4 Mei 2024

Penulis : Siti Komariah, S. Pd. I. (Pemerhati Masalah Umat Konda)

Dimensi.id-Rakyat Indonesia kembali mengeluhkan biaya kesehatan di negeri kapitalis ini. Di tengah pandemi saat ini mereka mengeluh dengan tingginya biaya rapit tes atau swab tes guna mengetahui mereka terinfeksi virus ataupun tidak sebagai syarat bepergian dan menaiki mode transportasi.

Dilansir Kompas.com, Selasa (24/3/2020), di sebuah marketplace harga alat rapid test impor dari China Rp 295.000. Sementara itu akurasinya diklaim mencapai 95 persen hanya dalam waktu 15 menit.

Kemudian di RS Universitas Indonesia salah satunya, biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000 sudah termasuk biaya administrasi. Di Riau, harga tes swab per orang Rp 1,7 juta. Harga tersebut merupakan tes swab mandiri di RSUD Arifin Achmad. (Kompas.com (1/6/2020)

Sementara itu, di Makassar ada yang menjual tes swab seharga Rp 2,4 juta, yaitu di RS Stellamaris seperti diberitakan Kompas.com, (17/6/2020).

Sungguh hal ini jelas membuat rakyat semakin kewalahan dan terbebani, apalagi ditengah pandemi yang menghimpit dan mencekik perekomomian dari berbagai sisi. Bahkan, akibat dari mahalnya biaya rapid tes dan swab tes tersebut membuat nyawa bayi dalam kandungan ibunya meninggal dunia karena tidak mampu membayar tes covid-19 sebagai prasyarat operasi kehamilan.

Sebagaimana dilansir makasar.kompas.com, 19/6/2020, Seorang ibu di Makassar , Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta. Padahal, kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan.

Sungguh miris, pasalnya mahalnya harga tes corona diakibatkan karena pemerintah lamban menentukan harga eceran tertinggi (HET) sehingga setiap orang atau instansi bisa menentukan harga tersendiri atas tes corona tersebut. Hal ini pun dibenarkan oleh Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kemenkes Busroni mengatakan pemerintah belum menetapkan HET hingga saat ini.

“Belum ada sampai saat ini,” ujarnya pada Kompas.com, Sabtu (20/6/2020). Lanjutnya, jadi masing-masing instansi bisa menentukan harganya sendiri.

Sungguh ironis hidup di negeri kapitalis. Biaya kesehatan mahal kembali menelan korban, padahal sejatinya kesehatan merupakan tangungjawab negara. Namun apalah daya, akibat pemerintah yang bermental pengusaha, hampir semua lini kehidupan rakyat dijadikan ajang bisnis, sehingga tidak ada kata gratis dalam kehidupan kapitalis. Bahkan, di negeri kaya ini, rakyat benar-benar akan mengucapkan selamat tinggal kepada kesejahteraan.

Bagaimana tidak, dalam sistem ini rakyat diajari hidup mandiri, semandiri mungkin. Mereka dibiarkan secara mandiri mengurus urusan mereka sendiri, berusaha memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pemerintah yang bermentalkan pengusaha tak mau tau urusan rakyat. Mereka hanya menjadi regulator semata, tanpa menjadi pengelola sejati urusan rakyat.

Seluruh pengelolaan kebutuhan dasar rakyat tak jarang diserahkan kepada swasta/asing. Alhasil, segalanya dikomersil dan diprifatisasi dan dijadikan sebagai peraup untung sebesar-besarnya. Sungguh sangat menderitanya rakyat di negeri kaum kapitalis. Entah sampai kapan rakyat akan terus menderita jika Islam tidak segera ditegakkan.

Islam sebagai agama paripurna menjadikan kemaslahatan rakyatnya guna mengelola sebuah negara. Kemaslahatan rakyat menjadi tujuan utama bagi para pemimpin /khalifah dalam Islam. Tidak sekali-kali rakyat dibiarkan mengurus urusan mereka sendiri, apalagi menyerahkan kepada asing/swasta karena khalifah paham bahwa mereka adalah rain dan junnah bagi rakyatnya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam, negera meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi atau komersialisasi sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi. Sejarah mencatat pada masa kekhilafahan kesehatan diberikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Pun dilengkapi dengan berbagai saran dan prasarana yang terbaik guna menunjang keberhasilan pelayanan kesehatan.

Agar kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi, Khilafah banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4.000 pasien.

Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama pasien; tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama tujuh abad. Sekarang, rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qalawun.

Tak sampai disitu, guna menjangkau rakyat yang berada dibagian pelosok negeri, negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter yang berkopenten. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.

Demikianlah, layanan kesehatan dalam khilafah yang begitu bagus kualitasnya dan juga gratis. Sehingga hanya Islam yang mampu memberikan kesejateraan bagi rakyatnya. Wallahu A’alam Bisshawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.