12 Mei 2024
12 / 100

 

Oleh Reni Rosmawati

Ibu Rumah Tangga

 

 

“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan ulah tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali ke jalan yangbenar.” “(TQS. Ar-Ruum: 41)

 

Dilansir oleh CNN Indonesia (13/1/2024), berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, ada 6.467 warga Riau yang mengungsi akibat rumah, lahan, dan tempat usaha mereka terendam banjir.

 

Masih dalam laman yang sama, Kepala BPBD Riau, M. Edy Afrizal dalam keterangannya mengatakan jumlah pengungsi Riau terus bertambah. Ia pun turut mengungkapkan duka cita, atas meninggalnya empat orang warga dalam musibah banjir ini.

 

Tidak Aman dari Banjir

 

Faktanya, dalam satu dekade ini beberapa wilayah di Indonesia memang kerap mengalami banjir bandang yang cukup parah hingga menelan korban jiwa. Di antaranya banjir bandang Manado pada tahun 2014, yang menenggelamkan ribuan rumah warga. Sebanyak 86.355 jiwa terdampak bencana tersebut, 18 tewas, 840 rumah hanyut. Juga banjir bandang Garut di tahun 2016 silam. Diketahui banjir ini merendam 594 bangunan, dan mengakibatkan 6.361 warga mengungsi, 34 orang meninggal, 19 orang hilang, dan 35 orang terluka. (Gerakbareng.org, 31/10/2020)

 

Dari fakta di atas, kita bisa melihat betapa banjir di negeri ini sekarang menjadi momok yang amat menakutkan. Jika biasanya hanya Jakarta yang kita dengar sebagai langganan banjir, kini hampir seluruh wilayah di tanah air menjadi rawan banjir. Tidak ada jaminan satu saja wilayah di tanah air aman dari banjir. Hal ini mencuatkan pertanyaan kenapa yang demikian bisa terjadi?

 

Penyebab Banjir

 

Jika kita menilik dengan seksama, maka akan kita dapati bahwa semua banjir yang terjadi di negeri ini amat erat kaitannya dengan pembangunan wilayah yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam oleh pemerintah. Maraknya pembangunan infrastruktur dan tempat pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah nyatanya telah mengalihfungsikan lahan yang tadinya menjadi area resapan air seperti hutan. Sehingga mengakibatkan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Akhirnya ketika terjadi hujan besar, kemungkinan air terserap semakin kecil. Sebab, tanah dan area hijau yang semestinya menjadi tempat serapan air, telah berganti menjadi aspal dan beton.

 

Karena itu, meskipun sejauh ini kanal, gorong-gorong, waduk, dan lain sebagainya dibangun oleh pemerintah untuk mengatasi banjir, namun hingga hari ini semuanya tidak mampu mengatasi banjir secara tuntas. Karena penyebabnya terletak pada pembangunan infrastruktur yang tidak memikirkan dampak lingkungan dan pengalih fungsi lahan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah.

 

 

Sistem Demokrasi Kapitalisme Penyebab Utama

 

Sejatinya, maraknya banjir di negeri ini akar masalahnya terletak pada penerapan sistem yang salah, yakni sistem demokrasi kapitalisme. Paradigma kepemimpinan dalam sistem demokrasi kapitalisme hanya mengedepankan untung dan rugi, bukan mengurus rakyat. Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi pun telah memberi ruang seluas-luasnya bagi penguasa berkolaborasi dengan pemilik modal (pengusaha) untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka tidak heran muncullah banyak aturan yang memudahkan dalam pembangunan industri, perkantoran, hotel mewah, tempat wisata, dan lain sebagainya di daerah yang sudah padat penduduk dan area-area hijau tempat resapan air.

 

Sementara, pembangunan ini tidak dibarengi faktor penunjang yang mampu menekan efek kelanjutannya bagi lingkungan sekitar. Sebab prinsip kebebasan kepemilikan kapitalisme membuat para penguasa memberikan kebebasan kepada para pengusaha untuk menguasai kekayaan alam dan melakukan alih fungsi lahan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Pegunungan menjadi gundul hingga menyebabkan banjir. Pun pembangunan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan, sehingga mengakibatkan hilangnya ruang terbuka dan resapan air.

 

Inilah bukti jahatnya sistem demokrasi kapitalisme. Model pembangunan yang dibangun atas asas kapitalisme hanya mengutamakaan keuntungan dan abai atas dampak terhadap lingkungan. Masihkah mau bertahan dengan sistem ini?

 

Islam Solusi Tuntas untuk Banjir

 

Sebagai agama sempurna Islam hadir ke dunia ini sebagai solusi atas seluruh problematik kehidupan. Islam adalah sistem kehidupan.

 

Sistem ekonomi dalam Islam, tidak berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat makro, melainkan pada distribusi. Sehingga aktivitas ekonomi dalam sistem Islam akan merata. Dalam pandangan Islam, keselamatan dan kenyamanan rakyat adalah hal utama. Hal ini karena kepemimpinan dalam Islam hanya bertujuan untuk meriayah (mengurus) rakyat, bukan untuk mencari keuntungan duniawi yang bersifat sementara.

 

Rasulullah saw. bersabda: “Seorang imam (pemimpin) adalah raa’in (pengurus) rakyat. Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Sebagai representasi dari hadis ini, maka penguasa dalam sistem Islam akan menjalankan kebijakan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Kebijakan pembangunan akan senantiasa mempertimbangkan kemaslahatan rakyat. Sebab, tujuan dibangunnya infrastruktur dalam Islam semata-mata untuk kepentingan dan memudahkan kehidupan umat. Karena itu, tata kota pun akan dikembangkan dengan memberikan daya dukung lingkungan, karena Islam melarang bersikap zalim baik terhadap sesama manusia, hewan hingga tumbuhan.

 

Islam juga menetapkan bahwa status kepemilikan harta di dunia terbagi menjadi tiga yaitu: kepemilikan umum, negara, dan individu. Kepemilikan umum seperti seluruh sumber daya alam, hutan, laut, gunung, dan jalan, tidak boleh dikuasakan kepada individu baik lokal maupun asing. Negara tidak boleh mengubah kepemilikan umum menjadi milik para kapitalis apapun dalihnya. Termasuk membiarkan pembangunan pemukiman yang akan mengancam keberadaan daerah tersebut.

 

Sejarah mencatat, betapa sistem Islam teruji kemampuannya dalam mengatasi banjir. Berbagai bendungan dibangun untuk mencegah banjir maupun keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.

 

Dalam mengatasi banjir, negara yang menerapkan Islam di masa lalu pun menempuh upaya pencegahan dan perbaikan.

 

Upaya pencegahan dilakukan dengan cara; memetakan daerah-daerah rendah dan rawan terkena genangan air, menyuruh masyarakat menjaga lingkungan agar tetap bersih dan melarangnya membuat pemukiman di sekitar area banjir, melindungi hutan dan tidak mengalihfungsikan lahan berlebihan, menetapkan pembangunan pemukiman atau fasilitas publik lainnya harus dilakukan dengan mengutamakan faktor sanitasi, melakukan penjagaan terhadap sungai, kanal, danau, dan sejenisnya, serta membentuk badan khusus untuk menanggulangi bencana alam.

 

Negara juga mengatur tata letak kota. Hutan tetap di posisinya, tidak dialih kuasakan kepada swasta untuk dijadikan area bisnis maupun pariwisata. Ditetapkan mana-mana saja wilayah resapan dan wilayah perumahan warga.

 

Sementara upaya perbaikan ditempuh negara Islam di masa lalu dengan cara; melakukan cepat tanggap dan evakuasi terhadap korban-korban banjir maupun bencana alam lainnya. Kemudian memindahkan mereka ke tempat yang aman dan nyaman, disertai berbagai makanan, obat-obatan, dan pakaian untuk korban. Selain itu, para korban banjir dan bencana alam lainnya pun diberikan penguatan ruhiyah setiap harinya, sehingga mereka tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapi bencana yang merupakan ketetapan Allah.

 

Demikianlah betapa luar biasanya negara yang menerapkan aturan Islam dalam mengatasi banjir. Hanya sistem Islam yang mampu mengatasi banjir. Sungguh, banjir yang terus terjadi hingga menelan korban jiwa juga bencana alam lainnya adalah akibat dari diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Masih maukah kita mempertahankan sistem rusak ini? Masih enggankah kita kembali menerapkan sistem Islam kafah? Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.