17 Mei 2024

Penulis : Salamatul Fitri | Aktivis Dakwah Kampus

Dimensi.id-Pandemi Covid-19 yang belum berakhir memperparah kondisi perekonomian indonesia. Kondisi tersebut telah terjadi sebelum pandemi datang, perekonomian indonesia sudah memburuk karena menerapkan sistem ekonomi kapitalis berbasis ribawi. Berbagai negara di dunia berusaha bertahan menghadapi pandemi begitu juga indonesia, kondisi perekonomian yang buruk menyebabkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menjadi pegangan negara ini untuk tetap bertahan. Sayangnya, pengeluaran yang besar dimasa pandemi tidak dibarengi dengan pemasukan yang merosot tajam sehingga terjadi defisit antara pemasukan dan pengeluaran dan jalan satu-satunya untuk mengatasinya dengan melakukan pinjaman (utang).

Indonesia menghadapi persoalan kenaikan utang luar negeri sejak krisis ekonomi tahun 1998 dan era reformasi bergulir. Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020. Bahkan, belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan “Statistik Utang Internasional (IDS) menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar. (Republika.co.id, 27/12/2020).

Keadaan diperparah dengan adanya korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) yang dilakukan oleh pejabat negara sehingga dana yang seharusnya dinikmati rakyat untuk mengurangi sedikit beban hidupnya selama pandemi urung dinikmati. Kebijakan negara yang mengambil pinjaman luar negeri dalam bentuk Surat Utang Negara, Perjanjian Bilateral dan Perjanjian Multilateral menambah permasalahan baru karena pinjaman tersebut berbasis sistem ekonomi ribawi. Surat Utang Negara yang dijanjikan adalah kelebihan ribanya, begitu juga dengan perjanjian bilateral dan multilateral yang dilakukan oleh pihak luar negeri dan lembaga keuangan dunia menginginkan pengembalian yang berlebih jika sudah jatuh tempo.

Sistem ekonomi yang berbasis ribawi telah memperburuk kondisi perekonomian dunia ditambah dengan kondisi pandemi terjadi. Selain itu, ada sistem perekonomian yang stabil dan mampu memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya. Sistem APBN tersebut sumber pemasukan utamanya bukan dari hutang dan pajak serta tidak mengalami damage (kerusakan) seperti sistem ekonomi kapitalis saat ini. Sistem Keungan Negara Baitul mal tidak pernah berada dalam kondisi defisit karena memiliki tiga keunggulan diantaranya, pertama dari sisi pemasukan baitul mal memliki pemasukan yang beragam dan sangat banyak jenisnya sehingga tidak mengandalkan pajak dan hutang dalam memperoleh pemasukan. Kedua, dalam mengatur alokasi pembelanjaannya jelas akan diambil dari pos pemasukan yang mana sehingga tidak dikumpulkan jadi satu baru dialokasikan, tiap-tiap pembelanjaan yang berdasarkan syariat islam sudah jelas dari pos pemasukan yang sudah ditentukan. Ketiga, dalam penyusunan baitul mal tidak dilakukan tahunan tetapi sepanjang waktu mengikuti alokasi waktu pemasukan dan pembelanjaan berdasarkan syariat islam. Sangat berbeda dengan sistem keuangan saat ini yang “menghabiskan anggaran” setiap tahunnya sedangkan dalam sistem keuangan baitul mal tidak mengenal perkara tersebut. Pengelolaan tersebut juga menunjukkan bahwa efisiensi anggaran hanya ditemukan dalam sistem keuangan negara baitul mal. Dengan cara tersebut, menunjukkan bahwa sistem keuangan negara akan stabil walaupun dalam kondisi terdesak karena wabah seperti saat ini.

Pos pemasukan baitul mal sangat beragam seperti fai, ghanimah, kharaj, jizyah, harta pengelolaan milik umum termasuk sumber daya alam, harta pengelolaan milik negara, usyur, khumus, rikaz, pengelolaan barang tambang dan zakat mal yang dikhususkan untuk delapan asnaf penerima zakat. Pajak dan hutang tidak menjadi sumber pemasukan utama negara karena dengan hutang menjadi pintu masuknya penjajah menguasai negara begitu juga dengan pajak yang menurunkan kualitas hidup rakyat. Pos pembelanjaan baitul mal juga jelas dimana setiap pos pemasukan telah ditentukan pembelanjaannya sehingga tidak akan dimanfaatkan secara pribadi ataupun kelompok.

 Pengaturan pengeluaran untuk pembelanjaan kantor-kantor pemerintah seperti kantor khilafah, mu’awin, wali dan peradilan kemudian santunan untuk fakir, miskin, perempuan yang tidak memiliki wali untuk menghidupinya diambil dari pos pemasukan yakni fai dan kharaj, alokasi pengeluaran untuk jihad, persenjataan, industri militer maka diambil dari fai, kharaj dan harta pengelolaan milik umum. Kemudian, pengaturan dalam situasi yang khusus semisal wabah, bencana maka pembelanjaan akan diambil dari fai, kharaj dan harta pengelolaan kepemilikan umum. Apabila terjadi kekurangan dana maka diambil dari pos dharibah semacam pajak tapi berbeda dengan pungutan pajak saat ini. Dharibah adalah pungutan pajak yang hanya dibebankan kepada muslim yang kaya, jumlahnya dihitung dengan selisih kekurangan dari harta fai, kharaj dan harta pengelolaan milik umum secara temporal. Ketika sistuasi genting tersebut dilalui maka pungutan tersebut dihentikan. Dengan seperti ini, sistem perekonomian negara mensupport dalam kondisi genting. Harta pengelolaan milik umum juga dialokasikan untuk pembiayaan kebutuhan publik rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis berlaku untuk rakyat muslim dan non muslim.

Pengaturan sistem ekonomi negara tersebut dikontrol oleh lembaga yang disebut muwazanah al-amah, muhasabah al-amah dan muraqabah al-amah yang bertugas mengawasi dan meneliti secara mendalam masing-masing pos pemasukan dan alokasi pembelanjaannya sesuai dengan syariat islam atau tidak. Pengaturan sistem keuangan negara berdasar syariat islam terbukti memberikan kesejahteraan bagi rakyat serta mampu menghadapi gomcangan terutama dalam kondisi sulit ketika pandemi/wabah terjadi. Wallahu’alambisshawab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.