10 Mei 2024

Oleh Reni Rosmawati
Ibu Rumah Tangga

Entah apa yang merasuki benak para punggawa negeri ini. Kenapa begitu senang mengotak-atik Islam beserta ajarannya. Bahkan hal tersebut tampaknya sudah menjadi habit (kebiasaan) di negeri ini. Bagaimana tidak, setelah jihad dan khilafah dikerdilkan dari materi sekolah, kini giliran fikih yang dibidik pemerintah, karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Dilansir oleh Antaranews, (24/11/2021), Kementerian Agama telah selesai menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 tahun pada 25-29 Oktober di Surakarta, Jawa Tengah. Tema yang diusung dalam AICIS kali ini adalah ‘Islam in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy’ (Reaktualisasi Fikih dan Kaitannya dengan Berbagai Kebijakan Publik)

Merespon hal ini, Dirjen Pendidikan Islam, M. Ali Ramdhani, menuturkan bahwa tema yang diambil AICIS dirumuskan untuk menjawab dinamika perubahan Islam dunia. Menurutnya, dengan reaktualisasi fikih, maka beragam isu seperti moderasi beragama, kerukunan, pandemi, harmoni, tata kelola pendidikan, wisata halal, dan lain sebagainya, dapat dilihat lebih dekat dengan arah pandang Islam. Ali pun berharap AICIS dapat menguatkan identitas ilmu pengetahuan Islam Indonesia, sehingga menjadi rujukan keilmuan keislaman dunia.

Hal senada disampaikan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Ia mengemukakan perlunya fikih Islam alternatif, guna menampilkan wajah baru Islam masa kini. Menurutnya, untuk merespon tantangan zaman, kajian rekontekstualisasi fikih sangat penting dan relevan dengan perkembangan dunia saat ini. Agar praktik-praktik pengamalan Islam tidak bertentangan dengan pesan Islam itu sendiri. (Tempo.co, 26/11/2021)

Jika dilihat dengan kasat mata, sekilas tujuan reaktualisasi fikih yang didengungkan pemerintah tampak benar dan bijak. Namun, apabila ditelisik dengan seksama, kontekstualisasi fikih yang diaruskan oleh pemerintah memiliki bahaya yang lebih besar dibanding ide awalnya yang dimotori orang-orang yang mempunyai kedengkian pada Islam.

Sejatinya, reaktualisasi fikih yang dinarasikan pemerintah akan berdampak pengerdilan ajaran Islam dan merusak kemurnian Islam. Pasalnya, Islam dan syariatnya berusaha dicocok-cocokan, agar mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman juga kehidupan manusia yang terus berubah sesuai dengan nafsunya. Hal ini tentunya akan berefek pada penafsiran Islam sesuai akal manusia dan fakta yang ada. Alhasil, Islam akan diatur-atur sesuka hati manusia. Padahal sejatinya manusialah yang semestinya diatur oleh Islam.

Selain itu, kebahayaan lain yang timbul akibat reaktualisasi fikih adalah akan muncul kebimbangan di hati umat terhadap Islam, yang akhirnya menjauhkannya dari solusi syariat. Umat akan menganggap mempelajari fikih Islam bukan hal yang penting lagi. Lebih jauh lagi, rekontekstualisasi fikih akan mematikan ajaran Islam yang dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini. Seperti ajaran khilafah. Padahal, khilafah adalah ajaran Islam yang jelas termaktub dalam fikih dan wajib direalisasikan dalam kehidupan umat.

Jika kita telusuri, wacana reaktualisasi fikih semakin menguatkan dugaan bahwa proyek moderasi beragama dan pengukuhan sekularisme kian masif digencarkan pemerintah. Rekontekstualisasi fikih yang disampaikan Menag menjadi bukti nyata bahwa saat ini kita tengah digiring untuk menerima cara berpikir yang terlihat masuk akal, padahal irasional.

Dalam pandangan Islam, fikih demikian penting. Fikih bukanlah buah pikiran manusia sebagaimana pendapat filosof atau pemikir, tapi pemahaman terhadap wahyu Allah (nash Al-Qur’an dan Hadis) dengan kaidah yang telah ditetapkan syariat. Fikih adalah ilmu yang mengatur segala hal terkait hukum syariat yang bersifat praktis dan telah digali oleh para mujtahid mukhlis (yang tidak memiliki kepentingan duniawi), berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dengan Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukannya. Itulah sebabnya, mustahil dalam fikih terdapat kesalahan atau keluar dari garis kebenaran. Fikih benar-benar merupakan salah satu rujukan dan solusi bagi manusia, agar tidak salah dalam pengamalan syariat Islam. Fikih sendiri telah berkembang dan disepakati para ulama dari masa ke masa dan tidak pernah diusik.

Tetapi sangatlah ironis, penerapan sistem kapitalisme-sekuler telah melahirkan manusia-manusia yang tidak yakin akan fikih dan kesempurnaan Islam. Mereka menganggap Islam perlu diselaraskan dengan pemikiran lainnya, sehingga berambisi ingin menggugat dan mengkaji ulang syariat Islam.

Memang benar, saat ini umat Islam dihadapkan dengan berbagai persoalan baru, yang tidak ada sebelumnya dan memerlukan pemecahan segera. Tetapi merekontekstualisasi fikih bukanlah solusi. Karena dalam Islam, untuk menyelesaikan masalah kehidupan diperlukan ijtihad. Namun perlu digarisbawahi ijtihad berbeda dengan rekontekstualisasi. Karena, ijitihad tidak bertujuan mengubah ataupun menyesuaikan hukum yang ada agar sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi, menggali hukum dari fakta yang baru dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukannya.

Tidak seperti sistem kapitalisme yang membebaskan semua orang mengotak-atik hukum, dalam Islam, seseorang dapat dikatakan bisa menggali hukum apabila dia memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid. Yakni harus orang yang bersifat adil dan takwa, menguasai Bahasa Arab, mengetahui dan mengenal seluruh sumber hukum syara, mengetahui ushul fikih dan asbab al-nuzul, mengetahui maksud dan tujuan syariat diterapkan, dan lain sebagainya.

Tidak bisa dinafikan, sejak khilafah runtuh pada tahun 1924 dan sistem kapitalisme-sekuler bercokol di dunia, Islam seolah kehilangan jati dirinya. Hal ini karena, kemurnian Islam terus digerus perlahan-lahan oleh para pembencinya. Berbagai upaya dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk mengacak-acak Islam serta menjauhkan umat dari Islam dan kemurnian ajarannya. Seperti ide Islam liberal, Islam Nusantara, dan lain sebagainya. Berkaca dari sini, maka tidak dapat diragukan lagi, narasi reaktualisasi dan fikih alternatif Islam, tiada lain adalah cara baru musuh Islam untuk merusak kemurnian jalan tegaknya hukum-hukum Islam bagi kehidupan umat.

Sungguh, upaya-upaya penghancuran Islam akan senantiasa ada dan berkembang selama sistem kapitalisme-sekuler masih bercokol di dunia ini. Kafir Barat tidak akan pernah ridha Islam kembali tegak di muka bumi ini.

Allah Swt. berfirman:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepadamu, sampai kamu mengikuti agama mereka…!” (TQS. Al- Baqarah: 120)

Itulah sebabnya, umat harus mewaspadai beragam narasi menyesatkan yang kian masif digulirkan kafir Barat melalui antek-anteknya (para penguasa) di negeri-negeri muslim. Umat tidak boleh mudah terpedaya dengan berbagai pemikiran-pemikiran yang tampak baik padahal sebenarnya akan menghancurkan. Karena musuh Islam sampai kapanpun tidak akan pernah mau menerima Islam, kecuali jika Islam dapat disesuaikan dengan hawa nafsu mereka.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.