18 Mei 2024

Penulis : Endang Sipayung

Dimensi.id-IKATAN Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun.

Kebijakan ini  menegaskan semakin rendahnya keberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan.

Bukankah guru adalah salah satu dari banyak pihak yang harus di perhatikan oleh negara, terlebih di tengah musibah yang sedang berlangsung.

Guru adalah sosok mulia. Maka pantaslah ia digelari sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Perannya sangat dibutuhkan dalam menghidupkan dan membangkitkan generasi. Hingga menghasilkan sebuah peradaban gemilang.

Cerdasnya suatu bangsa menandakan bahwa, adanya sosok Guru yang hebat berada dalam negara tersebut. Namun, miris melihat nasib guru hari ini, guru yang seharusnya di apresiasi oleh pemerintah dan negara atas ilmu yang diberikannya, hari ini malah diabaikan dan seperti tidak dianggap kehadirannya.

Dan pemotongan tunjangan guru yang dilakukan oleh negara adalah suatu bentuk kezoliman serta bukti bahwa negara gagal dalam menjamin kesejahteraan rakyat terutama tenaga pendidik.

Sebenarnya sistem kapitalisme yang di anut oleh negeri inilah yang menjadi biang kerok dari setiap permasalahan yang terjadi di negara ini.

pemerintah yang masih ngotot untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN), Tentu saja mengundang tanya bagi rakyat, mengapa anggaran untuk pindah ibu kota ada, sedangkan untuk penanganan wabah corona harus saweran dari rakyat.

Hal ini seolah menegaskan kebijakan pemerintah lebih berpihak pada kepentingan pengusaha dan asing. Anggaran dan sumber daya negara seharusnya semaksimal mungkin diarahkan untuk penanganan wabah corona.

Jadi wajar jika kebijakan pemotongan tunjangan guru ini menuai protes dari Ikatan guru indonesia (IGI).

Penetapan prioritas yang salah dalam kebijakan pemerintah kapitalistik ini menunjukkan tata kelola negara yang disamakan dengan mengelola sebuah perusahaan, di mana hanya mementingkan keuntungan materil.

Negara seharusnya berperan sebagai pengurus dan pelayan rakyat, bukan tampil sebagai pelayan para kapitalis.

Hal yang jelas-jelas akan sangat berbeda apabila negera ini menganut sistem pemerintahan yang mulia, yaitu sistem islam.

Sebagaimana gambaran kehidupan guru-guru dimasa pemerintahan kehidupan Umar bin Khatab. (Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al_Wadl-iah-bin Atha). Bahwasanya dimasa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab, ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar=4.25 gram emas; 15 dinar+ 63.75gram emas).

Bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada masa ituperbulannya sebesar 31.875.000. dan ini tentu tidak memandang atau membedakan status seorang guru tersebut baik PNS maupun honorer, apalagi tergolong sertifikasi ataupun tidak. Yang pasti profesinya adalah guru.

Guru merupakan profesi yang paling tinggi kedudukannya. Yang mana lahirnya profesi-profesi yang lain itu tak lepas dari jasa seorang guru yang sudah mengabdikan dirinya untuk kehidupan bangsa.

Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris dan mu’addib. Kata “Ustadz” biasa digunakan untuk memanggil seorang profesor. Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya.

Seseorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap suatu proses dan hasil kerja serta sikap continous improvement, yaitu selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zaman yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya di masa depan .

Kata “Mu’allim” berasal dari kata dasar ‘ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya.

Kata “Murabbiy” berasal dari kata dasar Rabb yang artinya Tuhan. Manusia sebagai khalifahNya diberi tugas untuk menumbuhkembangkan kreativitas, maka tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

Kata “Mursyid” biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah (Tasawuf). Dalam konteks pendidikan mengandung makna bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, yakni pusat anutan dan teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya. Kata “Mudarris” berasal dari akar kata “darasa-yadrusu-darsan wa durusan wa dirasatan”, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih, mempelajari.

Dari pengertian ini maka tugas guru adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Pengetahuan dan keterampilan seseorang akan cepat usang selaras dengan percepatan kemajuan iptek dan perkembangan zaman, sehingga guru dituntut untuk memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan agar tidak cepat usang.

Sedangkan kata “Mu’addib” berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan lahir dan batin. Kata peradaban juga berasal dari kata adab sehingga guru adalah seorang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan .

Melihat begitu mulia nya tugas yang di emban oleh seorang guru,maka sudah semestinya pemerintah peduli dan bertanggung jawab terhadap nasib para guru, karena guru adalah tulang punggung pendidikan nasional yanga akan menentukan nasib bangsa ini kedepannya.

Maka tiada jalan lain untuk bisa memecahkan masalah ini kecuali dengan menerapkan Islam secara Kaffah. Karena hanya dalam Islamlah  seorang guru diberikan penghargaan yang tinggi dan di apresiasi dengan baik dan mulia.

Wallahu a’lam bish Shawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.