14 Mei 2024

Dimensi.id-Seorang yang diduga teroris bisa langsung ditangkap meskipun tidak ada bukti yang cukup keterlibatannya dalam aksi terorisme. Mereka yang tidak mau diutur dan ikut mendukung keinginan penguasa, jadi target sasaran untuk diberi label teroris. Terorisme selalu dikaitkan dengan Islam, padahal banyak tindak kekerasan bahkan terang-terangan angkat senjata tapi tidak diberi label teroris. Mereka bahkan sudah membunuh penduduk sipil dan aparat tapi tetap saja harus dirangkul dan dianggap saudara yang harus dicintai dan tidak boleh dilukai.

“Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Dudung Abdurachman beberapa waktu lalu menyatakan ajakan bersaudara ke Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM)”. (https://riau.suara.com). Logika terbalik, pihak yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik dengan cara tanpa kekerasan tidak dirangkul dan diajak duduk bersama sebagai saudara. Sementara, mereka yang terang-terangan mengangkat senjata dan menyatakan makar tidak dilabeli teroris tapi malah harus dirangkul sebagai saudara yang tidak boleh dilukai meskipun mereka sudah melukai dan bahkan berani menumpahkan darah. Harusnya mereka yang kritis harus diajak duduk bersama untuk menyelesaikan masalah negeri bukan malah dimusuhi dan ditangkap dengan tuduhan teroris. Sebaliknya mereka yang menggunakan cara kekerasan dan terang-terangan makar harus ditumpas habis agar menjadi efek jera bagi yang lain, untuk tidak memisahkan diri dari negara kesatuan.

Kalau mau jujur, pejabat yang berbisnis ditengah pandemi jauh lebih berbahaya dari teroris. Memanfaatkan pandemi hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri layak dihukum mati karena mereka sudah tidak memiliki hati nurani. Negara harus bersikap tegas pada siapa saja yang sudah merugikan negara dan rakyat banyak baik dengan menggunakan kekerasan atau kekuasaan untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. Pemerintah harus bisa berfikir cerdas dengan menempatkan musuh sebagai lawan yang harus ditumpas habis, bukan rakyat yang menginginkan perbaikan.

Ustad yang santun dalam berdakwah dan tidak pernah melakukan tindak kekerasan, kecuali berani mengatakan kebenaran dihadapan penguasa, tiba-tiba dituduh sebagai teroris. UU teroris yang kejam dan tidak berkeadilan bisa menangkap siapa saja yang dilabeli sebagai teroris. Tidak ada pembelaan di pengadilan, tapi langsung bisa ditangkap dengan paksa tanpa proses hukum yang berkeadilan. Mereka yang mampu berfikir cerdas dan jeli akan mampu melihat adanya skenario untuk menjatuhkan siapa saja yang dianggap berbahaya oleh penguasa. Mereka yang diberi label teroris pada hakekatnya berbahaya bagi penguasa tapi tidak bagi rakyat biasa. Membongkar kejahatan yang dilakukan pejabat sungguh beresiko, apalagi jika pejabat memegang kekuasaan. Dia bisa memainkan hukum sesuai dengan kepentingannya. Pengalihan isu atas satu kasus persengkongkolan jahat sungguh sangat kejam, dan tidak memiliki hati nurani.

Hukum terorisme sungguh dzolim dan fakta menunjukkan semua tuduhan ditujukan pada umat Islam yang kritis pada penguasa dan mereka yang ingin memperjuangkan diterapkan Islam secara Kaffah. Sebaliknya, gerakan bersenjata yang jelas-jelas melakukan kekerasan dan bahkan berani membunuh aparat maupun rakyat sipil masih dirangkul dan dianggap saudara. Mudahnya Melabeli ulama’ yang tidak pernah mengangkat senjata tidak pula menyeru untuk melakukan kekerasan sebagai teroris. Apa salahnya jika menyeru pada kebenaran Islam secara Kaffah, meskipun terkadang bertentangan dengan keinginan penguasa. Dimana katanya kebebasan yang didengung-dengungkan. Saat ada yang menistakan agama dibiarkan dan dianggap bentuk kebebasan. Namun, saat menyampaikan kebenaran Islam yang dianggap merugikan penguasa dianggap radikal. Label terorisme dan radikal diberikan atas dasar suka dan tidak suka yang bisa dilakukan oleh penguasa, karena dalam demokrasi kekuasaan ditangan manusia yang diwakili segelitir orang yang mengatasnamakan rakyat.

Siapa teroris sebenarnya? Penguasa dzalim yang dengan kekuasaannya membuat rakyatnya menderita, tidak bisa hidup nyaman tapi merasa dalam ancaman kekuasaan. Yang kritis akan dikikis habis, diteror dan diberi label teroris. Penguasa dzalim berbuat apa saja sesuka hatinya agar kekuasaan terus dalam genggaman. Yang berani melawan diancam dan ditangkap sebagai teroris.

Miris teroris teriak teroris. Yang tidak mau tunduk dengan kekuasaannya dilabeli teroris. Berani teriak kebenaran yang mengancam kekuasaan terancam ditangkap tanpa proses peradilan dan diberi label teroris. Hukum milik penguasa yang bisa dimainkan sesuka hati mereka. Beropini di Sosmed aja bisa dilabeli teroris, jika viral dan diikuti banyak orang, tapi bersebrangan dengan kekuasaan.

Sebaliknya, mereka yang mengangkat senjata bahkan berani menyatakan makar harus dirangkul sebagai saudara, tidak boleh dimusuhi ataupun dilukai. Aneh, aturan dalam sistem demokrasi, begitu toleran dengan teroris tapi keras terhadap orang yang menyampaikan kebenaran Islam. Umat Islam jangan mau diadu domba sehingga saling memusuhi saudara sendiri. Umat Islam, aset bangsa yang berkontribusi positif untuk negeri yang kita cintai ini, harusnya dirangkul sebagai saudara dan diajak bicara, bukan diancam dan dilabeli teroris atas dasar kebencian. Demokrasi gagal dalam mengatasi aksi terror, sistem demokrasi memberikan peluang penguasa yang dzalim untuk menjadi teroris yang sebenarnya. Rakyat hidup terancam dan merasa tidak aman karena hukum berpihak pada rezim untuk menakut-nakuti rakyatnya sendiri. (ME)

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.