17 Mei 2024

Pangadilan adalah jalan terakhir untuk mendapatkan keadilan. Banyak orang berharap mempunyai hak untuk memperjuangkan keadilan meskipun dia berstatus terdakwa. Namun harapan Itu tidak lagi bisa diwujudkan dalam pengadilan yang sudah dalam kendali penguasa rezim.

Penegak hukum, hakim dan jaksa tidak lagi objektif dalam membela kebenaran. Tangan-tangan yang tidak terlihat sedang memainkan pengadilan untuk memberatkan atau meringankan, untuk menghukum atau membebaskan bukan atas dasar kebenaran dan keadilan tapi lebih pada kebencian atau rasa cinta yang berlebihan.

Dendam masa lalu  juga bisa menjadi alasan untuk mempengaruhi jalannya pengadilan oleh invisible hands dibalik layar pengadilan yang memiliki kekuasaan atau mampu membayar orang yang lagi berkuasa untuk melakukan ketidakadilan. Sungguh hukum Rimba Berkuasa, yang kuat menindas yang lemah dengan dalih penegakan hukum, saat pengadilan dalam kendali penguasa.

Pengadilan yang tidak independent karena campur tangan penguasa sering menghasilkan keputusan pengadilan yang tidak adil dan berat sebelah. Benar kata orang hukum tajam kebawah, tapi tumpul ke atas. Kemana rakyat berjuang untuk memperoleh keadilan, jika pengadilan tidak lagi bersikap dan memutuskan dengan adil.

Rakyat sebenarnya ingin taat hukum dan tidak juga ingin turun ke jalan. Namun, mereka dihalangi untuk mendapatkan keadilan. Jaksa hanya bisa cari-cari kesalahan terdakwa, sehingga tidak bisa objektif melihat fakta. Sementara, kepentingan politik sudah mempengaruhi hakim dalam menimbang dan memutuskan hukuman pada terdakwa.

Mereka yang berani bersuara menyampaikan kebenaran tapi menyinggung penguasa terancam diperadilkan dengan tidak adil. Mereka yang berani mengungkap konspirasi jahat akan  dipenjara. Rakyat yang turun ke jalan minta keadilan, juga akan ditangkap dan diperlakukan tidak adil. Peradilan sudah menjadi alat politik penguasa yang mengancam dan membuat sebagian orang takut dan lebih memilih diam dari pada masuk dalam target yang diancam dan dikriminalkan.

Apalagi, pasal berlapis disiapkan bagi yang berani menentang dan tidak mau tunduk pada pengadilan yang tidak bisa memberikan rasa keadilan pada semua rakyat. Dicari-cari kesalahan adalah bentuk kriminalisasi, bukan karena bersalah tapi sudah dianggap ancaman bagi penguasa dan orang-orang dibalik kekuasaan.

Rakyat semakin cerdas dan penguasa bertambah waswas. Minta dikritik tapi tidak siap untuk mendengar dan memperbaiki diri. Rezim tidak siap dihina oleh rakyat biasa sehingga menyiapkan peradilan yang siap menjerat siapa saja yang berani membenci penguasa dengan hukuman berat, penahanan dan penghinaan. Sementara, mereka yang sudah merugikan rakyat dibiarkan dan bila perlu dibebaskan secara hukum karena pihak yang dicintai oleh penguasa.

Pengadilan dalam sistem demokrasi banyak dipengaruhi kekuasaan sehingga tidak lagi mampu menjamin keadilan untuk semua orang.  Keputusan pengadilan lebih diwarnai oleh kebencian atau cinta berlebihan sehingga tidak mampu memutuskan secara objektif dan adil.

Perlakuan yang berbeda pada terdakwa sungguh melukai keadilan. Jika melanggar protokol kesehatan yang menyebabkan kerumunan adalah satu kesalahan kenapa yang lain boleh melakukannya. Kenapa banyak kerumunan dibiarkan dan dimaafkan, bahkan dicontohkan penguasa yang gila dipuja dan disanjung tapi tidak siap untuk dikritik.

Jika Itu diberlakukan secara adil mungkin penjara tidak muat, karena faktanya banyak sekali kesalahan yang tidak diperkarakan secara hukum, tapi Itu menjadi permasalan hukum saat mengenai orang yang ditargetkan untuk dihukum. Keadilan sungguh absurd dalam sistem demokrasi, tebang pilih, tajam kebawah dan tumpul keatas adalah fakta.

Semangat permusuhan lebih menonjol, sehingga kesalahan dicari-cari agar lebih memberatkan karena dia sudah menjadi target penguasa dan tangan-tangan tidak terlihat yang mempengaruhi kekuasaan.

Jika kesalahan dicari-cari, pasal demi pasal digunakan untuk mengancam, hakim dan jaksa tidak lagi mempu bersikap adil dan pasti akan berat sebelah. Keputusan dipaksakan sesuai dengan pesanan. Pasal berlapis yang memberatkan disiapkan agar bisa mengancam dengan dakwaan seberat-beratnya.

Invisible hands mencoba memainkan keputusan pengadilan agar sesuai dengan keinginan. Pengadilan harus mengembalikan marwahnya yang terhormat dan mulia dengan bersikap adil, bukan memutuskan berdasarkan pesanan. Rakyat menyaksika drama peradilan yang melukai nilai keadilan. Para pakar hukum juga menyaksikan bahwa ketidakadilan sungguh nyata ada.

Jika pengadilan tidak lagi memberikan keputusan yang adil, hukum Rimba yang berkuasa, yang kuat menindas yang lemah atas nama hukum. Penegak hukum tidak lagi melindungi hak orang-orang lemah dan tertindas, bahkan sebaliknya melindungi penguasa untuk berbuat dzalim pada rakyatnya.

Lalu kemana mereka yang lemah menuntut keadilan jika pintu pengadilan tertutup untuk mereka yang memperjuangkan keadilan. Salah siapa jika rakyat harus turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Siapa yang harus bertanggung jawab saat penegak hukum harus berhadapan dengan rakyat.

Bagaimana bisa aksi dorong terjadi antara rakyat dan petugas penegak hukum yang harusnya melindungi dan mengayomi rakyat untuk mendapatkan keadilan. Inilah jika hukum sudah menjadi alat politik penguasa rezim, pengadilan dalam kendali penguasa yang mampu memainkan keputusan hakim dalam pengadilan. Sungguh, kita rindu pada pengadilan dalam sistem, yang mana keadilan dijunjung tinggi untuk semua orang.

Penulis: Mochamad Efendi

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.