27 April 2024
dimensi.id

Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menanggapi Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag). Menurutnya pengaturan tersebut tak bisa digeneralisasi diterapkan di seluruh daerah.

Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala. Dalam surat ini mengatur penggunaan waktu dan kekuatan dari pengeras suara di masjid dan mushala.

“Surat edaran ini dikeluarkan dengan tujuan agar tidak ada umat agama lain yang terganggu. Kita tahu itu syiar agama Islam, silahkan gunakan toa, tapi tentu harus diatur. Diatur bagaimana volumenya tidak boleh keras, maksimal 100 desibel,” ujarnya, saat berkunjung ke Pekanbaru, Rabu (23/2).

Selain itu, Yaqut juga mengatakan perlu peraturan untuk mengatur waktu alat pengeras suara tersebut dapat digunakan, baik setelah atau sebelum azan dikumandangkan. ( REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA ).

Sebagian tokoh ada yang membela dan menilai apa yang dilakukan Menag sudah tepat, karena dia sedang menjalankan tugas negara untuk menyukseskan proyek moderasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor UIN Maliki Malang Prof.Dr.M. Zainuddin dalam wawancara dengan Times Indonesia, bahwa SE 5/2022 bisa dikatakan turunan dari program Jokowi.

Tepatnya seperti ini, sesuai dengan program Presiden, yang tertuang dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional 2020-2024, bahwa pemerintah memiliki empat program prioritas. Pertama adalah revolusi mental dan kebudayaan nasional. Kedua,  meningkatkan pemajuan dan pelestarian kebudayaan. Ketiga memperkuat moderasi beragama. Keempat meningkatkan literasi, inovasi dan kreativitas. (Times Indonesia, 26/02/2022).

Menurut Mustofa Nahwawardaya (Pemred Majalah Tablig PP Muhammadiyah) SE No. 5/2022 isinya agak sensitif dan tampaknya kajiannya tidak begitu matang. Kualitasnya downgrade dari SE sebelumnya, karena sebelumnya mengkaji secara geografis juga,” kata Mustofa dalam diskusi “Yaqut, Toa dan Gonggongan Anjing” pada Jumat (25/02/2022).

Jika kita lihat latar belakang dikeluarkannya SE 5/2022, ada segelintir orang yang merasa suara azan, selawatan, bacaan Al-Qur’an dan syiar dari masjid – musala sebagai “polusi suara”. Didasarkan pada temuan lapangan, katanya terjadi kebisingan yang muncul dari pengeras suara masjid – di Jakarta, setidaknya terdapat 4.000 masjid. Adanya keluhan artis Zaskia Adya Mecca yang mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur (detik.com, 23/04/2021). Kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara karena berawal dari pengeras suara masjid. Ditambah dengan keluhan nonmuslim yang bernama Rina yang dimuat oleh media internasional yang berpusat di Perancis sehingga Indonesia dikecam sebagai negara muslim intoleran (CNN Indonesia, 14/10/2021) kemudian dikeluarkan Surat Edaran tersebut.

Padahal di sisi lain, juga banyak orang bahkan nonmuslim yang senang dengan suara azan, mereka merasa terbantu (membangunkan mereka). SE 5/2022 bukan sekadar mengatur keharmonisan masyarakat, tapi harus diwaspadai adanya agenda politik penjajah, yakni menanamkan Islamofobia (azan, bacaan Al-Qur’an, selawatan dianggap “polusi suara”, sumber kebisingan) pada masyarakat.

Ada 3 poin utama dalam SE 5/2022; pertama, kekuatan speaker tidak boleh lebih dari 100 desibel; kedua, suara menjelang salat maksimal 10 menit, dan ketiga suara yang dipancarkan bagus, tidak sumbang, dan pelafalannya baik dan benar. Dalam implementasinya SE akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tubuh kaum muslimin sendiri dalam menerjemahkan SE tersebut.

Terlebih, kekuatan pengeras suara 100 desibel daya jangkaunya terbatas. Dilansir dari Purdue University, 100 dB seperti berkendara sepeda motor, klakson sejauh 5 meter. Padahal azan untuk memanggil orang untuk salat. Ditambah waktu yang dibolehkan untuk menggunakan pengeras suara hanya 10 menit sebelum salat, akan membuat jemaah terlambat salat berjemaah karena singkatnya waktu pemberitahuan. Lambat laun, hal ini akan meredupkan syiar Islam bahkan bisa membuat jemaah enggan ke masjid.

Sebenarnya masalah penggunaan pengeras suara sebelum massifnya proyek moderasi tidak ada persoalan. Sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Azan, bacaan Al-Qur’an, selawatan dan ceramah merupakan syiar Islam. Jadi tidak berlebihan jika kita katakan bahwa SE 5/2022 hakikatnya untuk meredupkan syiar Islam dengan dalih mewujudkan toleransi dan harmoni sosial.

Dengan beragam alasan yg dibuat-buat, Regulasi pemerintah makin memojokkan umat Islam dan menghambat syiar Islam.

Menegaskan dalam rezim demokrasi, Islam menjadi sasaran untuk dikerdilkan dan umat Islam diperlakukan sebagai obyek yg dianggap pencetus intoleransi dan gagal membangun harmoni.

 

Jadi, jelaslah bahwa di balik SE 5/2022 terjadi Islamofobia yang dibungkus dengan proyek moderasi untuk mewujudkan harmoni sosial, tapi realitasnya berpihak kepada minoritas untuk meredupkan syiar Islam dan kebangkitan Islam. (M.news)

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

Artinya: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Ash Shaf : 8).

 

Wallahualam

Penulis : Ummu Nida, Ibu Rumah Tangga

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.