18 Mei 2024

Penulis : Asha Tridayana

Dimensi.id-Dampak pandemi covid-19 ternyata tak hanya menyerang lingkup kesehatan dan ekonomi, tetapi juga di lingkup sosial. Hal ini terlihat pada angka pernikahan dini di Indonesia yang melonjak selama masa pandemi. Padahal pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 yang sebelumnya usia minimal 16 tahun. Namun, anehnya kebijakan ini masih ada toleransi. Karena pada praktiknya terjadi penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan dapat dimohonkan dispensasi ke pengadilan.

Dilansir dari jawapos.com (26/07/2020) bahwa Pengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah, menjelaskan, sebanyak 240 permohonan dispensasi nikah terdiri atas faktor usia belum genap 19 tahun sesuai aturan terbaru dan kasus hamil duluan akibat seks bebas. Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara Taskiyaturobihah menegaskan jika data permohonan dispensasi nikah sebanyak 240 pemohon tercatat mulai Januari hingga Juli. Sementara usia pemohon dispensasi nikah ada yang berusia 14 tahun hingga 18 tahun. Artinya, tidak semuanya tamatan SMA karena bisa saja putus sekolah atau bahkan tidak sekolah.

Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan, peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kurangnya pengawasan orangtua terkait kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. Selain itu, adanya faktor geografis, terjadinya insiden hamil di luar nikah, pengaruh kuat dari adat istiadat dan agama, hingga minimnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi. Sonny juga menyarankan semestinya pengadilan jangan mempermudah izin dispensasi kawin. Karena fakta di lapangan, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim (kompas.com 08/07/2020).

Fenomena yang sangat mengkhawatirkan tersebut menjadikan remaja yang seharusnya merupakan generasi penerus justru terdampak masalah sosial. Dari putus sekolah hingga banyak pernikahan yang terjadi akibat seks bebas. Hal ini semakin meningkat dengan adanya kebijakan sekolah daring sehingga pengawasan dari sekolah berkurang. Serta terbatasnya peran orang tua yang lebih disibukkan dengan bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup karena terdesak ekonomi selama pandemi.

Kebijakan pemerintah terkait pembatasan usia pernikahan pada kenyataanya tidak dapat menurunkan bahkan mencegah jumlah pernikahan dini. Justru memunculkan kebijakan baru berupa dispensasi pernikahan. Terlihat kebijakan ini saling tumpah tindih. Di satu sisi sebagai upaya menurunkan angka pernikahan dini. Di sisi lain justru menimbulkan masalah baru seolah menjadi jalan keluar pemakluman seks bebas di kalangan remaja. Sehingga perlu adanya dispensasi pernikahan untuk menghindari pergaulan bebas yang berujung pada seks bebas. Padahal dispensasi pernikahan karena seks bebas tidak hanya berakibat pada individu bersangkutan. Namun juga berpotensi melahirkan keluarga tanpa ketahanan, minim persiapan baik secara materi maupun psikologi yang kelak menjadi orang tua bagi generasi selanjutnya.

Berbagai alasan yang memicu terjadinya pernikahan dini sebenarnya tidak lepas dari peran negara dalam mengatur pergaulan remaja dan segala yang mendukung peningkatan kualitas generasi penerus bangsa, baik di mulai dari lingkup keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari minimnya hubungan harmonis di dalam keluarga sehingga anak-anak merasa lebih nyaman bersama teman-temannya dibandingkan menghabiskan waktu bersama keluarga. Pembelajaran di sekolah yang tidak membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan hingga pendidikan reproduksi yang kurang tepat sasaran. Belum lagi, pergaulan di masyarakat yang semakin bebas tanpa aturan. Merasa dikucilkan jika tidak mengikuti tren terkini, bahkan pasangan muda mudi yang tidak tau batasan hingga berakhir seks bebas.

Selain itu, tanpa disadari tayangan-tayangan di televisi pun turut andil. Karena acara yang tidak layak seperti remaja berpacaran, kekerasan dalam rumah tangga hingga lelucon unfaedah justru dipertontonkan. Ditambah lagi, era digital yang segalanya mudah diakses melalui internet tak terkecuali konten pornoaksi dan pornografi. Tentu saja hal semacam ini dapat terjadi karena memang tujuannya hanya keuntungan materi. Bukan mendidik keilmuan apalagi membentuk kepribadian berlandaskan keimanan.

Minimnya peran negara dalam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan terjadi karena sistem kapitalisme yang dianut menjunjung tinggi kebebasan. Sistem yang rusak dari asasnya menjadikan setiap individu merasa memiliki kebebasan atas dirinya. Termasuk menentukan baik buruknya dalam bergaul. Sehingga kerusakan demi kerusakan akan terjadi termasuk maraknya pergaulan bebas. Jika negara membuat aturan yang terlalu membatasi maka negara sama saja melanggar HAM yang selama ini menjadi andalan para penganut kebebasan. Terbukti bahwa penerapan sistem kapitalisme ini hanya memunculkan berbagai permasalahan karena hanya berorientasi pada manfaat bukan kesejahteraan hidup masyarakat.

Maka telah jelas jika yang dibutuhkan masyarakat negeri ini bukanlah kebijakan melarang pernikahan dini ataupun dispensasi pernikahan. Melainkan aturan kongkret terkait interaksi lawan jenis baik di lingkup keluarga, sekolah bahkan masyarakat yaitu sistem Ijtima’i Islam (sistem pergaulan dalam Islam). Dengan adanya aturan tersebut akan menjadikan generasi siap memasuki gerbang keluarga dan mencegah seks bebas remaja.

Sistem ijtima’i merupakan sistem yang mengatur interaksi/pergaulan laki-laki dan perempuan atau sebaliknya serta mengatur hubungan yang timbul sebagai implikasi dari adanya interaksi/pergaulan yang terjadi dan segala sesuatu yang terkait dengan hubungan tersebut. Termasuk hukum-hukum terkait aurat dan aktivitas antara laki-laki dan perempuan. Dalam sistem ijtima’i, seorang perempuan mengenal kehidupan khusus dan kehidupan umum. Kehidupan khusus seorang perempuan berada di dalam lingkup privasi yang hanya terdapat mahramnya.

Sehingga perempuan itu dapat menampakkan auratnya tetapi hanya yang biasa tampak. Sedangkan di dalam kehidupan umum, seorang perempuan berada di ranah umum yang tidak hanya berisi mahramnya. Maka perempuan wajib menutup seluruh auratnya. Selain itu, hukum terkait cara mewujudkan pernikahan yang berlandaskan Islam, kehidupan suami istri yang mendatangkan keberkahan di dalam keluarga hingga pemeliharaan anak dalam rangka mencetak generasi dengan pola pikir dan pola sikap sesuai akidah Islam. Bahkan tata cara adab bertamu pun diatur sesuai hukum syara’. Islam benar-benar menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan sehingga terhindar dari fitnah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 32). Selain itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun berfirman : “Katakanlah kepada laki laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat” (QS. An Nur 24: Ayat 31-32).

Ketika sistem pergaulan dalam Islam diterapkan sesuai syara’ di setiap lingkup keluarga, sekolah bahkan masyarakat, maka usia bukan lagi menjadi permasalahan. Ditambah lagi, negara turut bertanggung jawab dalam mencetak kualitas generasi. Seperti pertama, negara mengontrol tayangan televisi, media sosial dan akses internet agar hanya menyediakan tontonan yang layak sesuai syariat. Kedua, negara menciptakan lingkungan yang menunjang terbentuknya kepribadian Islam. Ketiga, penerapan sanksi yang tegas bagi mereka yang terbukti melanggar hukum syara’. Sehingga negara yang menerapkan Islam kaffah memiliki seperangkat aturan yang dapat mencegah permasalahan dan jika terjadi pelanggaran dapat memberikan sanksi yang menjerakan. Jadi, pernikahan dini tidak menjadi penghalang terbentuknya keluarga dengan ketahanan ekonomi maupun kesiapan menjadi orang tua. Terlebih lagi, masalah pergaulan bebas yang selama ini melekat pada remaja masa kini dapat terselesaikan dengan tuntas.

Begitu kompleksnya Islam memberikan aturan bahkan masalah pergaulan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap hal yang biasa. Karena tanpa disadari, dampak yang ditimbulkan teramat besar ketika aturan ini disepelekan. Oleh karena itu, sudah saatnya kembali secara total kepada aturan Islam yang jelas melindungi dan menjaga keturunan agar nasabnya terjamin. Bahkan menjadikan generasi penerus menjadi generasi berkualitas akan ilmu terlebih lagi memiliki kepribadian Islam. Dan sistem Islam ini hanya dapat diterapkan secara total dalam naungan Khilafah Islamiyah seperti janji Allah swt.

Wallahu’alam bishowab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.