18 Mei 2024

Penulis : Merli Ummu Khila, Kontributor Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Dimensi.id-Abuse of power dan nepotisme menjadi sebuah kutukan politik dalam demokrasi. Siapapun yang terjebak di dalamnya akan melakukan hal tersebut. Entah itu sesuatu yang kecil bahkan yang besar.

Kekuasaan tidak hanya dipandang sebagai alat untuk mendapatkan ketenaran atau gaji yang tinggi. Jauh lebih dari itu, dengan kekuasaan semua hal bisa dilakukan. Keleluasaan membuat kebijakan sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Banyak kita temui beberapa kepala daerah yang membangun dinasti politik. Sebut saja keluarga mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah. Berbekal nama besar bapaknya Haji Tubagus Chasan Sochib seorang pengusaha, sesepuh, dan jawara Banten. Atut memasukkan keluarganya dalam ranah politik praktis.

Dinasti politik ini sempat ingin dihilangkan dengan membuat aturan baru yang tercantum pada Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Namun aturan tersebut hanya berumur lima bulan setelah sukses dianulir oleh MK tepat beberapa hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah.

Seperti yang dilakukan rezim saat ini. Sang Presiden disinyalir hendak melanggengkan kekuasaannya dengan membangun dinasti politik. Dengan mendorong putra dan menantunya untuk mencalonkan diri pada Pilkada tahun ini.

Putra pertama presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming resmi maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dari PDI-Perjuangan. Menantunya, Bobby Afif Nasution atau Bobby Nasution yang berniat maju di Pilkada Medan.

Seperti dilansir oleh kompas.com, 18/07/2020, Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik.

“Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota,” kata Ujang kepada Kompas.com, Sabtu (18/7/2020).

Menilik latar belakang putra Jokowi ini tentu banyak pihak yang menyangsikan. Dari segi pengalaman berpolitik serta latar belakang pendidikan masih belum mumpuni untuk seorang calon kepala daerah.

Namun, demokrasi tentu akan menafikan semua itu. Aturan pilkada sedemikian longgar untuk menyeleksi kelayakan seorang calon pemimpin. Ditambah lagi kemungkinan abuse of power, mengingat sang ayah seorang penguasa yang mempunyai sumber daya yang bisa memenangkannya.

Dinasti politik sangat riskan konflik kepentingan. Mungkinkah antarfamili bisa saling profesional dalam mengawasi dan diawasi. Atau bahkan beresiko terjadi kolusi.

Demokrasi hanyalah retorika kosong yang mengumbar janji kemakmuran. Faktanya bisa terlihat jelas saat semua berlomba merebut tampuk kekuasaan. Menghalalkan segala cara tanpa peduli halal atau haram. Sah atau melanggar konstitusi.

Misal saja untuk mendapatkan suara terbanyak. Dari kampanye hitam hingga politik uang. Mengobral janji demi mendapat simpati. Menjalin deal politik dengan pengusaha demi tambahan modal kampanye.

Terlalu naif jika ini semua dilakukan demi rakyat. Terlalu lugu jika percaya yang mereka lakukan semata demi bangsa. Sulit memastikan seorang calon pemimpin yang rela berkorban tanpa pamrih.

Kriteria kelayakan seorang pemimpin hanyalah formalitas belaka. Popularitas dan modal justru menjadi pertimbangan utama. Pesta demokrasi berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat, dia berkuasa.

Dalam Islam, mencari sosok pemimpin tentu sesuatu yang penting. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Salah memilih pemimpin maka nasib rakyat dipertaruhkan.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkar as-Siyasiyyah menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yang salah satunya adalah yang bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah saw., jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR Muslim).

Seorang pemimpin yang bertakwa akan selalu merasa diawasi oleh Allah Swt atau muraqabah. Dia akan merasa takut melakukan sesuatu yang melanggar hukum, menyalahgunakan wewenang serta tidak akan mengabaikan rakyat yang dipimpinnya.

Khalifah Umar ra. adalah kepala negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (meliputi Syria, Yordania, Libanon, Israel, dan Palestina), serta Mesir. Beliau pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan di Irak terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku mengapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi rata dan bagus).”(Zallum, idem).

Kini kriteria diatas tidak akan pernah bisa diterapkan selama sistem yang dianut bukan dari Islam. Mustahil seorang pemimpin mampu memimpin dengan adil. Sedangkan sedari awal mencalonkan diri, demokrasi memaksanya untuk berkompetisi dengan segala cara yang tidak diperbolehkan hukum syariah.

Pemimpin yang baik tentu saja harus memimpin dengan sistem yang baik pula. Karena mustahil sebuah jabatan mampu dijalankan dengan amanah didalam sebuah sistem yang rusak. Demokrasi ibarat pasar, sebersih apapun seseorang yang masuk maka dia akan terciprat kotoran juga.

Tidak ada pilihan kecuali kembali pada kehidupan Islam. Karena Islam Islam membangun sebuah negara dengan mengadopsi aturan bersumber dari Sang Maha Pengatur. Yaitu sistem Islam dengan bentuk negara berupa Daulah Khilafah Islamiyah.

Siapa yang lebih ditakuti manusia selain penciptanya. Sekuat apapun hukum ditegakkan akan selalu ada celah dilanggar bagi pemimpin yang tidak bertakwa.

Wallahu’alam bishawab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.