5 Mei 2024

Penulis : Rina Tresna Sari, S.Pd.I, Praktisi Pendidikan dan Member AMK

Dimensi.id-Bagai petir disiang bolong. Begitulah yang dirasa para calon jemaah haji mendengar Kementerian Agama menyatakan ibadah Haji 2020 ditiadakan. Bagaimana tidak, impian untuk menginjakan kaki di tanah suci hanyalah tinggal sebatas harapan.

Sebagaimana dilansir kompas.com,2/6/2020-Kementrian Agama menyatakan dalam konferensi pers virtual, ibadah haji 2020 ditiadakan. Alasannya karena pandemi Covid-19 masih menghantui dunia, termasuk Arab Saudi.

Menariknya, keputusan ini diambil tanpa konfirmasi dari otoritas Saudi Arabiah sebagai sahibul bait.  Pun tak menunggu anggukan setuju dari para wakil rakyat.  Artinya terdapat Undang-undang yang ditarung, yaitu UU tentang Haji dan Umrah.  Saat digugat Komisi VIII DPR RI, Kemenag mengaku membatalkan keberangkatan haji atas permintaan Presiden yang terhormat.  (tempo.co, 3/6/2020)

Spekulasi publik menguat bukan tanpa alasan. Beberapa hari sebelumnya, beredar kabar dana dari jemaah haji tahun ini akan dipakai untuk membantu pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia untuk menstabilkan mata uang rupiah yang terus menurun.  Hal yang menurut ekonom senior, Rizal Ramli menunjukkan pemerintah sudah benar-benar kehabisan ide. (wartakota, 2/6/2020)

Meski belakangan isu tersebut ditepis pejabat yang berwenang, malangnya keraguan kadung melekat di benak umat.  Mengingat pengelolaan dana haji kerap kali menjadi langganan kisruh.

Masa tunggu, kuota terbatas serta ongkos naik haji yang melangit sedikit banyak punya andil ruwetnya pengelolaan dana haji.

Bahkan dekade terakhir, dana haji beberapa kali memicu kasus korupsi. Pada tahun 2005, mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar tersandung penyalahgunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Abadi Umat di Departemen Agama.

Senasib dengannya, Suryadharma Ali, mantan ketua umum PPP, juga dijerat perkara yang sama saat ia menjabat sebagai Menteri Agama tahun 2014. (bbc.com, 20/3/2019)

Tahun 2017 BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) dibentuk. Konon ditujukan untuk menangkal terjadinya penggelapan dana. Lalu berhentikah korupsi? Boleh jadi. Hanya saja berdirinya BPKH justru secara resmi melegalkan dana haji digunakan untuk investasi. Padahal uangnya milik umat pribadi. Tak sedikit yang mengumpulkannya sampai jatuh hingga berdiri lagi.  Jangan ditanya air mata yang pastinya mengiringi demi bertemu Baitullah yang dicintai.

 Haji Sebuah Kewajiban

Allah SWT berfirman dalam Alquran, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran [03] : 97).

Hukum wajibnya jatuh tanpa disertai alasan (‘illat), dan ditetapkan berikut dengan waktu, tempat dan tata caranya.  Adapun yang bertanggungjawab urusan pelaksanaan, Islam menugaskannya pada penguasa yang keberadaannya memang tegak untuk menjamin ditunaikannya seluruh syariat.  Tanpa kecuali. 

Dengan prinsip ri’ayatu syu’unil ummah (memelihara urusan umat), para penguasa muslim tak diperkenankan Islam berhitung untung dan rugi. Apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis dan investasi. Negara bahkan harus memfasilitasi perjalanan dari segala penjuru lewat rute darat, laut maupun udara.

Kilas balik sejarah, di masa khalifah Sultan ‘Abdul Hamid II,   dibangun transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum kekhilafahan Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, bahkan membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Semua hal di atas idealnya mencerahkan segenap umat, bahwa haji bagian dari ibadah yang wajib bukan sekedar main-main. Alih-alih membatalkan secara sepihak dan terkesan terburu-buru, justru hadirnya negara mutlak untuk memastikan kewajiban ini terlaksana. Andai pun ihwal darurat terjadi akibat pandemi, tak selayaknya dana haji dialihkan ke hal lain.

Sepanjang sejarah kekuasaan Islam, ada hal istimewa yang terjadi melalui sarana haji. Yaitu  terbukanya kesempatan bagi umat untuk menyampaikan pengaduan serta koreksi terhadap penguasa. Sebaliknya para khalifah juga bisa bertanya kepada mereka tentang hal ihwal para wali yang diangkatnya secara langsung dari masyarakatnya.

Seorang ulama ‘Atha Ibnu Abi Rabâh pernah menasihati khalifah ‘Abdul Malik Ibnu Marwan di suatu musim haji,

“Wahai Amîrul Mukminîn, bertakwalah kepada Allah SWT, dalam hal perlakuan Anda terhadap anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar, bertakwalah kepada Allah SWT dalam hal perlakuan Anda terhadap para penjaga perbatasan, perhatikan urusan kaum Muslimin, karena Andalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas urusan-urusan mereka, jangan biarkan orang-orang yang ada di depan pintu rumahmu…….” Setelah ia selesai menyampaikan nasihatnya, Khalifah pun berdiri dan berkata: “Aku sudah lakukan itu semua”, lalu ia memegang tangan ‘Atha dan berkata: “Dari tadi engkau hanya memperhatikan urusan orang lain, sekarang apa kebutuhanmu..? ‘Atho menjawab: “Saya tidak perlu bantuan seorang makhluk,” lalu ia keluar. (Muhammad as-shlalabiy, ad-Daulah Umawiyah ‘Awamilul Izdihar wa Tada’iyatul Inhiyar, Juz II/477)

Sungguh Islam dengan syariahnya yang kaffah cukup sebagai jawaban dari sengkarut persoalan seluruh aspek kehidupan di dunia ini.  Problem wabah, kesehatan, ekonomi hingga haji tak luput memiliki solusi dalam Islam. Patutkah ada pilihan lain selain menerapkannya?

Firman Allah,

‘Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab : 36).

 Wallaahu a’lam.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.