6 Mei 2024

penulis : Ade Cassidy

Dimensi.id-Pemerintah masih gali lubang tutup lubang dalam melaksanakan APBN tahun anggaran 2020. Hal ini terlihat dari anggaran keseimbangan primer yang mencapai Rp 18,4 triliun hingga akhir April tahun ini.

Pemerintah membutuhkan banyak dana demi menanggulangi dampak Pandemi Corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional. Untuk memenuhi dana tersebut, salah satunya pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 kembali melebar ke level 6,34% atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB).

Angka defisit yang paling baru ini akan dimasukkan dalam revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Di mana awalnya defisit anggaran dipasang pemerintah sebesar 5,07% atau setara 852,9 triliun terhadap PDB.

Luar biasa , negeri yang kaya akan sumber daya alamnya dan diberkahi dengan kesuburan tanahnya , tidak berdaya dan harus mengemis kepada negara lain untuk memberi pinjaman untuk bertahan.

Menyedihkan, rezim Neo liberal hari ini telah membebani hutang untuk anak cucu kita dimasa yang akan datang. Benarkah tidak ada solusi lain untuk membangun negeri ini selain dengan berhutang ?

Bahkan sejak krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia terus menerus dibelit oleh utang. Kurang lebih separuh dari anggaran negaranya adalah untuk pembayaran utang. Utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan, dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat.

Dalam sistem pemerintahan demokrasi liberal yang hari ini dianut oleh berbagai negara dibelahan bumi ini dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Tidaklah mengherankan dalam sistem ini utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.

Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang.

Lantas mengapa sistem seperti ini masih dipertahankan ? Semua ini hanyalah politik negara-negara kapitalis untuk dapat menjerat negeri-negeri yang memiliki sumber daya alam agar dapat dikuasai dengan mudah. Inilah konsep baru dari imperialisme. Tanpa sadar negara yang berhutang telah masuk kedalam perangkap.

Jangan berharap dengan sistem ini dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat. Hal ini berbeda dengan konsep ekonomi Islam. Islam memiliki aturan yang khas dan jelas dalam pengelolaan ekonomi. Fakta tersebut sangat jauh berbeda bila ditinjau dari pengelolaan perekonomian dalam Islam.

Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.  Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). 3 pos ini mengalirkan harta baitul mal karena bertumpu pada sector produktif. Harta baitul mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.

Baitul mal sebagai lembaga yang mengelola pemasukan tersebut dan akan dikeluarkan atau dibelanjakan untuk keperluan negara dan rakyat. Termasuk diantaranya proyek-proyek infrastruktur. Hal tersebut bukanlah tanggung jawab kaum muslimin melainkan tanggung jawab baitul mal, yang berarti bagian dari tanggung jawab negara. Disini terlihat jelas, sumber-sumber pemasukan negara didapatkan tanpa membebani rakyat. Kalaupun ada pengambilan pajak (dhoribah), hanya akan dibebankan jika baitul mal sedang kosong dan pelaksanaannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh syariat atas kaum muslimin.

Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), menyebutkan sumber-sumber pemasukan Negara yang dikumpulkan oleh Baitul Mal, yaitu:

1. Pengelolaan atas Harta Kepemilikan Umum, seperti air, api (energi), padang rumput, barang tambang dalam jumlah sangat besar (minyak bumi, emas, perak, dst), jalan, sungai, laut, hutan, dan sejenisnya.

2. Pengelolaan atas Harta Milik Negara, seperti gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, dan sejenisnya.

3. Pendapatan dari non muslim, seperti Kharaj, Fa’i, Jizyah, dan sejenisnya.

4. Pendapatan dari muslim, seperti Zakat, Wakaf, Infak, dan sejenisnya.

5. Pendapatan temporal, misalnya dari denda.

Harta Kepemilikan Umum yang dikelola pemerintah akan menjamin bahwa masyarakat umum, sebagai pemilik hak atas harta tersebut, dapat merasakan langsung manfaat dari harta tersebut.

Di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid pembangunan infrastruktur juga sangat megah dan modern tanpa berhutang sepeser pun dengan Negara luar. Paada masa Khalifah Umar bin Khattab beliau membangun kanal dari fustat ke laut merah untuk memudahkan akses perdagangan, membangun kota dagang Basrah (Jalur dagang ke Romawi), membangun kota Kuffah (Jalur dagang ke Persia) dan memerintahkan gubernur Mesir membelanjakan sepertiga pengeluaran infrastruktur dan lain-lain. Itupun neraca keuangan tidak pernah defisit. Pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan pengelolaannya adalah kunci kemandirian sebuah negara sehingga tidak bergantung kepada negara lain.

Hanya dengan kembali kepada  sistem Islam secara  kaffah, semua permasalahan yang ada bisa teratasi, baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Thaha ayat 124,

“Siapa saja yang berpaling dari perintahku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”. Wallahu a’lam.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.