17 Mei 2024

Oleh Reni Rosmawati
Ibu Rumah Tangga

Lagi, utang luar negeri (ULN) Indonesia kembali naik. Dilansir oleh Katadata.co.id, (15/11/2021) Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi utang luar negeri (ULN) mengalami kenaikan 3,7% dari tahun lalu. Yakni menembus angka US$423,1 miliar dollar AS atau setara Rp6.008 triliun pada akhir kuartal lll-2021.

Erwin Haryanto selaku Kepala Departemen Komunikasi BI mengatakan, kenaikan ULN tahun ini lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yakni 2%. Menurutnya, kenaikan ULN tersebut, disebabkan meningkatnya ULN sektor publik senilai US$205,5 miliar dan swasta US$208,5 miliar. Meskipun demikian, Erwin menyebutkan kenaikan tersebut tidak menimbulkan tambahan beban bunga. Lebih jauh, dirinya memastikan bahwa ULN pada kuartal lll-2021 ini tetap terkendali. Hal ini terlihat dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap berada di pusaran 37,7%.

Hal senada disampaikan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo. Yustinus mengatakan, tingginya utang di era Presiden Jokowi adalah imbas dari pandemi Covid-19. Menurutnya, selama digunakan untuk tujuan produktif maka tingginya rasio utang bukan masalah. Ia pun menegaskan, masyarakat harus patuh membayar pajak. Karena di masa sulit ini, pajak ibarat perisai dalam menghadapi pandemi. (Bisnis.com, 11/11/2021)

Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna, tampaknya itulah peribahasa yang semestinya digunakan pemerintah sebelum menambah pinjaman utang. Mengingat utang luar negeri Indonesia yang sebelumnya juga belum teratasi. Setiap tahun pemerintah hanya gali lubang tutup lubang dalam membayar utang beserta bunganya. Alih-alih menyelesaikan masalah perekonomian, meningkatnya ULN dapat dipastikan berpotensi memunculkan masalah baru. Yakni timbulnya krisis ekonomi berkepanjangan, yang akan berimbas pada sekaratnya ekonomi rakyat. Hal ini karena sektor pajak akan semakin digenjot, lantaran dianggap andalan untuk membayar cicilan utang berikut bunganya.

Jika kita telusuri, ULN yang menembus lebih dari Rp6000 triliun sejatinya adalah alarm bahaya bagi fundamental ekonomi (berbasis utang). ULN Indonesia yang membengkak ini, akan berpengaruh besar pada hilangnya kedaulatan bangsa dan negara. Yang demikian karena, sebelum terjadinya proses pinjam meminjam, pastinya setiap lembaga donor asing mensyaratkan sejumlah kebijakan yang harus diambil debitur. Melalui perjanjian-perjanjian dan persyaratan inilah, maka negara penggelontor dana pinjaman dapat dengan leluasa menyetir kebijakan dalam negeri agar sesuai dengan kepentingan mereka. Namun sungguh ironis, pemerintah seolah menutup mata akan hal ini. Dengan penuh percaya diri pemerintah berkata bahwa kondisi masih aman terkendali. Inilah watak asli rezim yang kental dengan pemahaman kapitalisme-neoliberal. Seluruh kebijakan yang lahir dari prinsip rezim neolib, lebih berorientasi menguntungkan para kapital dan mengorbankan rakyat.

Sungguh, selama sistem kapitalisme masih digunakan sebagai parameter kehidupan, Indonesia akan senantiasa bergantung pada ULN. Harapan perbaikan ekonomi pun hanyalah kamuflase. Pasalnya, liberalisasi ekonomi dalam sistem kapitalisme telah menjadikan SDA (Sumber Daya Alam) yang semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat sepenuhnya, malah dikuasai oleh segelintir orang (pemilik modal). Sementara di sisi lain, sumber pemasukan negara dalam sistem kapitalisme-neoliberal hanya bertumpu pada utang dan pajak. Tersebab itulah, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) rawan mengalami defisit. Yang akhirnya memicu timbulnya krisis ekonomi. Untuk mengatasi masalah tersebut, mau tidak mau utanglah yang dijadikan pemerintah sebagai solusi tunggal untuk mengatasinya. Padahal sejatinya, utang luar negeri adalah jebakan penjajahan ekonomi bagi negeri kaya SDA-SDM seperti Indonesia. Melalui bantuan utang luar negeri, para penjajah memuluskan rencananya mengeruk kekayaan strategis negeri ini. Semua ini terbukti jelas dengan banyaknya kekayaan alam Indonesia yang dikuasai asing-aseng.

Untuk mengatasi ULN Indonesia yang semakin tak terkendali, kita tentu membutuhkan solusi yang mengakar. Yang dengannya mampu menghasilkan pemerintahan yang mandiri, baik secara politik maupun secara ekonomi. Sehingga peluang untuk bergantung pada negara imperialis asing pun tidak ada. Solusi itu tiada lain adalah sistem Islam (khilafah).

Sebagai agama paripurna, Islam tidak akan membiarkan asing dan aseng berkuasa atas kaum muslim. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:

“Dan Allah sekali-kali tidak memberikan jalan pada orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (TQS An-Nisa: 141)

Sebagai konsekuensi dari firman Allah di atas, negara Islam (khilafah) tidak akan membiarkan celah bagi asing terbuka untuk menjajah dan mengeruk kekayaan umat muslim. Negara khilafah tidak akan memberi jalan kekuatan asing untuk menguasai kaum muslim. Sekalipun dalam bentuk pinjaman utang luar negeri. Hal ini karena dalam Islam, haram hukumnya melakukan transaksi apapun termasuk utang piutang dengan negara kafir harbi fi’lan (kafir yang memusuhi Islam).

Sekalipun harus terjalin kerjasama, yang memungkinkan terjadinya transaksi utang-piutang, maka utang hanya boleh diambil jika syaratnya terpenuhi: pinjaman diambil hanya untuk urusan genting dan untuk kebutuhan rakyat banyak secara langsung, ketika benar-benar membutuhkan (kondisi kas Baitulmal/keuangan negara kosong), nonriba, dan tentunya tidak ada klausul yang mendikte negara ketika pinjaman diambil. Inilah yang menjadikan negara khilafah berdaulat dan bebas dari setiran negara manapun

Untuk menjaga kedaulatan negara, maka Islam akan menerapkan sistem ekonomi berbasis syariat yang pro pada rakyat. Bukan pada para kapitalis ataupun korporat. Khilafah dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkannya serta ditopang penerapan sistem-sistem Islam lainnya, dipastikan akan mampu mencegah segala bentuk intervensi asing. Khilafah akan mengoptimalkan segala potensi alam yang dimiliki semata-mata untuk kepentingan rakyat. Sejarah mencatat bagaimana negara Islam khilafah mampu menorehkan tinta emas dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya selama hampir 14 abad lamanya. Tidak pernah ada catatan negara khilafah mengalami krisis ekonomi. Hal ini karena, dalam negara khilafah utang dan pajak bukanlah tumpuan bagi pemasukan negara.

Dalam menjaga kestabilan ekonomi, khilafah menggunakan Baitulmal sebagai APBN negara. Yang sumber pemasukannya berasal dari fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah, serta harta kepemilikan umum (seperti tambang). Baitulmal ini sendiri dikelola dengan baik oleh negara khilafah dan hasilnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sehingga opsi memungut pajak dari rakyat pun akan terminimalisir bahkan tertutup rapat. Jika pun seandainya negara khilafah mengalami krisis dan dana Baitulmal tidak mencukupi, maka khilafah akan menggunakan skema dharibah (sejenis pajak), yang hanya dipungut dari rakyat muslim dan kaya saja. Sifatnya pun hanya sementara, diambil ketika negara benar-benar mengalami krisis. Dengan demikian, maka tentu tidak ada peluang negara khilafah berutang pada negara lain.

Demikianlah penjelasan tentang betapa sempurnanya sistem Islam (khilafah) dalam menjaga kedaulatan negara dan kestabilan ekonomi. Dari sini, maka jelaslah bahwa hanya Islamlah satu-satunya sistem yang mampu menjadikan sebuah negara sejahtera, mandiri, mulia, dan tangguh, lepas dari daulat ataupun dikte asing.

Karena itu, sudah saatnya bagi kita semua untuk kembali kepada Islam dan sistem ekonominya serta mencampakkan sistem kapitalisme-neoliberal yang hanya membuat kehancuran pada berbagai lini kehidupan. Niscaya, utang luar negeri akan dapat ditekan dan diatasi, ekonomi rakyat pun stabil. Tidak terbebani dengan kewajiban membayar utang dan bunganya melalui pungutan pajak sebagaimana biasa terjadi di alam kapitalisme.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.