18 Mei 2024

Penulis : Aisyah AF, Pengajar

Dimensi.id-Tahun ajaran baru sudah dimulai sejak tanggal 13 Juli lalu. Hanya saja, di tahun ajaran baru ini, kondisi pembelajaran siswa didik berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seluruh siswa diharuskan belajar di rumah dengan metode pembelajaran daring untuk menghindari penyebaran covid-19. Mau tak mau, seluruh siswa di semua jenjang pendidikan harus menerima kondisi ini. Dengan harapan, sekolah tidak menjadi kluster baru bagi penyebaran civid-19.

Efektifkah pembelajaran daring digunakan sebagai metode pembelajaran?

Efektifitas metode pembelajaran ini berbeda di setiap wilayah. Hal ini dipengaruhi oleh sarana dan prasarana, kondisi peserta didik serta teknis pembelajaran daring tersebut. Jika kita simpulkan, metode pembelajaran ini sangat tidak efektif di sebagian besar wilayah Indonesia. Pasalnya, belum semua masyarakat Indonesia bisa mengakses internet dan menggunakan gadget. Belum lagi latar belakang dan kondisi di rumah setiap peserta didik berbeda.

Menjamin tetap berlangsungnya proses belajar mengajar dan tetap terpenuhinya hak pendidikan setiap anak adalah tanggungjawab pemerintah, baik ketika kondisi normal apalagi selama pandemi dimana anak-anak tak bisa pergi ke sekolah seperti sediakala. Namun yang menjadi PR besar pemerintah adalah bagaimana agar setiap anak bisa tetap memperoleh hak pendidikannya dengan metode pembelajaran yang ditawarkan pemerintah tersebut.

Ada keluarga yang tak bermasalah menjalani metode pembelajaran ini. Dalam artian keluarga tersebut memiliki fasiltas yang memadai (baca : gadget), penghasilan orangtua cukup untuk membeli kuota internet, jaringan internet bagus, kondisi anak-anak mudah diarahkan oleh orangtua, orangtua bisa mendampingi, serta memiliki pengajar yang kooferatif. Namun banyak pula keluarga yang menemui masalah dalam proses belajar tersebut. Tidak ada fasilitas, penghasilan tak cukup untuk membeli kuota, anak-anak tak biasa belajar di rumah, orangtua yang tak bisa mengajar atau sibuk kerja, juga pengajar yang hanya memberikan tugas dan memeriksa tugas saja. Akibatnya hak pendidikan anak tercerabut.

Selama pandemi ini, penulis sering melihat anak-anak yang setiap harinya hanya bermain saja. Merasa bebas karena tak harus ke sekolah. Atau di media pun kita menemukan berita, ada mahasiswa yang harus meregang nyawa ketika mencari signal. Ada juga berita, seorang ibu yang menghajar anaknya ketika menemani belajar. Di beberapa daerah, ada pula anak-anak yang tak bisa belajar karena orangtuanya tidak memiliki gadget. Jangankan untuk membeli gadget dan kuota, untuk makan sehari-hari saja susah minta ampun. Belum lagi, teknis pembelajaran daring di Indonesia, sebagian besar hanya diisi dengan setor tugas.

Apalagi sekolah-sekolah di daerah, yang jaringan internetnya masih terbatas untuk melakukan video conference. Guru hanya memberikan tugas kemudian meminta hasil tanpa ada peran guru untuk menjelaskan pelajaran tersebut. Bagaimana anak-anak bisa faham? Untuk anak-anak SD mungkin orangtuanya masih bisa menjelaskan. Apalagi ada program home visit (guru mendatangi rumah siswa) bagi daerah yang aman. Tapi untuk anak-anak yang duduk di sekolah menengah, sebagian besar orangtua mereka angkat tangan. Mereka tak faham dengan pelajaran anak-anaknya. Akibatnya anak-anak tak memperoleh hak pendidikannya secara utuh.

Tidakkah fakta-fakta ini membuat kita miris?

Pemerintah, lewat Kemendikbud seharusnya bisa membuat kebijakan yang menunjang pelaksanaan proses pembelajaran daring ini agar efektif. Entah itu menyediakan bantuan anggaran kuota untuk para guru dan orangtua, mengadakan pelatihan atau bimbingan bagi para orangtua agar mereka bisa menemani anak-anak mereka belajar di rumah, dan yang juga tak kalah penting adalah mencari alternatif bagi peserta didik yang tidak memiliki fasilitas untuk belajar daring. Entah itu pengiriman materi ajar dan tugas lewat pos atau alternatif yang lain.

Nahasnya, anggaran Kemendikbud tahun 2020 sudah direalokasikan sebesar 405 miliar untuk penanganan covid-19. Begitupun anggaran pendidikan yang dimiliki Kemenag, sebesar Rp. 2,6 triliun juga direalokasikan untuk penanganan pandemi.

Lebih Parah lagi, Kemendikbud malah membuat Kebijakan POP (Program Organisasi Penggerak) yang sarat dengan kerjasama antara penguasa dan korporasi. POP  adalah sebuah program yang dibuat oleh Kemendikbud guna mendorong hadirnya Sekolah Penggerak yang melibatkan peran serta organisasi. Fokus utamanya adalah peningkatan kualitas guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

Bagi ormas yang terpilih, akan mendapatkan dana hibah dari pemerintah yang besarannya berbeda sesuai kategori. Anehnya, dua lembaga non profit, Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation terpilih dalam program POP. padahal dua lembaga tersebut masuk dalam kategori tanggung jawab sosial perusahaan atau dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Akhirnya, kebijakan ini pun menuai polemik. Apalagi setelah Muhammadiyah dan PGRI mengundirkan diri dari program ini.

Program POP semakin mengukuhkan liberalisme di dunia pendidikan. Pasalnya, tanggungjawab yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah ( meningkatkan kualitas guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan) malah “dilelang” kepada pihak lain yaitu ormas. Jelas sudah, bahwa pemerintah hanya berperan sebagai regulator saja.

Berpihak kepada siapakah pemerintah saat ini?

Ribuan nyawa melayang, jutaan orang kehilangan mata pencaharian, ribuan keluarga hancur gara-gara pendemi. Dan sekarang ditambah jutaan anak Indonesia yang tak bisa mendapatkan hak pendidikan mereka secara utuh selama pandemi ini.

Apakah mereka -yang duduk di kursi pemerintah- mengira jabatan yang mereka miliki sebatas kehormatan semata? Justru jabatan itu akan menjadi sebuah kehinaan bagi mereka manakala mereka tak bisa memenuhi tanggung jawab mereka selaku pelayan masyarakat.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.