3 Mei 2024

Dimensi.id-Organisasi pemerhati hak asasi manusia Amnesty Internasional meminta 16 negara termasuk Indonesia menerima kapal berisi ratusan pengungsi Rohingya yang masih terjebak di tengah laut, ditengah situasi pandemi virus corona. Amnesty International menuturkan beberapa kapal pukat nelayan yang membawa ratusan pria, wanita dan anak-anak Rohingya  itu ditolak masuk oleh sejumlah negara terutama di tengah pembatasan pergerakan terkait pandemi Covid-19 saat ini (cnnindonesia.com 8/5/2020).

Sebanyak 800 pengungsi dan migran diyakini masih berada di laut. Dua pekan lalu, puluhan nyawa hilang diatas kapal yang ditolak oleh otoritas Malaysia. Orang-orang yang selamat dan diizinkan untuk turun di Bangladesh mengalami malnutrisi dan dehidrasi yang sangat parah.

Pemerintah 16 negara yang diseru oleh Amnesty International adalah Australia, Bangladesh, Brunei, Kamboja, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Singapura, Timor Leste, Thailand, Sri Lanka dan Vietnam. Amnesty International telah mendesak 16 negara ini agar mengizinkan semua perahu yang mengangkut pengungsi  dan migran untuk mendarat dengan selamat di negara terdekat dan tidak mendorong mereka ke laut, apalagi dengan mengancam atau mengintimidasi mereka.

Tidak hanya itu Amnesty International juga meminta 16 negara untuk saling berkoordinasi terkait operasi pencarian dan pertolongan untuk menemukan dan membantu perahu-perahu dalam kondisi kesulitan (distress), sesuai dengan deklarasi regional dan hukum internasional.

Organisasi juga meminta masing-masing negara memastikan setiap individu tidak dikriminalisasi, ditahan, maupun dihukum hanya karena metode kedatangan mereka di negara terkait. Amnesty International juga meminta para negara “menghormati prinsip nonrefoulement, dengan memastikan orang-orang itu tidak dipindahkan ke tempat apapun, termasuk negara asal mereka, dimana nyawa mereka terancam, atau tempat dimana mereka akan mungkin disiksa atau dipersekusi.

Surat terbuka Amnesty International ini merupakan tanggapan atas apa yang menimpa pengungsi Rohingya awal Mei 2020 di perairan sekitar Bangladesh dan Malaysia. Penolakan dan pengusiran yang dialami pengungsi etnis Rohingya selama pandemi Covid-19 merupakan pelanggaran terhadap Deklarasi Bali Process 2016 dan Deklarasi ASEAN 2010.

Deklarasi Bali untuk korban penyelundupan, perdagangan dan kejahatan transnasional merupakan komitmen yang disepakati di Bali, Indonesia pada Maret 2016 oleh perwakilan dari 43 negara. Dalam 14 poin deklarasi itu, negara-negara di Asia Pasifik berupaya meningkatkan perlindungan terhadap pengungsi yang berpindah tidak lewat jalur resmi (irregular movement), khususnya setelah ribuan pengungsi Rohingya tewas di laut akibat tidak diperbolehkan menepi pada 2015.

Sementara itu, Deklarasi ASEAN untuk kerjasama pencarian dan penyelamatan warga dan kapal dalam kondisi bahaya di laut telah disetujui menteri luar negeri anggota perhimpunan di Asia Tenggara pada Oktober 2010. Deklarasi itu merupakan wujud komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk memberi bantuan kemanusiaan kepada seluruh pihak yang ditemukan tengah mengalami situasi berbahaya di laut.

Deklarasi itu sejalan dengan konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Konvensi International untuk Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS), dan Konvensi Internasional tentang Pencarian dan Pertolongan Maritim. Konvensi tersebut mewajibkan negara-negara memberi bantuan kemanusiaan kepada mereka yang terbelit situasi berbahaya di laut tanpa memandang kebangsaan, status imigrasi, dan lokasi mereka ditemukan.

Sementara itu angkatan laut Bangladesh telah menyelamatkan 280 muslim Rohingya dari teluk Benggala dan menarik kapal mereka yang terdampar. Warga Rohingya telah dibawa ke sebuah pulau, tempat mereka akan dikarantina. Hanya saja pulau ini bukanlah tempat yang aman. Melainkan sebuah pulau terpencil dataran rendah tak berpenghuni yang akan terendam air saat musim hujan. Beberapa perahu telah mendarat di Bangladesh yang dipenuhi oleh warga Rohingya yang kelaparan dan kurus. Korban selamat mengatakan puluhan orang meninggal di kapal selama berminggu-minggu di laut.

Pada 2015, ratusan warga Rohingya meninggal setelah penindakan keras di Thailand menyebabkan penyelundup meninggalkan para pengungsi di laut. Kini PBB telah mendesak pemerintah untuk membiarkan kapal-kapal itu mendarat, tetapi negara-negara Asia Tenggara telah memperketat perbatasan mereka.

Bahkan negara muslim Malaysia memperlihatkan bahwa simpati terhadap Rohingya telah terkikis. Salah satu sosok yang menjadi target kelompok anti-Rohingya adalah Zafar Ahmad Abdul Ghani, seorang aktivis Rohingya yang harus menonaktifkan akun facebook-nya setelah dibanjiri komentar marah dan ancaman kematian. Reaksi tersebut dipicu oleh tuduhan bahwa ia menuntut kewarganegaraan Malaysia bagi orang perahu Rohingya.

April lalu Malaysia telah mengusir sebuah kapal yang diduga membawa 200 pengungsi Rohingya. Malaysia juga telah menangkap beberapa orang yang diyakini sebagai orang Rohingya karena dicurigai telah melakukan perdagangan migran illegal.

Rohingya sebagaimana Palestina, Syria, Xinjiang dan Kashmir adalah mereka, saudara kita yang terusir dari waktu kewaktu tepat di depan hidung kita. Namun sekat-sekat negara bangsa telah menghalangi tangan-tangan kita untuk menjangkau mereka. Bagi kami muslim Aceh, mereka pernah singgah dalam dekapan hangat kami, namun persaudaraan akidah ini tak mampu menahan lembaga-lembaga internasional memindahkan mereka, mengembalikan hati-hati yang remuk itu kembali ke tukang jagal di Myanmar.

Lalu hari ini Amnesty Internasional bersuara untuk mereka. Suara ini terdengar amat sumbang di telinga kami. Melansir dari amnesty.id, bahwa Amnesty International adalah lembaga yang berjuang mewujudkan dunia tempat semua orang bisa menikmati hak asasi mereka. Nyatanya kita telah menyaksikan seperti apa sepak terjak NGO ini. Amnesty Internasional lebih sering bertindak sebagai agen propaganda dan agitasi yang memfasilitasi kapitalisme menjajah negara-negara dunia ketiga.

Sekilas tujuan lembaga ini terdengar mulia. Namun sebentar, jika memang semua orang bisa menikmati hak asasi mereka, mengapa Amnesty International harus memaksa 16 negara menerima Rohingya. Mereka punya tanah air, mereka memiliki komunitas dan wilayah di Myanmar!

Mengapa bukan pemerintah Myanmar yang harus ditekan dan diseret ke pengadilan internasional karena kejahatan mereka melakukan pengusiran dan genosida terhadap saudara kami Rohingya? Mengapa mereka hanya mencabut penghargaan bergengsi Suu Kyi namun membiarkan pengusiran dan genosida terus berlangsung?

Jika benar lembaga ini tulus untuk keadilan mengapa mereka tersesat dari realitas yang hakiki? Ataukah mereka sedang bekerja kini, menjalankan propaganda untuk kepentingan tuannya?

Hari ini, pada hari yang sama, Amnesty International mengecam penguasa Tepi Barat dan Gaza atas penahanan aktivis perdamaian, karena mengadakan konferensi video dengan orang Israel dan seorang penulis yang mengecam penguasa Gaza atas insiden kebakaran pasar. Organisasi ini dimanapun keberadaannya patut untuk diwaspadai.

Mengapa mereka tidak mengecam Israel yang jelas menjajah Palestina setiap saat? Apakah mereka buta dan tuli? Atau propaganda kemanusiaan dan HAM hanya sebagai kedok saja? Lembaga ini memang memiliki rekam jejak yang cukup kelam dalam menjelek-jelekkan sebuah negara dengan menekan melalui media massa atau mengadakan lobi dengan lembaga-lembaga internasional.

Organisasi HAM dan Hukum internasional pada dasarnya adalah institusi legal untuk menjajah dunia. Mana suara HAM untuk penderitaan Palestina, Syria, Xinjiang dan negeri-negeri lainnya yang terjajah. Mana gerakan nyata organisasi ini mengecam Amerika teroris internasional yang menumpahkan darah hampir di seluruh penjuru negeri-negeri muslim. Mana suara Amnesty International untuk India sang Jagal Hindutva?

Kenyataannya banyak negara agresor penjajah justru menginvasi negara lainnya, melakukan campur tangan bahkan mengobok-obok politiknya atas dasar menegakkan HAM. HAM dalam perkembangannya justru tampil sebagai alat infiltrasi dan invasi. Mari mengenang kembali invasi militer AS ke Libya, Irak, Afganistan, Vietnam dan lain-lain.

Oleh karenanya, kami umat Muhammad ini tidak akan menaruh harap sedikitpun pada forum-forum palsu internasional untuk kebebasan dan kemerdekaan kami. Cukup janji Allah dan Rasul-Nya yang akan menegakkan kembali institusi milik kaum Muslimin, Khilafah Islamiyah yang akan membebaskan semua belenggu ini. [MO]

Penulis : Aisyah Karim (Lingkar Studi Untuk Perempuan dan Peradaban)

Editor : Azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.