6 Mei 2024

Penulis : Noor Hidayah

Dimensi.id-Saat ini rakyat Indonesia sedang memulai babak New Normal di tengah pandemi yang belum usai. Aktivitas sosial serta ekonomi mulai berjalan dengan skenario baru. Industri dan Jasa Bisnis ke Bisnis mulai beroperasi. Di lingkungan kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) dan karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) New Normal ini pun telah berlaku.

Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Dwi Wahyu Atmaji mengatakan skenario ini disiapkan agar PNS dapat bekerja optimal selama vaksin Corona belum ditemukan. Dia mengatakan waktu penerapan skenario kerja New Normal ini akan bergantung pada arahan dari Gugus Tugas Covid-19 (www.cnbcindonesia.com).

Anggota Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI), Johan Singandaru, menyebut kondisi New Normal betul-betul ditunggu oleh pedagang kecil, UMKM, dan para pengusaha di DKI Jakarta serta wilayah penyangga. Sebab, kondisi usaha saat ini tengah mengalami penurunan tajam sampai dengan 50 persen lebih. Akibat daya beli masyarakat yang drop, industri pun menurunkan produksinya. Jika tidak ada New Normal maka pengusaha akan mengalami gulung tikar.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menyebut New Normal ini perlu segera dipertegas. Presiden harus membuat terobosan program yang jelas tentang hidup berdampingan dengan Corona. Menurut Emrus, terobosan cerdas penting dilakukan sebab hingga saat ini belum ada lembaga penelitian yang kredibel di seluruh dunia yang mampu membuat kesimpulan kapan pandemi berakhir.

Karenanya, solusi terbaik sifatnya temporer, atau boleh jadi ke depan menerapkan kebiasaan sosial, budaya baru, atau kehidupan normal baru, secara permanen. Untuk itu, pemerintah pusat, harus bekerja keras agar semua masyarakat dapat beradaptasi dengan fenomena penyebaran dan dampak Covid-19. Kementerian dan lembaga pemerintah harus membuat program unggulan dalam rangka mengantarkan seluruh masyarakat di Indonesia masuk ke pintu gerbang perubahan, yaitu kehidupan normal baru dan hidup berdampingan dengan Covid-19 (www.wartaekonomi.co.id).

Sejarah New Normal

New Normal adalah istilah yang didengungkan oleh masyarakat ekonomi dunia, pertama kali digunakan untuk menunjukkan perubahan perilaku bisnis dan politik akibat krisis ekonomi tahun 2007-2008. Tercatat dalam sejarah, yang mempopulerkan istilah tersebut adalah seorang Aktivis bernama Paul Glover, walaupun tampaknya bukan dia penemu asli istilah New Normal tersebut.

Isitilah New Normal kemudian diadopsi dalam Pemilihan Presiden US tahun 2012 merujuk  perubahan perilaku akibat Era Disrupsi (tumbukan IOT, krisis finansial, fluktuasi harga minyak dan perang dagang timur barat).

Istilah ini muncul lagi untuk menunjukkan perubahan perilaku manusia akibat Pandemi COVID-19, yang digunakan pada waktu Seminar diskusi dampak COVID-19 di Texas University.

New Normal menggunakan variabel-variabel ekonomi dan perilaku sosial manusia sebagai jangkar untuk mengatasi efek berantai dari berhentinya pergerakan ekonomi akibat kebijakan lockdown/PSBB/karantina negara dan wilayah yang dimaksudkan untuk membatasi dan mematikan persebaran Virus Corona dari dan keluar wilayah.

Ketika suatu negara melakukan gerakan New Normal pada kondisi Pandemi COVID-19, pertimbangan utama tentu saja adalah terjadinya trend penurunan kasus baru, pelandaian grafik penyakit, peningkatan angka kesembuhan, dan penurunan kasus kematian. Karena itu menjadi tanda tanya besar ketika suatu Negara sudah menerapkan strategi New Normal sementara semua indikator tersebut belum sedikitpun menunjukkan angka perbaikan.

Pandemi COVID-19 ini ancamannya adalah keselamatan jiwa manusia, maka sudah seharusnya ini menjadi tugas hakiki suatu negara.

New Normal, Solusi Ilusi

Dua alternatif solusi dalam menghadapi Corona yang disampaikan pakar antara lain lockdown dan herd immunity. Para pakar melihat pemerintah Indonesia diam-diam telah memberlakukan herd immunity sejak awal kasus pertama Corona diumumkan. Seperti diketahui, herd immunity adalah bentuk dari seleksi alam dan senjatanya adalah imunitas pada masing-masing orang.

Namun, sebelum stategi herd immunity berjalan, nampaknya rakyat telah mencium langkah herd immunity sebagai langkah yang tidak manusiawi. Betapa tidak, berdasarkan teori herd immunity, harus terdapat sekitar 70%-80% populasi penduduk untuk dijadikan “tumbal” Corona demi memperoleh kekebalan komunitas. Oleh sebab itu, dimunculkanlah alternatif ide baru, yaitu New Normal. Ini sejatinya hanya untuk menutupi kegagalan penguasa dalam mengurus rakyat di saat kondisi paling genting. Walaupun herd immunity ditutupi dengan topeng New Normal, tetap saja cara kerjanya sama. Sama-sama memakan korban yang jumlahnya lebih banyak dari yang selamat.

New Normal tidak bisa dipandang sebagai solusi sebab dengannya akan banyak orang yang dikorbankan. Ibarat memberi umpan nyawa untuk mengusir virus. Sama saja seperti herd immunity, dengan kata lain seleksi alam. New Normal adalah solusi ilusi. Alih-alih menolong, justru menjadikan rakyat sebagai tumbal. Sekilas, New Normal terasa seperti rintik hujan di tengah kemarau setelah masyarakat diseru untuk tetap tinggal di rumah. Namun, masyarakat tidak menyadari ada konspirasi jahat dari para kapitalis imperialis di balik narasi tersebut.

Dalam sistem kapitalisme sangat mungkin bagi penguasa untuk bersikap egois dan mempertaruhkan nyawa rakyat demi tahta dan harta. Begitu pula dalam situasi pandemi, para penguasa bukannya sibuk menyelamatkan nyawa rakyat, malah sibuk menyelamatkan ekonomi dengan membuat undang-undang pro kapitalis asing. Mustahil kasus Corona akan selesai dengan cara manusiawi, jika masih menerapkan kapitalisme.

Oleh karena itu, kapitalisme tidak bisa diharapkan lagi untuk menangani wabah Corona dan permasalahan kehidupan lainnya. Sebab, dengan ada atau tidaknya Corona, seluruh aspek kehidupan di negeri ini sudah mengalami kerusakan akut dan harus diganti dengan sistem yang sehat, sistem yang terbukti mampu menyelesaikan semua problematika kehidupan.

Solusi Solutif

Solusi New Normal ini jelas tidak solutif mengingat risiko yang akan ditimbulkan. Mengorbankan banyak nyawa untuk menyelamatkan sebagian.

Islam memiliki solusi tuntas dalam menangani kasus Corona, yaitu dengan cara lockdown. Sebagaimana saat wabah Tha’un terjadi di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Ketika Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad saw. pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR Bukhari).

Lalu kenapa Indonesia tidak menerapkan lockdown? Alasannya adalah kendala ekonomi dan pengelolaan. Problem yang dihadapi Indonesia lebih rumit karena sebelum ada wabah pun Indonesia telah mengalami krisis di segala bidang. Pengelolaan kekayaan alam berbasis utang dan investasi membawa Indonesia pada defisit anggaran dan kebangkrutan sehingga tidak mampu menjamin kebutuhan rakyat yang terdampak wabah. Lagi-lagi utang lah yang menjadi jurus andalan untuk memperoleh dana segar.

Sangat jauh bila dibandingkan dengan sistem Islam yang diterapkan dalam negara Khilafah Islamiyah. Sistem Khilafah diadopsi berdasarkan petunjuk wahyu Allah SWT dengan kasadaran ruhiyah dan keseriusan para Khalifah dengan melibatkan para pakar secara maksimal. Islam mampu menangani wabah tanpa menimbulkan permasalahan baru. Teknisnya pun tersusun secara sistematis dan fokus untuk kemaslahatan bersama.

Proses lockdown tidak hanya mengunci jalan keluar masuk daerah dan menyeru agar masyarakat tidak keluar rumah, tetapi juga penguasa bertanggung jawab penuh atas pemenuhan pangan, jaminan kesehatan para korban, pendidikan dan hukum secara optimal.

Khilafah juga membangun pos-pos yang menampung kebutuhan pangan masyarakat, menjamin dengan penuh tanggung jawab. Dana dikelola di Baitul Mal dengan sistem non-ribawi. Pemasukan kas negara diantaranya diperoleh dari pengelolaan harta milik umum berupa kekayaan alam seperti tambang emas, batu bara, minyak bumi, gas alam dll.

Khilafah dalam segala aspeknya menjalankan pengelolaan kekayaan alam secara mandiri dan terstruktur, bukan menyerahkannya kepada swasta apalagi asing sebagaimana hari ini. Hasilnya, tidak ada kekurangan dana atau keluhan kurangnya alat-alat medis dalam menangani wabah.

Hanya Islam yang mampu menggantikan sistem kapitalisme dan berkompeten untuk mengatur kehidupan manusia tanpa bergantung pada negara lainnya. Maka, sudah sepantasnya kita meninggalkan kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam bishawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.