17 Mei 2024

Penulis  : Cut Zhiya Kelana, S.Kom

Kasus bansos dengan foto kampanye Bupati Klaten dan Tas berlabel ‘bantuan presiden’ makin menegaskan bahwa penanganan wabah pun tak lepas dari politisasi untuk kepentingan kursi rezim. Baru-baru ini negeri ini di hebohkan dengan bantuan yang mengatasnamakan “Presiden RI”dan “Bupati Klaten”.

Padahal negeri ini sedang ditimpa musibah berupa wabah yang menyebabkan banyak kematian dan kelaparan yang merajalela. Namun sempat-sempatnya mereka melakukan kampanye padahal masa pemilu sudah berlalu. Entah apa yang merasuki mereka hingga tega berbuat seperti itu disaat masyarakat sedang merintih menahan lapar.

Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus Corona (Covid-19) sempat tersendat. Hal itu dikarenakan harus menunggu tas pembungkus untuk mengemas paket sembako. Dia mengungkapkan, pembukus itu belum tersedia karena produsen tas tersebut mengalami kesulitan import bahan baku. Sehingga, menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia.

“Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import,” katanya kepada wartawan, Rabu (29/4).(Merdeka.com)

Tas untuk mengemas paket sembako itu berwarna merah putih dan bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Di tas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona.

Foto Bupati Klaten Sri Mulyani yang menempel di paket bantuan sosial (bansos) penanganan virus corona (Covid-19) memantik polemik. Kasus ini membuka mata publik terkait politisasi bansos saat krisis di tengah pandemi.Kejadian bermula dari foto bansos yang viral di media sosial. Dalam paket bantuan hand sanitizer, tertempel wajah Bupati Klaten Sri Mulyani. Unggahan itu disusul oleh foto berbagai paket bantuan sosial yang juga ditempeli wajah politikus PDIP tersebut. Mulai dari beras, masker, hingga buku tulis untuk siswa diwarnai wajah Sri. Warganet pengguna Twitter pun mengkritik keras dengan ramai-ramai mengunggah tagar #BupatiKlatenMemalukan. Tagar itu sempat memuncaki trending topic pada Senin (27/4).(CNNIndonesia.com)

Rasanya sangat miris melihat nasib negeri ini ketika banyak masyarakat kelaparan dan menerjang kematian demi memenuhi hajat hidupnya yang dilupakan negara. Tapi negara masih asyik bermain-main seolah tak penting nyawa masyarakat ini.

Bermain dengan bantuan yang berbelit, yang sangat rumit dan tidak dimengerti oleh masyarakat. Kini malah para politisi ramai-ramai mencari muka dengan sebutan bantuan atas namanya. Padahal semua itu milik rakyat dan haknya mereka yang harus dipenuhi oleh negara tanpa embel-embel lainnya.

Inilah wajah buruk dari sistem rusak bernama kapitalis, masih saja mereka mencari manfaat disaat musibah melanda. Entah dimana hati nuraninya dibawa, tidak kah sedikit lebih peka kepada masyarakat? Pada dasarnya kapitalis hanya mementingkan kehidupan duniawi sehingga tak pernah terlintas di kepala mereka bahwa hal ini menyakiti masyarakat dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Seperti yang dialami para mahasiswa dan keluarga ini, akibat dari tidak bertanggungjawabnya terhadap derita para perantau.

Sebanyak empat belas orang mahasiswa asal Seram Bagian Timur, Maluku, ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja di tengah Pembatasan Sosial Berskala Regional (PSBR) di Maluku untuk mencegah penularan Covid-19 akibat infeksi virus corona (SARS-CoV-2). 

Kepala Bagian Satuan Polisi Pamong Praja Seram Bagian Barat Alberto mengatakan empat belas mahasiswa tersebut tengah diamankan disebuah penginapan dikawasan Kairatu Seram Bagian Barat. Mereka ditangkap lantaran melanggar aturan PSBR di tengah masa pandemi di wilayah Maluku. Berdasarkan introgasi, mereka mengaku nekat pulang kampung lantaran keuangan menepis selama masa PSBR yang diperpanjang sampai 15 mei mendatang. (CNN Indonesia.com)

Nasib tragis dialami satu satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu diketahui sedang hamil besar. Nurhidayat (57), kepala keluarga itu, mengaku datang ke Polewali karena ingin mencari kerabatnya dengan harapan mendapat pekerjaan baru untuk menafkahi keluarganya.

Sebab, pekerjaannya sebagai buruh tani yang ditekuni saat di Tolitoli sudah tak bisa diharapkan setelah virus corona merebak. Namun setelah bersusah payang datang ke Polewali, kerabatnya ternyata sudah pindah dan ia sekeluarga bingung mau kemana lagi. “Rencananya cari teman di Polewali karena tidak lagi punya pekerjaan di Tolitoli, tapi sampai di Polewali ternyata yang bersangkutan sudah tidak ada di lokasi,” jelas Nurhidayat saat ditemui, Kamis (30/4/2020). (Kompas.com)

Begitu banyak penderitaan yang dialami oleh masyarakat, namun hal itu seolah terlupakan. Mereka yang berada diperantauan harus kembali pulang dari pada menahan lapar, padahal selama ini mereka bekerja dan menghasilkan uang, namun karena wabah mereka dipaksa berhenti bekerja. Mereka terkatung tanpa bisa pulang takut membawa penyakit bagi keluarganya atau ditolak didaerahnya. Sedangkan urusan perut dan lainnya pemerintah menutup mata.

Memang demokrasi tak seindah namanya, buktinya begitu banyak penderitaan masyarakat yang diabaikan demi tampuk kekuasaan. Yang mereka junjung tinggi dari rakyat untuk rakyat ternyata hanya sebuah simbolisasi saja. Simbol yang mereka agungkan dan gaungkan tapi dilupakan saat jeritan suara rakyat sama sekali tak didengarnya apatah lagi melihatnya sendiri, entah bagaimana lagi harus dinampakkan pada mereka. Harusnya dengan adanya wabah ini mereka semakin sadar, ada rakyat yang harus dilindungi. Sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam yang mengutamakan rakyat dulu dari pada lainnya.

Sistem Islam adalah sistem yang sangat luar biasa dan telah dicontohkan oleh para khalifahnya. Kita bisa melihat bagaimana Amirul Mukminin yaitu Umar Bin Khatab melayani rakyatnya dengan sepenuh hati. Bahkan saat kondisi wabah di masa Khalifah Umar RA terdata 70 ribu orang membutuhkan makanan dan 30 ribu warga sakit. Semua dibagi rata dan sama tanpa berbelit atau tanpa menunggu kantong stempel tertanda sang khalifah.

Tidak juga pada saat itu Umar mencari pencitraan agar namanya semakin tenar di kalangan masyarakat hingga keluar daulah. Malah pada saat kekeringan melanda beliau ikut merasakan kelaparan dengan rakyatnya, dan beliau bersumpah tidak akan makan daging dan samin hingga musim panceklik berakhir dan kehidupan kembali normal. Pada saat ini pasar pun sepi hingga tak ada lagi yang bisa dijual dan uang pada saat itu pun tak berlaku lagi.

Begitu juga Umar melakukan sidak ke pasar, agar mengetahui tak ada kecurangan di pasar dengan menaikkan harga sembako yang tak mampu dijangkau masyarakat. Dan kisah Umar yang paling luar biasa adalah ketika didapati satu keluarga yang kelaparan sedang merebus batu untuk mendiamkan putra-putrinya yang kelaparan. Pada saat itu Umar sadar bahwa ia telah lalai dari tugasnya, hingga ada orang yang terlupakan yang harusnya haknya harus diberikan. Maka Umar bersegera kegudang mengambil secukupnya dan kembali kerumah keluarga itu sembari memasak sendiri makanan untuk diberikan kepada anak-anak yang menangis karena kelaparan.

Sungguh Islam sangat luar biasa, sehingga pemimpin yang bertakwa lebih takut kepada rakyatnya yang meminta pertanggungjawabanya kelak di yaumil akhir. Maka dimana mungkin bisa kita temui pemimpin seperti itu di sistem rusak ini. Menyamakan dirinya dengan para khalifah sedangkan apa yang dia lakukan kepada rakyatnya sama sekali jauh dari hal itu. Rakyat sudah menjerit, sakit dan merintih dalam tangis namun mereka masih diam membisu mungkin akibat telinganya sudah tak mampu lagi mendengar jeritan rakyat. Wallahu “Alam [S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.