8 Mei 2024

 “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama.” (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulk).

Kekuasaan pemerintahan atau politik dan agama tidak bisa dipisahkan. Politik kekuasaan butuh agama agar dalam melaksanakan pemerintahan bisa menyejahterakan. Demikian pula agama, tidak bisa dijalankan secara menyeluruh tanpa kekuasaan. Jika salah satu terpisahkan maka akan terjadi kekacauan. Politik tanpa agama akan semena-mena. Agama tanpa politik akan lemah tak berdaya.

Seperti inilah yang terjadi selama  satu abad terakhir ini. Saat itu agama dan politik bersatu membentuk sebuah konstitusi berupa Daulah Khilafah. Abad kejayaan Islam yang menorehkan tinta emas sejarah peradaban. Dimana sistem pemerintahan berjalan sesuai dengan syariat Islam yang memberikan kesejahteraan.

Namun sayang, kekuasaan itu tumbang setelah ratusan abad menyinari dua pertiga bumi. Bertepatan dengan Tragedi Penghapusan Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 28 Rajab 1342 H (3 Maret 1924 M) oleh Mustafa Kemal Ataturk. Seorang dari etnis Yahudi Dunama yang merupakan antek Inggris.

Sejak saat itu umat Islam kehilangan pengayom dan periayah. Penghapusan khilafah ini juga menandai dimulainya kesengsaraan umat muslim di dunia hingga detik ini. Betapa penghapusan khilafah mengubah tatanan kehidupan hingga 180 derajat.  Umat terkungkung dalam cengkeraman Barat.

Malapetaka Akibat Ketiadaan Khilafah

Tengoklah hari ini, sekularisme berhasil membuat seorang muslim menafikan aturan Al-Qur’an dalam kehidupan. Menjadikan agama hanya sebatas ibadah ritual, moral, dan individual. Ajaran Islam yang dipelajari hanya sebatas fikih ibadah. Pendidikan sekuler sengaja mengaburkan dan mengubur syariat yang berhubungan dengan politik bernegara.

Begitu pula dengan kehidupan sehari-hari. Ketiadaan khilafah membuat seorang muslim bebas mau menjalankan agamanya atau tidak. Tidak ada aturan yang memberikan tindakan tegas bagi pelanggar hukum syariat. Saat ini makin sulit membedakan seorang muslim dengan nonmuslim.

Padahal jelas dalam TQS. Al-Maidah [5] : 44, 45,47 Allah ta’ala menyebut sebagai kafir, zalim, dan fasik bagi muslim yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah ta’ala. Bukankah konsekwensi dari syahadat seorang muslim adalah mengimani Al-Qur’an? Bagaimana kita hendak mempertanggungjawabkan keimanan ini di hadapan Allah Swt. kelak?

Al-Qur’an Tidak Dijadikan Pedoman Kehidupan

Kebanyakan umat muslim hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai bacaan dan hapalan. Mensucikannya hanya sebatas memperlakukan fisiknya saja. Marah ketika Al-Qur’an dinistakan, namun pada satu sisi hukum dalam Al-Qur’an dicampakkan.

Padahal dalam Al-Qur’an semua termaktub aturan ibadah muamalat seperti interaksi dan jual beli, fikih jinayah atau sanksi hukum, serta munakahat atau perkawinan. Semua aturan dalam kehidupan selain ibadah tidak bisa diterapkan secara keseluruhan kecuali ada konstitusi sebagai penyelenggara.

Baca juga: Pengajaran sejarah yang hilang arah

Tanpa khilafah umat tidak punya satu kepemimpinan yang melindungi. Saat ini umat terpecah-belah tiada persatuan. Milyaran kepala namun tanpa satu komando ibarat buih di lautan. Banyak namun tidak ada kekuatan. Umat terpecah menjadi negara kecil yang disekat oleh nation state dan jiwa nasionalisme yang menyesatkan.

Bak anak ayam kehilangan induknya. Negeri-negeri muslim menjadi incaran penjajah yang siap memangsa dan menguasai. Umat dijajah secara ideologi dan fisik. Paham sekulerisme berhasil menjauhkan umat dari kebangkitan.

Pemikiran umat dicekoki paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Negeri muslim yang kaya sumber daya alam dijajah dengan kedok investasi. Pemimpinnya pun berada dalam kendali penjajah. Secara nyata neo-imperialisme sudah berhasil bercokol di negeri Islam. Cengkeraman Barat demikian kokoh hingga umat sekarat di semua lini kehidupan.

Ketiadaan khilafah juga telah menjadikan nyawa umat Islam seolah tidak berharga. Pembunuhan, pemerkosaan, dan penindasan terjadi setiap saat. Ini terjadi akibat hukum qishas tidak diterapkan. Padahal, di mata Allah, hancurnya bumi beserta isinya ini lebih ringan dibanding terbunuhnya seorang muslim.

Islam Pilihan Tunggal

Sesungguhnya ideologi di dunia ini hanya tiga, sosialisme, kapitalisme, dan Islam. Negara penganut ideologi sosialisme dan kapitalisme cenderung ingin menguasai negara lain dengan cara menjajah. Namun tidak demikian dengan Islam.

Ideologi sosialisme menguasai negara dan menerapkan sistemnya dengan prinsip kesederajatan dan pemerataan. Segala aspek produksi dikendalikan oleh negara sehingga perseorangan atau suatu golongan tidak dapat memiliki hak atas segala aspek produksi. Salah satu ciri khas lainnya yaitu tidak mengakui keberadaan Tuhan dalam kehidupan.

Demikian pula sistem kapitalisme yang melahirkan liberalisme, sekulerisme, dan demokrasi. Sistem ini cenderung menyerahkan kebijakan ekonomi pada individu. Negara hanya diberi sedikit ruang untuk mengatur perekonomian. Hak milik swasta menjadi elemen utama dalam sistem ini. Seperti yang kita rasakan saat ini, kesejahteraan hanya dirasakan oleh para pemodal.

Berbeda halnya dengan Ideologi Islam. Islam mempunyai aturan yang bersumber dari Sang Maha Pengatur yaitu Allah ta’ala. Sistem ekonomi  dalam Islam dikonstruksi atas tiga asas yaitu konsep kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan hak milik, dan distribusi kekayaan bagi warga negara.

Kejayaan Islam pernah dirasakan oleh negeri ini salah satunya Kesultanan Aceh. Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani terjalin dengan baik salah satunya yaitu ketika Kesultanan Aceh meminta bantuan untuk mengusir penjajah Portugis dari tanah Malaka.

Syariat Islam pun masih diterapkan oleh masyarakat Aceh dalam Perda Syariah yaitu terkait pakaian muslimah, hukum dera atau cambuk bagi pezina, dan peminum khamr. Meskipun tidak semua aspek diterapkan, namun bisa menekan angka kriminalitas dan kasus pelecehan seksual.

Walhasil, demikian banyak kerugian umat akan ketiadaan Khilafah. Sudah saatnya membebaskan diri dari cengkeraman Barat. Memperjuangkan penegakan syariat Islam adalah konsekwensi dari keimanan seorang muslim. Seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.

Wallahu a’lam bishshawab

Penulis: Merli Ummu Khila| Pemerhati Kebijakan Publik

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.