7 Mei 2024

Penulis : Vivin Indriani

Dimensi.id-Sembilan puluh persen rantai pasokan global dalam perdagangan internasional dilakukan melalui jalur laut. Dilihat dari sisi efisiensi biaya dan lebih banyaknya suplai barang yang bisa disalurkan melalui laut, wajar jika jalur ini termasuk jalur yang sangat sibuk.

Marine Traffic.com, sebuah situs penyedia informasi waktu nyata mengenai pergerakan kapal dan lokasi kapal di pelabuhan menunjukkan bahwa tulang punggung(The Backbone) perdagangan internasional terutama di sektor riil memang dilakukan melalui jalur maritim.

Namun tidak di masa kini. Pandemi Covid-19 menyebabkan terhambatnya rantai pasokan global secara terus menerus. Hal ini mengakibatkan munculnya masalah dalam lingkup industri maritim.

Beberapa pelabuhan telah menutup layanannya terhadap kapal dari negara-negara yang dilanda virus dalam 14 hari bahkan lebih sejak januari 2020. Sedangkan pelabuhan lainnya memberikan ijin kapal masuk ke pelabuhan dengan syarat jika kru kapal memiliki riwayat kesehatan yang menunjukkan mereka tidak terpapar virus sars cov-2 ini.

Diperkirakan kerugian yang dialami dalam jalur perdagangan maritim tahun ini adalah mencapai 17 Triliun US$. Dengan akumulasi kehilangan muatan sebesar 17 juta TEU(Twenty-Foot Equivalent Unit). Begitu juga dengan terminal-terminal peti kemas yang diperkirakan akan kehilangan muatan sebesar 80 juta TEU sepanjang tahun 2020.

Pandemi telah mengakibatkan permintaan merosot dan kesulitan dalam pengiriman laut. Menurut Maersk-perusahaan transportasi laut terbesar di dunia- pasokan barang diperkirakan akan terus melambat lebih lanjut karena hilangnya permintaan kontainerisasi (pengemasan) peti-peti kemas. (Bangkok Post, Maret 2020)

Sesungguhnya dalam kondisi tanpa wabah, krisis moneter paling banyak memukul sektor finansial atau sektor non riil. Sektor riil tetap berjalan meski kondisi keuangan dunia merosot dan akan tetap seperti sedia kala saat krisis telah berlalu.

Namun posisinya berbeda di tahun ini. Ketika pada saat bersamaan dunia menghadapi krisis keuangan secara periodik seperti sekarang, pandemi wabah ternyata juga membuat tidak hanya sektor non riil yang terdampak, sektor riil pun mengalami krisis yang sama. Alhasil, dunia menghadapi guncangan krisis terbesar sepanjang abad ini bahkan melebihi krisis moneter global tahun 2008.

Lumpuhnya Perekonomian Negara Maju

Melambatnya suplai pasokan global dalam perdagangan internasional melalui maritim ini berimbas sangat besar bagi perekonomian negara-negara di dunia terutama negara maju (advanced economies). Dalam laporan terbaru International Monetary Fund (IMF) April 2020, sangat terlihat bahwa justru negara maju adalah negara paling terdampak dalam krisis kali ini. Pertumbuhan ekonomi mereka minus 6,1% dalam tahun 2020. Negara-negara berkembang saja masih menyisakan pertumbuhan ekonominya setidaknya 1%, tidak sampai minus.

Logika ini sangat wajar. Sebab negara-negara ekonomi maju sangat berperan besar dalam penyedia rantai pasokan global. Saat rantai ini terhenti oleh pandemi, rantai suplai makin ‘localized and fragmented’.

Justru industri kecil masih bisa bertahan sebab mereka cenderung bersifat lokal dan lebih konvensional. Sebagai contoh di tahun 1998 saat badai krisis moneter global, industri kecil malah menjadi penyelamat perekonomian dikarenakan mereka tidak memiliki hutang ke bank dan mereka bisa mendapatkan bahan baku dalam lingkup lokal.

Fakta berikutnya adalah tren pertumbuhan ekonomi kawasan, di mana minus tertinggi adalah kawasan Eropa sebesar -7,5% dan di susul Amerika -5,9% lalu negara-negara Amerika latin.

Kawasan Eropa dan Amerika memang diduga paling banyak memiliki dan mengoperasikan perusahaan-perusahaan multinasional raksasa seperti Multi National Corporation(MNC) atau Trans National Corporation(TNC). Alhasil, pukulan paling telak dirasakan oleh perusahaan dan korporasi multi nasional tersebut disebabkan oleh faktor mengguritanya mereka dalam urutan rantai suplai dan sekaligus keterikatan(engagement) mereka yang sangat tinggi pada dunia perbankan.

Memahami Relasi Politik Ekonomi Liberal VS Islam

Untuk memahami adanya relasi antara politik dan ekonomi liberalisme kapitalisme lalu membandingkannya dengan politik ekonomi Islam, maka terlebih dahulu kita harus memahami apa saja pilar-pilar kedua sistem ekonomi tersebut. Pilar sistem ekonomi kapitalisme diantaranya dibangun berlandaskan aqidah sekuler yang meniadakan peran agama sebagai pengatur.

Aspek beribadah tentu saja menjadi tidak diperdulikan lagi dalam sistem ekonomi ini. Sehingga wajar, dalam penerapannya tidak ada perbedaan antara sistem ekonomi liberal dengan sistem bertahan hidup di hutan. Siapa yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Homo homini lupus, manusia satu menjadi serigala bagi manusia yang lainnya.

Pilar kedua adalah dalam hal pendekatan ekonomi politik. Nampak jelas bahwa ekonomi mengendalikan politik, sehingga kehidupan berpolitik dalam sebuah negara penganut sistem ekonomi liberal ditentukan oleh seperti apa sistem ekonominya bekerja. Ekonomi mengendalikan kekuasaan, bahkan mengendalikan seluruh negara.

Akhirnya pemilik modal adalah pengendali urusan hajat hidup orang banyak. Jika suatu undang-undang merugikan kepentingan bisnis dan perdagangan salah seorang pemilik modal, maka undang-undang sekuat apapun bisa dicabut meski nampak tidak masuk akal dan bertentangan dengan logika kebenaran.

Pilar ketiga adalah fokus perhatiannya hanya pada barang dan benda. Sistem ekonomi kapitalis memiliki perhatian sangat besar pada arus perputaran barang dan jasa di tengah masyarakat.

Mereka tidak peduli seperti apa konsumen atau manusianya, prioritas mereka adalah bagaimana roda perekonomian tetap berjalan dengan hasil yang tidak masuk akal sekalipun, asalkan barang dan jasa tetap berjalan. Maka adanya kelangkaan barang atau jasa di pasar menjadi salah satu problem besar dalam sistem ekonomi liberal ini.

Pilar keempat dan kelima adalah aktor penting di dalam sistem ekonomi kapitalis sesungguhnya adalah perusahaan barang dan jasa(MNC). Tidak ada sama sekali peran negara dalam hal ini.

Bahkan negara hanyalah penyedia layanan bagi kepentingan pengusaha-pengusaha kapitalis, tanpa peduli bagaimana urusan rakyat dan hajat hidup orang banyak bisa terpenuhi atau tidak. Perdagangan internasional bagi sistem ekonomi kapitalis hanyalah ajang berbisnis.

Maka wajar jika negara jauh lebih memprioritaskan kepentingan asing(MNC/TNC) dibandingkan kebutuhan hidup dan kesejahteraan rakyatnya sendiri. Peran negara sangat minimal bahkan cenderung tidak ada bagi rakyat jika harus berhadapan dengan para pemilik modal.

Dalam konsep globalisasi dan pasar bebas, organisasi perdagangan dunia(WTO) bekerja sama dengan rezim perdagangan internasional untuk mengelola sistem pedagangan global hari ini. Merekalah aktor sebenarnya dalam konsep sistem ekonomi kapitalisme.

WTO memiliki wewenang regulatif di mana perdagangan antar negara dilakukan dengan aturan main yang lebih jelas sehingga perang dagang bisa dihindari. WTO sendiri mengusung prinsip liberalisme progresif, yaitu dengan cara memperkuat tekanan oleh rezim pasar bebas untuk menghindari proteksionisme dan memperkuat rezim Intelectual Property Right.

World Trade Organization(WTO) disepakati pada awal tahun 1995 dalam putaran Uruguai. Lingkup perjanjian internasional yang terikat dengan badan dunia ini diantaranya adalah General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) yang meliputi barang, General Agreement on Trade in services (GATS) yang meliputi jasa, dan The Agreement on Trade Related  Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yakni terkait hak cipta. Jadi perdagangan bebas dalam wadah WTO sejatinya adalah usaha negara-negara maju untuk melanggengkan kolonialisme dan imperialisme(penjajahan) terhadap negara lain termasuk negeri-negeri Islam.

Pilar-pilar Ekonomi Islam

Hal ini tentu saja berbeda dengan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam terdapat beberapa pilar penyanggah ekonomi negara diantaranya yang pertama adalah dari aspek akidah yang meniscayakan akidah Islam sebagai sumber utama seluruh peraturan.

Yang kedua dalam aspek pendekatan politik ekonomi maka kita mendapati dalam Islam bahwa politik itu memandu ekonomi. Bahkan politik memandu seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga kontrol pada perdagangan internasional berada dalam pengawasan al Imam(khalifah) sebagai penyelenggara politik dalam negara.

Lalu pilar berikutnya adalah negara merupakan aktor penting penyelenggara urusan ekonomi dan politik. Sehingga tugas penting negara adalah memastikan bahwa misi politik luar negeri Islam yakni untuk menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad tercapai. Dan pilar berikutnya adalah memastikan bahwa perdagangan internasional akan mengikuti prinsip politik luar negeri Islam bukan sebaliknya.

Perdagangan internasional sepenuhnya di bawah ketentuan politik luar negeri sehingga perusahaan tidak bisa seenaknya bermitra atau membangun hubungan dagang dengan negara-negara yang terlarang dalam konsep polugri Islam seperti negara kafir muhariban fi’lan dan lain sebagainya.

Adapun hubungan internasional dan politik luar negeri dalam perspekif Islam meniscayakan adanya persamaan dengan konsep dan makna politik sesungguhnya dalam Islam.

Di mana politik(As Siyasah) adalah pengaturan urusan umat baik di dalam negeri(dahiliyan) maupun di luar negeri(khorijiyan). Politik Islam diemban oleh negara dengan cara menerapkan hukum Islam di tengah-tengah rakyat serta mengatur semua urusan rakyat di dalam negeri.

Politik Islam juga akan mengetahui situasi dan kondisi politik internasional serta politik negara-negara besar yang sedang berpengaruh. Politik Islam juga terus mengadakan pembinaan hubungan luar negeri dengan negara-negara di seluruh dunia dalam keterkaitannya dengan tujuan politik Islam yakni dakwah dan jihad.

Dalam menjalankan proses hubungan internasional dan melaksanakan politik luar negeri, Islam memberikan konsep penawaran kepada negara atau aktor di luar Islam untuk menentukan kualitas hubungan mereka dengan negara.

Penawaran yang pertama adalah mereka diajak untuk memeluk Islam. Jika mereka menolak untuk memeluk Islam maka akan ditawarkan untuk menjadi pihak yang tunduk pada ketentuan syariat Islam dengan cara membayar jizyah(pungutan bagi non muslim yang tunduk pada negara Islam).

Jika semua penawaran tadi ditolak maka secara otomatis hubungan antar negara-negara tersebut dengan Islam hanya tinggal satu, yakni hubungan perang. Namun ini justru menunjukkan hanya Islam satu-satunya yang memiliki konsep untuk menjadikan perdamaian dunia sebagai hukum asal dari hubungan internasional. Bukan penjajahan atau kolonialisme.

Dalam Islam, asas perdagangan luar negeri adalah pada siapa pedagangnya. Bukan pada komoditas apa yang dibawa. Jadi meskipun barang atau komoditas yang ditawarkan begitu dibutuhkan, namun jika pelaku perdagangan atau aktor perdagangan tersebut adalah pihak negara kafir muhariban fi’lan(negara yang memusuhi Islam secara terang-terangan) maka hubungan dagang tersebut tidak boleh bahkan haram untuk dilakukan.

Dengan asas ini sesungguhnya negara memberikan kebebasan pada pelaku perdagangan untuk melakukan ekspor-impor terhadap komoditi apa saja tanpa harus ada ijin dari negara. Bea cukai tidak dikenal dalam sistem Islam sehingga negara tidak mengatur seberapa banyak keperluan perusahaan untuk mengekspor barang atau mengimpor barang dalam perdagangan internasional mereka.

Namun bagi warga negara asing selain negara yang dilarang, jika mereka menginginkan hubungan dagang atau melakukan ekspor barang ke wilayah daulah, maka akan ditetapkan pungutan sebesar pungutan yang mereka tentukan di negaranya ketika para pedagang Muslim masuk ke negara mereka (Muamalah bil mitsli).

Demikian pengaturan Islam dalam hubungan perdagangan internasional yang sekilas sudah bisa menunjukkan betapa mudah dan profesionalnya negara menjamin kelangsungan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat.

Negara adalah pihak yang dominan dalam pengaturan dan perlindungan perekonomian rakyat, serta pihak yang sangat peduli pada kelangsungan kehidupan masyarakat. Dalam situasi krisis dan wabah yang menjadi pandemi seperti hari ini, konsep politik ekonomi Islam akan menghadirkan sebuah pelayanan yang mengutamakan warga negara di atas kepentingan bisnis maupun ekonomi sekalipun.

Dalam hubungan politik dan ekonomi luar negeri, Islam tidak menawarkan hubungan interdependensi atau bahkan politik timbal balik sebagaimana politik ekonomi perdagangan internasional hari ini. Kekhilafahan sangat fair dalam membangun hubungan internasional dengan negara-negara di dunia.

Ketika khilafah mengirimkan bantuan kepada Irlandia yang saat itu dilanda kelaparan, penguasa Islam tidak pernah bertanya kepada rakyat Irlandia yang saat itu berada dalam kekuasaan Ingrris, apa yang bisa mereka berikan untuk membalas bantuan dari khilafah islamiyah. Justru bala bantuan yang dikirim oleh Turki melebihi jumlah bantuan yang diberikan oleh ratu Inggris pada saat itu.

Bukti rasa terima kasih rakyat Irlandia kepada kekhilafahan Islam bisa dilihat diantaranya dalam logo klub sepakbola Drogheda yang didirikan pada tahun 1919, yakni lambang bulan sabit dan bintang. Sebuah prasasti akan kemurahan kekhilafahan Islam pada sebuah negeri kecil yang berkilo-kilo meter jauhnya dan penduduknya bahkan berbeda keyakinan dengan khilafah Islam. [S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.