7 Mei 2024

Dilansir oleh Kompas.com (12/3/2021), Pemerintah Joko Widodo telah mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun yang dikeluarkan dari kategori limbah B3 adalah FlyAsh dan Bottom Ash (FABA).

Dua jenis limbah tersebut bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi, selain stocker boiler dan/atau tungku industri. Penghapusan FABA dari kategori limbah industri terlampir dalam lampiran XlV PP Nomor 23 Tahun 2021.

Penghapusan limbah batubara dari daftar limbah B3 merupakan usulan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sebanyak 16 Asosiasi Apindo sepakat mengusulkan penghapusan tersebut karena beberapa hasil uji menyatakan FABA bukan limbah B3.

Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti hal ini. Dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/3/2021), ICEL mencatat upaya menyederhanakan ketentuan pengelolaan batubara tidak terjadi sekali ini. ICEL mengingatkan, dihapuskannya FABA dari daftar limbah B3 bisa memicu pencemaran. Abu batubara bisa dimanfaatkan tanpa diketahui potensi pencemarannya. Dengan statusnya sebagai limbah non B3, kini batubara tidak perlu diuji terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan. Artinya terdapat risiko dimana  batubara dimanfaatkan tanpa kita ketahui potensi pencemarannya. (Dw.com, 12/3/2021)

Untuk diketahui, hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) tersebut merupakan konsekuensi dari disahkannya Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), yang diteken Presiden Jokowi pada 3 November 2020 untuk menggantikan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Hermanto Siregar mengatakan dampak buruk Undang-undang Cipta Kerja terhadap lingkungan sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, dengan prosedur amdal yang eksisting dan relatif ketat saja banyak terjadi pencemaran lingkungan. Apalagi jika dipermudah seperti yang tercantum di dalam UU Ciptaker. (MediaIndonesia.com, 07/10/2020)

Retak menanti belah, tampaknya itulah peribahasa yang mampu menggambarkan nasib masyarakat Indonesia saat ini. Di tengah kecemasan akibat wabah Corona yang tak kunjung mereda, pemerintah kembali membuat gundah warga. Bagaimana tidak, limbah batubara yang merupakan ancaman nyata bagi kehidupan; manusia juga lingkungan, kini dikeluarkan dari kategori bahaya.

Jika kita telusuri, dikeluarkannya limbah batubara (FABA) dari golongan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, sejatinya hanyalah menguntungkan segelintir orang saja yakni para investor. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini membuat mereka (para investor) tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengolah limbah batubara menjadi limbah yang tidak berbahaya. Alhasil keuntungan yang akan mereka raih pun lebih besar. Sedangkan rakyat, menjadi tumbal karena harus menjadi pihak yang dirugikan.

Hingga kini, studi membuktikan bahwa bahan beracun yang terkandung dalam batubara dapat merusak setiap organ dalam tubuh manusia. Lauri Myllvirta, aktivis Greenpeace Internasional mengatakan, penggunaan batubara menyebabkan 60.000 orang Indonesia meninggal tiap tahun. Ini karena polusi batubara menyebabkan kanker paru, stroke, penyakit pernafasan dan persoalan lain terkait pencemaran udara.

Selain menyebabkan penyakit, limbah batubara juga merusak lingkungan; dari mulai air bersih langka, wilayah pertanian kurang produktif hingga lahan pertanian hilang akibat tercemari limbah batubara.(Mongabay.co.id, 24/2/2014)

Sayangnya, pemerintah seolah menutup mata akan hal ini. Di saat banyak negara sudah mulai mengurangi penggunaan batubara sebagai sumber energi, pemerintah Indonesia justru masif merencanakan pertambangan maupun pembangunan PLTU batubara. Padahal sudah banyak fakta membuktikan bahwa penggunaan batubara sangat merusak lingkungan dan manusia.

Sungguh ironis, ini terjadi tiada lain karena diterapkannya sistem kapitalisme neoliberal di negeri ini. Sistem ini telah melahirkan Undang-undang Cipta Kerja yang banyak  menguntungkan korporat dan merugikan rakyat.

Kebijakan kapitalistik dalam sistem ini telah memberikan kebebasan kepada para korporat dalam berinvestasi dan mengelola sumber daya alam negeri ini tanpa memerhatikan amdal. Sistem ini pula yang telah menjadikan para korporasi bebas dari tanggung jawab pengelolaan limbah B3 yang bisa meracuni rakyat dan merusak lingkungan.

Tidak bisa dipungkiri, FABA secara luas telah banyak dimanfaatkan sebagai material pendukung pada sektor infrastruktur, stabilitas lahan, reklamasi pada lahan bekas tambang, dan sektor pertanian. Namun, lagi-lagi para korporatlah yang mendapatkan keuntungan dari dikeluarkannya FABA sebagai limbah B3.

Sebab mereka bisa mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan menjual limbah FABA ke pihak lain yang ingin memanfaatkannya tanpa proses berbelit. Sebagaimana diketahui selama ini, bahwa pemanfaatan limbah B3 harus melalui proses yang panjang dari pihak berwenang.

Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme hanya mengutamakan kepentingan korporasi dan merugikan rakyat. Mirisnya, negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan kepentingan mereka melalui pengesahan undang-undang. Alhasil kampanye pelestarian lingkungan dalam sistem kapitalisme hanyalah ungkapan kosong minim fakta. Kekayaan rakyat pun dirampas secara bengis oleh pengusaha yang dilegalkan penguasa.

Hal ini berbanding terbalik ketika sistem Islam diterapkan. Sebagai agama sempurna, Islam telah teruji kemampuannya dalam mengatasi seluruh problematika kehidupan dan mengatur urusan masyarakat, termasuk dalam membangun industri dan pengelolaan limbahnya. Tidak seperti kapitalisme yang fokus pada keuntungan para korporat, adanya industri dalam Islam tiada lain untuk kemaslahatan manusia dan lingkungan.

Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), negara dan penguasa berfungsi menerapkan syariat Islam secara total guna menjamin keseimbangan ekonomi dan lingkungan hidup. Negara khilafah dan khalifah akan melaksanakan tanggung jawabnya meriayah (mengurus), melindungi, dan memastikan kemaslahatan rakyat sebaik mungkin.

Khilafah pun akan menghindarkan rakyatnya dari kerusakan lingkungan termasuk akibat limbah industri yang tidak dikelola dengan baik. Hal ini karena penguasa Islam (khalifah) tahu betul betapa beratnya tanggungjawab ia sebagai pemimpin.

Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad)

Syariat Islam pun dengan tegas melarang merusak lingkungan apapun bentuknya, termasuk industri yang menghasilkan limbah berbahaya bagi kehidupan. Karena lingkungan sangat erat kaitannya dengan keselamatan rakyat.

Allah Swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan harapan sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (TQS.  Al-Araf : 56)

Berdasarkan kedua dalil ini, maka negara khilafah dan khalifah sangat memerhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan dalam negara Islam tak hanya sebatas dalam konsep kampanye kosong seperti sistem kapitalisme, melainkan benar-benar terwujud nyata dalam kehidupan.

Sejarah mencatat hampir 14 abad lamanya para khalifah di masa kejayaan Islam berupaya melestarikan lingkungan dan tidak mengambil keuntungan sedikitpun darinya. Jangankan menipu rakyatnya, mengorbankan alam dan hewan pun tidak akan mereka lakukan. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika ada seorang sahabat yang mengambil anak burung dari sarangnya, maka Rasulullah menegur sahabat tersebut agar mengembalikan anak burung ke sarangnya.

Dari keterangan-keterangan di atas, maka tampak jelaslah bahwa hanya sistem Islamlah yang mampu menjaga kelestarian lingkungan dan menghindarkan umatnya dari segala ancaman bahaya dan kerusakan dari sistem kapitalisme. Karenanya kembali kepada aturan Islam dan menerapkannya secara kaffah dalam tataran kehidupan merupakan suatu kewajiban saat ini, agar umat alam terjaga dari kerusakan dan hidup pun penuh kesinambungan.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Penulis: Reni Rosmawati | Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi AMK

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.