25 April 2024
55 / 100

Dimensi.id–Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada 2025. Airlangga mengatakan aturan untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.

 

Adapun kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (republika.co.id, 8/3/2024).

 

Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

 

Kenaikan Tarif PPN Dalam Sistem Kapitalisme Tak Terelakkan

 

Sebagai sumber pendapatan terbesar dalam APBN, pajak menjadi keniscayaan mengalami kenaikan tarif setiap tahunnya. Undang-undang untuk itu pun sudah diatur sehingga mempertegas implementasinya.

 

Baru saja rakyat dihajar oleh kenaikan harga beras yang memaksa semua harga ikut naik, seperti telur, listrik, air dan bisa jadi sebentar lagi BBM. April Mop pun masih jauh, tapi inilah konsekwensi yang harus diterima jika menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Seolah tak ada jalan lain yang bisa diupayakan agar APBN senantiasa “sehat”.

 

Anehnya, kebijakan perpajakan diambil dengan memberatkan masyarakat miskin, di sisi lain menguntungkan masyarakat kaya. Orang kaya justru mendapat tax amnesty (pengampunan pajak) dan kebijakan Pajak Pembelian Barang Mewah (PPnBM), yakni adanya pengurangan pajak hingga sampai 0%.

 

Tak salah bila negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler tak akan ragu untuk memalak rakyatnya. Dengan berbagai alasan hingga muncul jargon warga bijak taat pajak. Seolah mereka yang bijak, yaitu mereka yang memiliki sifat atau karakteristik cerdas dalam berpikir, memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang baik, dan kebijaksanaan dalam tindakan sendiri adalah mereka yang membayar pajak.

 

Bagaimana dengan negara yang tak pernah memikirkan apakah setiap pembangunan yang dibiayai dari dana pajak itu bisa dinikmati oleh rakyatnya dengan mudah dan gratis?

 

Indonesia juga sebagai negara kaya SDM dan SDA, namun para pejabat selalu mengatakan kita tak punya tenaga ahli dan kekurangan modal sehingga lebih butuh investasi. Investasi inilah nantinya yang akan menggerakkan roda perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat, selain itu negara mendapatkan devisa.

 

Benarkah keadaannya demikian ? Dari tahun ke tahun tarif pajak terus naik, angka kemiskinan ekstrem juga naik, subsidi terus digelontorkan tapi rakyat tetap saja miskin dan kesulitan mengakses kebutuhan pokoknya.

 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta orang per Agustus 2023 atau setara dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen dari total 147,71 angkatan kerja (dpr.go.id, 8/11/2023). Padahal investasi terus digenjot. Demikian pula dengan UMKM ataupun pariwisata.

 

Para perempuan pun didorong untuk berdaya, berbagai program kota layak anak, kelurahan ramah perempuan dan peduli anak (KRPPA) dan lainnya digelar, tetap saja keluarga buyar karena banyak tindak kriminal yang menjadi ekses sulitnya keluarga bertahan hidup.

 

Pajak Bukan Instrumen Pokok dalam Islam

 

Sangat berbeda dalam sistem Islam yang pernah dicontohkan Rasulullah, Khulafaur Rosyidin dan khalifah-khalifah selanjutnya. Pajak bukanlah instrumen penting pendapatan negara.

 

Sistem keuangan berbasis Baitulmal menjadi sumber pendapatan yang mandiri dan tangguh menghadapi segala perubahan kebutuhan negara dan maslahat umat. Sumber pendapatan tetap negara yang tersimpan di Baitulmal , ada tidak adanya kebutuhan adalah Fai (anfal, ganimah, khumus), Jizyah, Kharaj, Usyur, Harta milik umum yang dilindungi negara, Harta haram pejabat dan pegawai negara, Khumus rikaz dan tambang, Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan Harta orang murtad.

 

Sedangkan pajak bersifat insidental, pajak hanya ditarik saat baitulmal kosong sedangkan ada kewajiban negara yang harus terpenuhi. Jika tidak maka akan menimbulkan dharar (bahaya) bagi rakyat seperti pembangunan jalan, jembatan dan lainnya . Dan pajak ini dipungut hanya untuk kalangan tertentu, yakni aghniya atau orang yang memiliki kelebihan harta. Dimana kebutuhan dia dan keluarga yang ditanggungnya sudah dipenuhi.

 

Juga tidak semua rakyat dikenakan pajak. Pajak juga tidak diambil dari secara terus-menerus. Ketika kebutuhan negara telah terpenuhi, penarikan pajak pun akan dihentikan. Atau jika dari pungutan pajak pertama dana yang dibutuhkan masih kurang maka seluruh rakyat muslim wajib memenuhinya hanya hingga dana cukup.

 

Terkait SDA atau kepemilikan umum , maka negara juga memaksimalkan pengelolaannya secara mandiri untuk memenuhi kewajiban pelayanan negara terhadap umat, sebab negara adalah ra’in. Individu apalagi asing tidak bisa memiliki kekayaan SDA. Kepemilikannya adalah milik seluruh rakyat dan dikelola oleh negara untuk menjadikan SDA ini bermanfaat penuh bagi rakyat. Negara juga mendukung kegiatan pembangunan, pengembangan, dan peruntukkan infrastruktur negara.

 

Dari sinilah negara akhirnya mampu mandiri, dan makna kepengurusan urusan rakyat benar-benar terlaksana. Tidak akan didapati perubahan ini selama sistem yang diterapkan masih tetap kapitalisme sekuler yang justru mengabaikan rakyat bahkan tega menzaliminya.

 

Semestinya mereka lebih takut kepada sabda Rasulullah Saw.,”Tidaklah seorang penguasa yang diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wallahualam bissawab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.