kehidupannya. Padahal manusia adalah makhluk lemah yang tidak akan mampu menilai hakikat sebenarnya antara baik dan buruk. Manusia cenderung mengikuti hawa nafsu mereka sendiri, yang lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan mereka hidup.

Segala permasalahan manusia tidak akan pernah tuntas, ketika pembuat aturan diserahkan kepada mereka sendiri. Mereka membutuhkan pembuat aturan kehidupan yang tahu seluk beluk sesungguhnya. Tidak lain Dia adalah Allah SWT, pencipta sekaligus pengatur. Allah SWT telah menurunkan aturan kehidupan dengan jelas dan mudah dimengerti. Melalui seorang rasul, Muhammad SAW yang diutus untuk memberikan suri tauladan dan menyebarkan ajaran Al’Quran kepada seluruh manusia. Sebagai berikut:

Dari segi kuratif, di dalam Islam jelas bahwa pelaku kejahatan wajib mendapatkan hukuman yang menjerakan agar mereka tidak mengulangi kejahatannya lagi. Pelaku kekerasan seksual dijatuhi hukuman sesuai dengan rincian fakta perbuatannya. Pertama, jika pelaku telah melakukan perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk orang yang berzina. Yaitu rajam bagi muhsan (sudah/pernah menikah), HR. Bukhari no. 6733, 6812; Abu Dawud no. 4438. Atau cambuk 100 kali bagi yang bukan muhsan (belum pernah menikah), (Surat An Nuur: 21).

Kedua, jika yang dilakukan pelaku adalah perbuatan  homoseksual (liwath), maka hukumannya adalah hukuman mati. Ketiga, jika yang dilakukan adalah  pelecehan seksual (at tanarusy al jinsy) yang tidak sampai pada perbuatan zina ataupun homoseksual, hukumannya adalah campuk. Kadarnya akan ditentukan oleh khalifah melalui penggalian hukum syariah yang dilakukan.

Sedangkan dari segi preventif (pencegahan), Islam telah memiliki konsep yang sempurna. Islam memandang, seksualitas adalah fitrah bagi setiap manusia yang wajib disalurkan. Maka, Islam menentukan jalan pernikahan untuk menyalurkan hasrat tersebut. Pun tubuh perempuan bukanlah seni yang dapat dieksploitasi untuk dinikmati semua orang. Islam memerintahkan perempuan untuk menutup aurat dengan jilbab dan khimar, dan memerintahkan laki-laki dan perempuan saling menundukkan pandangan.

Selain itu, negara sebagai pemegang kekuasaan akan memerintahkan seluruh media, baik media cetak atau digital untuk menutup seluruh akses pornografi dan pornoaksi. Karena, keduanya dapat merangsang syahwat yang dapat memicu kekerasan seksual terjadi.

Terakhir, negara secara masif memberikan pemahaman islam bagi warga negara muslim tentang hakikatnya hidup di dunia. Yaitu sebagai seorang hamba yang taat kepada penciptanya dengan menjalankan perintah dan larangan-Nya. Sedangkan bagi non muslim dengan cara mengedukasi mereka. Pemahaman tentang kemudharatan di dunia yang sangat besar, ketika kemaksiatan dilakukan.

Adapun hukuman kebiri yang saat ini tengah disahkan, hukumnya haram di dalam Islam. Hal tersebut merujuk pada hadist Rasulullah melalui Ibnu Mas’ud Ra. “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi Rasullullah shalallahu alaihi wassalam, sedang kami tidak bersama dengan istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW), ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi melarang yang demikian itu.” (HR. Bukhari no. 4615; Muslim no. 1404; Ahmad no.3650).

Maka, hanya dengan mengembalikan pengaturan kehidupan kepada aturan sang pencipta, segala permasalahan termasuk kejahatan seksual mudah terselesaikan secara tuntas. Pengaturan tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah dengan kepemimpinannya yang mulia, yaitu Kekhilafahan Islam di seluruh dunia yang menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan. Allahu a’lam bi ash showab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.