2 Mei 2024
APBN 2024 Semakin Pro Oligarki dan Abaikan Rakyat
76 / 100

Dimensi.id-Postur RAPBN 2024 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.781,3 triliun, alokasi belanja negara sebesar Rp3.304,1 triliun, keseimbangan primer negatif sebesar Rp25,5 triliun yang didorong bergerak menuju positif, serta defisit anggaran sebesar 2,29 persen dari PDB atau sebesar Rp522,8 triliun. Lebih lanjut, RAPBN tahun 2024 juga difokuskan untuk menyelesaikan berbagai proyek pembangunan nasional pada tahun 2024.

Fakta APBN2024 Anggaran Belanja Pro Oligarki & Abaikan Rakyat

Meski demikian, pemerintah dan DPR menyepakati beberapa asumsi, antara lain yakni, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen; laju inflasi 2,8 persen; nilai tukar rupiah Rp15.000 per dolar AS; harga minyak mentah 82 dolar AS per barel; lifting minyak bumi 635 ribu barel per hari; lifting gas bumi 1,03 juta barel setara minyak per hari, serta tingkat suku bunga sebesar 6,7 persen untuk tenor 10 tahun.

Lebih lanjut ia menyampaikan, dalam RUU keuangan negara tersebut, pendapatan negara disepakati sebesar Rp2.802,29 triliun atau naik Rp20 triliun dari yang sebelumnya diajukan. Sedangkan, belanja negara dialokasikan sebesar Rp3.325,11 triliun, dengan total anggaran belanja tertinggi ada pada non kementerian atau lembaga (K/L) yakni Rp1.377 triliun, angka tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp1.359 triliun.

Disisi lain, Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan pemerintah menarik utang baru senilai Rp600 triliun pada tahun 2024. Adapun, utang baru tersebut untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang ditargetkan naik menjadi sebesar 2,9 persen atau senilai Rp522,8 triliun, dibandingkan target defisit 2023 sebesar 2,27 persen.

Deni melanjutkan naiknya angka penarikan utang pada 2024 akan menambah pembiayaan untuk utang pokok dan bunga, namun, menurutnya, rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih terbilang aman.

Melansir Buku Nota Keuangan 2024, Presiden Joko Widodo bersiap menarik utang baru atau pembiayaan utang senilai Rp648,1 triliun sebagaimana RAPBN 2024, atau naik 14,9 persen year on year (yoy) dibandingkan outlook tahun ini yang senilai Rp406,4 triliun.

Adapun, pembiayaan utang senilai Rp648,1 triliun itu untuk menutup defisit anggaran tahun depan yang ditargetkan senilai Rp522,8 triliun atau 2,29 persen dari Target pendapatan negara dalam APBN 2023 sebesar Rp2.463 triliun.

Darimana Pendapatan APBN Berasal?

Rancangan pendapatan terbesar APBN bersumber dari penerimaan pajak, yaitu sebesar Rp2.021 triliun dan Peneriman Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp441 triliun.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengerek anggaran infrastruktur pada 2023 hingga menyentuh level tertinggi selama menjabat RI-1. Bahkan, rekor tersebut tertinggi sepanjang sejarah republik ini. Angka tersebut menjadi yang tertinggi dalam kurun 10 tahun. Dalam pidato penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) beserta Nota Keuangan 2024, Jokowi menyampaikan alokasi anggaran infrastruktur sebesar Rp422,7 triliun, naik 5,8 persen dibandingkan dengan pos tahun 2023.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, sepanjang 2015-2022 Pemerintahan Jokowi telah menggelontorkan anggaran infrastruktur mencapai Rp2.778 triliun untuk menuntaskan proyek strategis. Dari total anggaran itu, sebagian besar dana digunakan untuk pembangunan jalan tol. Sri Mulyani menyampaikan panjang jalan tol yang telah beroperasi hingga 2022 mencapai 2.687 kilometer.

Alokasi infrastruktur ini juga termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi sementara anggaran pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada tahun anggaran 2023 mencapai Rp26,7 triliun atau setara 97,6 persen dari pagu anggaran. Realisasi anggaran sebesar Rp26,7 triliun digunakan untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp24,3 triliun serta noninfrastruktur Rp3,0 triliun.

Penyaluran anggaran infrastruktur digunakan untuk pembangunan istana negara dan kawasan ini pusat pemerintahan, kawasan pemukiman (pembangunan tower rusun aparatur sipil negara serta pertahanan dan keamanan), serta pembangunan jalan tol IKN.

Pemerintah juga tidak konsisten dalam pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Awalnya, pada September 2015, Jokowi berjanji proyek tersebut akan dibangun tanpa menggunakan dana APBN dan pemerintah akan melakukan kerja sama dengan asing. Namun, kini Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk proyek tersebut karena kebutuhan dananya membengkak dari Rp86 triliun menjadi Rp114 triliun.

Anggaran Infrastruktur Jauh Lebih Tinggi Dibandingkan Kesehatan.

Anggaran kesehatan 2024 dialokasikan Rp186,4 triliun, naik tipis dari tahun ini sebelumnya Rp172,5 triliun. Padahal, dalam pidatonya, Jokowi ingin memerangi gizi buruk (stunting) yang terjadi di Indonesia. Percepatan stunting dengan mengejar target 14 persen pada 2024. Namun, realitasnya anggaran kesehatan banyak disedot untuk membayar gaji dan belanja kementerian/lembaga, yakni Rp106,9 triliun.

Ketua DPR Puan Maharani menyoroti pengelolaan anggaran stunting yang masih kurang optimal. Pada APBD terdapat satu daerah yang memiliki anggaran stunting mencapai Rp10 miliar, tetapi digunakan tidak sampai Rp2 miliar. Sedangkan Rp8 miliar dipergunakan untuk perjalanan dinas, rapat-rapat, penguatan dan pengembangan.

Senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa anggaran perlindungan sosial (perlinsos) tahun depan dialokasikan sebesar Rp493,5 triliun dalam RAPBN 2024. Angka ini meningkat 12,4% dibandingkan outlook 2023 (Rp439,1 triliun). Secara umum, anggaran tersebut digunakan untuk program bantuan sosial (seperti PKH dan bansos pangan sembako), bantuan iuran JKN, beasiswa (PIP dan KIP), dana siap pakai bencana, subsidi BBM, dan subsidi LPG tabung 3 kg, subsidi bunga KUR, serta BLT Desa.

Namun, Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas mengatakan bahwa anggaran pengentasan kemiskinan 2022 sebanyak Rp500 triliun yang disebar ke berbagai kementerian dan lembaga di Tanah Air, tidak efektif. Menurutnya, para birokrat lebih sibuk melakukan rapat dan studi banding daripada melakukan pengentasan kemiskinan.

Dalam rancangan APBN, Indonesia selalu bertumpu pada pemasukan dari pajak dan utang. Dimana sumber pemasukan terbesar dari pajak yakni 80% dari total rancangan pendapatan negara. Pertumbuhan perpajakan sangat tinggi mendekati 5 persen.

Besarnya angka pungutan pajak, tentu sangat membebani rakyat. Akibatnya, rakyat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi harga sembako kian melambung tinggi. Adapun hutang luar negeri Indonesia juga selalu naik dari tahun ke tahun.

Utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp 8. 041 triliun per November 2023. Dengan pembayaran bunga yang sangat besar, sepertinya sulit bagi negara kita untuk lepas dari jeratan hutang. Karena hutang pokok tidak pernah berkurang. Belum lagi membayar bunga  hutangnya.

Menurut Alexander Michael Tjahjadi dari Think Policy Indonesia, sebanyak 20,8 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk membayar bunga utang. Bunga utang adalah biaya yang harus dibayarkan oleh pemerintah atas pinjaman yang telah diambil, baik dari dalam maupun luar negeri.

Semuanya Jelas Demi Oligarki

Semua ini secara jelas menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengakomodir kepentingan oligarki daripada kepentingan hajat hidup mayoritas rakyat yang berjuang untuk bertahan hidup di masa pandemi. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan jargon demokrasi: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Negara justru memberikan harapan palsu terwujudnya kesejahteraan rakyat dan membela kepentingan oligarki.

Mantan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, memperkuat kondisi yang terjadi saat ini. Menurutnya, kekuasaan oligarki yang makin tumbuh subur di Indonesia saat ini, telah menguasai penyusunan undang-undang dan pengalokasian APBN. Bahkan, oligarki minoritas menguasai perekonomian nasional dan pemerintahan.

Padahal, oligarki tersebut merupakan kelompok minoritas terbatas, sedangkan rakyat yang menjadi mayoritas dalam negara justru hanya menerima dampak dari ketimpangan yang dihasilkan dari para oligarki.

Fenomena ini menyebabkan masyarakat mayoritas makin tersingkir dalam kegiatan perekonomian nasional. Kekuasaan yang dimiliki para oligarki tersebut berdampak pula pada munculnya intoleransi/ketimpangan ekonomi.

Politik APBN Dalam Sistem Islam

APBN Indonesia banyak kekurangan. Berbeda dengan APBN dalam sistem Khilafah. APBN-nya tidak disusun tiap tahun. Pasalnya, baik anggaran pendapatan maupun belanjanya merupakan hukum syariah yang sudah baku. Tidak membutuhkan pembahasan atau musyawarah.

Mengenai besarannya juga demikian. Ini mengikuti hukum pokoknya. Meski diserahkan kepada Khalifah, pada dasarnya khalifah tetap menginduk pada hukum pokok tersebut. Hanya saja, Khalifah diberi hak untuk menentukan besaran tersebut sesuai dengan pandangannya.

Dengan mekanisme seperti ini, di dalam Khilafah tidak ada masalah yang terkait dengan penyusunan APBN. Dengan cara yang sama, sistem ini telah mampu mengiliminasi potensi konflik kepentingan antara partai pemerintah dan oposisi, yang bertarung untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan begitu, rakyat tidak akan menjadi korban politik kepentingan. Negara juga tidak akan mengalami Government Shutdown.

Dengan mekanisme yang simpel, yaitu keputusan di tangan Khalifah, tidak akan terjadi pembahasan APBN yang bertele-tele, dan melelahkan. Pasalnya, semua keputusan ada di tangan khalifah. Bahkan Majelis Umat pun tidak diberi hak untuk membahas untuk mencampuri masalah APBN ini. Ini bukan wilayah yang harus dibahas dengan mereka. Jika pun memberi pandangan, pandangan mereka tidak memiliki kekuatan hukum. Pendapat mereka dalam hal ini tidak bersifat mengikat.

Dengan mekanisme seperti ini, negara tidak akan mengalami masalah, baik ketika APBN normal ataupun membengkak. Ketika APBN membengkak pun, dengan mudah Khalifah langsung membuat keputusan. Tidak perlu menunggu majelis umat. Pasalnya, masalah membengkaknya anggaran ini hanya terkait dengan besarannya, yang nota bene merupakan derivasi dari hukum-hukum pokok yang terkait dengan APBN tadi.

Masalah timbul, ketika pendapatan APBN tersebut tidak bisa menutupi besaran belanjanya. Dalam kondisi seperti ini, Khalifah mengambil sejumlah langkah yang memang dibenarkan oleh syariah. Di antaranya dengan mengambil pajak dari kaum Muslim, laki-laki dan dewasa. Ini dialokasikan untuk:

  1. Menutupi kebutuhan fakir, miskin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah
  2. Menutupi kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali)
  3. Menutupi kebutuhan Baitul Mal untuk kemaslahatan publik yang bersifat vital, seperti jalan raya, penggalian sumber air, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit;
  4. Menutupi kebutuhan Baitul Mal karena  kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi. Pajak yang diambil oleh Khilafah dalam hal ini bersifat darurat. Hanya boleh diambil sebatas untuk menutupi kebutuhan di atas. Tidak lebih. Hanya saja, selain opsi pengambilan pajak ini, Khilafah juga dibenarkan untuk mencari dana talangan (pinjaman) jika kondisinya sangat kritis.

Kebolehan mencari dana talangan (pinjaman), karena kondisi darurat, dan dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut dialokasikan untuk menutupi beberapa kebutuhan, antara lain: (1) Kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil, jihad fi sabilillah; (2) Kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali); (3) Kebutuhan karena  kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi. [APBN Khilafah untuk Kesejahteraan Rakyat

Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berlandaskan aturan Allah, dan menerapkan aturan Allah secara kafah. Tidak ada celah untuk mengakomodir kepentingan manusia, apalagi kepentingan para oligarki. Begitu pun dalam penyusunan APBN, Khalifah sebagai pemegang wewenang untuk memutuskannya hanya merujuk aturan syariat dalam menetapkan penerimaan dan belanja negara.

Dalam Khilafah, APBN ini dalam pengelolaan Baitulmal. APBN yang diterapkan memenuhi prinsip keadilan dan menyejahterakan rakyat, tidak berpihak pada segelintir elite rakyat atau oligarki, sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi.

Dalam Pos Penerimaan, syariat telah menggariskan tiga sumber pendapatan negara yaitu:

  • Pertama, harta kepemilikan negara yang meliputi.
    1. Ganimah, mencakup anfal, fai, dan khumus, yakni rampasan perang;
    2. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad. Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut;
    3. Sewa tanah-tanah milik negara;
    4. Jizyah, yakni pajak dari warga nonmuslim yang dewasa dan berada sebagai jaminan ketundukan mereka, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad, maupun pajak—bila ada;
    5. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan, dsb.;
    6. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang kaya apabila pos yang lain benar-benar kosong.
  • Kedua, hasil pengelolaan harta kepemilikan umum seperti barang tambang, hutan, dan lainnya.
  • Ketiga, sumber pendapatan lain seperti, zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas, dan perak. Tiga pos ini bertumpu pada sektor riil dan produktif yang akan selalu mengalir. Dengan banyaknya sumber penerimaan negara Khilafah, rakyat tidak akan dibebani pajak. Begitu pun dengan belanja negara, syariat juga telah menetapkan pos pengeluaran. Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran kas negara (Baitulmal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:

    Harta yang menjadi kas tersendiri Baitulmal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitulmal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorang pun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.

Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad. Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan, negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak, seperti pendidikan dan kesehatan. Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru, dan sebagainya. Ini juga bersifat pasti.

Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam, wabah, atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti.

Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti.

Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.

Demikianlah, APBN Khilafah disusun dengan berlandaskan aturan Allah, yang memerintahkan khalifah sebagai pengurus urusan rakyat dan menjadi pelindung rakyat. Khalifah akan memenuhi amanah Allah untuk menjamin hidup rakyat, karena sadar ada pertanggungjawaban di hadapan Allah. Khilafah Islamiah akan mewujudkan kesejahteraan individu per individu rakyat di dunia, dan menghantarkan turunnya keberkahan dari Allah. Insyaallah. Wallahu A’lam Bisshowab.

Penulis : Ummu Azka

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.