19 Mei 2024

Penulis : Pipit Agustin (Pemerhati Pendidikan dan Generasi)

Dimensi.id-Sebenarnya “industrication” itu adalah istilah yang ‘maksa’. Istilah ini untuk menyebut industry and education atau perjodohan antara industri dan dunia pendidikan. Namun yang lebih ‘maksa’ adalah wacana program Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang akan menjodohkan dunia industri dengan dunia pendidikan. Out of the box ekstrem!

Bila kita lihat dengan kaca pembesar, wacana Mendikbud patut dipertanyakan dari dua hal. Pertama, di mana posisi pemerintah dalam sistem pendidikan? Kedua, apa sebetulnya hakikat manusia menempuh jenjang pendidikan, kerja oriented?

Nadiem mengatakan ‘perjodohan massal’ antara pihak Kampus dan industri dilakukan hingga tahap kontrak rekrutmen mahasiswa di perusahaan, terkait peluang usaha. Pemerintah memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis.

Nampak sekali masa depan pendidikan bangsa dalam kaca mata Nadiem adalah kuliah untuk mencari kerja. Mencari ilmu untuk mencari harta. Negara mendukung dan mendesain regulasinya agar bisa mengkatalis terwujudnya “cita-cita” pendidikan versi Nadiem.

Presiden bahkan menuntun pada tataran praktisnya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak forum rektor perguruan tinggi bekerja sama dengan pelaku industri. Cara tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan membuka fakultas.

“Jika ada kawasan industri terdekat, ajak segera bekerja sama buka fakultas, atau departemen, atau program studi yang karakter keilmuannya dekat dengan kawasan industri itu,” demikian ujar Jokowi saat membuka Konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) Virtual Tahun 2020 yang disiarkan daring di Istana Bogor, Jawa Barat (liputan6.com, 4/7/2020).

Inilah desain pendidikan masa depan bangsa versi penguasa. Desain yang menjelaskan negara “cuci tangan” dari tanggung jawab utama mengurus intelektualitas generasi bangsa. Sekaligus menggambarkan betapa tidak pahamnya penguasa terhadap potensi strategis pendidikan.

Anomali karakter pemimpin politik tertinggi negeri ini memang memprihatinkan. Karakter pemimpin bisnis lebih dominan dari pada karakter pemimpin politik. Walhasil, penguasa menjalankan praktik bisnis dalam tugas kekuasaannya. Sebagaimana halnya pelaku industri, orientasinya adalah profit. Maka, ketika industri dinikahkan dengan dunia pendidikan, akan lahir program industrication. Wujudnya bisa berupa mix and match pemberdayaan. Yaitu memberdayakan para lulusan pendidikan tinggi untuk mengembangkan riset guna menghasilkan profit bagi perusahaan. Menyedihkan!

Akibatnya, potensi intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan tidak didesain untuk pengabdian dan kemashlahatan umat dan negara, tetapi untuk korporasi dan industri agar tetap berjaya.

Pada akhirnya, visi pendidikan dengan realitas perbedaannya sejauh timur dan barat. Namun, itu mungkin tak jadi soal karena memang penguasa bukanlah negarawan sejati, tidak paham hakikat pendidikan dan mengelola politik kenegaraan.

Rethinking dengan Islam

Dalam perspektif Islam, pendidikan akan diselenggarakan dengan dasar akidah Islam. Hal ini tercermin pada penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum dan silabi serta menjadi dasar dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).

Pendidikan harus diarahkan bagi terbentuknya kepribadian Islam peserta didik dan membina mereka agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tsaqofah Islam. Pendidikan juga harus menjadi media utama bagi dakwah dan menyiapkan peserta didik agar kelak menjadi kader umat yang ikut memajukan masyarakat Islam. Kebijakan pendidikan seperti ini berlaku umum pada sekolah negeri maupun swasta.

Sementara itu tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah mencetak para pemimpin umat yang benar-benar berkepribadian Islam, kompeten, dan siap menerapkan Islam, melindungi dan mengembannya ke seluruh penjuru dunia. Di samping itu, pendidikan tinggi juga bertujuan membangun ketahanan negara dari ancaman disintegrasi dan berbagai ancaman dari luar negeri.

Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk menghasilkan para ahli diberbagai bidang, seperti kedokteran, teknik, pertanian, guru, hakim, atau ahli syariah dan bidang lain dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.

Untuk kepentingan tersebut, negara khilafah akan mendirikan kampus dalam berbagai bentuknya (universitas, institut, sekolah tinggi, akademi atau lainnya). Semua itu dilengkapi dengan pusat-pusat penelitian, laboratorium, perpustakaan, dan sarana lain sesuai dengan kebutuhan. Pembiayaannya pun diambil dari dana negara (baitul mal) dan bersifat mutlak.

Hal ini bertujuan agar pendidikan tinggi menghasilkan peneliti yang mampu berinovasi di berbagai bidang yang memungkinkan umat ini mengelola hidupnya secara mandiri. Dengan cara ini ketergantungan umat Islam kepada negara-negara penjajah bisa dihindari, termasuk penjajahan negara korporasi dan industri dalam bentuk investasi.

Hal ini ditegaskan Allah dalam Firman-Nya:

“Dan sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (TQS. An-Nisaa’: 41).

Bila ditengok ribuan tahun ke belakang, konsep pendidikan Islam ini telah sukses diimplementasikan. Bukan sekadar wacana, produk intelektual Muslim memiliki kecerdasan lintas bidang. Kegemilangan peradaban Islam menyinari Barat dan Timur dunia. Khilafah Islam begitu berkilau dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Ketika itu, Eropa masih dalam era “kegelapan”. Dan Amerika, masih belum ditemukan.

Belum lagi soal pengabdiannya pada umat, bangsa, dan agama. Telah lahir dari rahim pendidikan Islam pribadi-pribadi istimewa yang mampu menjadi pemimpin politik dan pemerintahan serta militer seperti Abu Bakar ra, Khalid bin Walid ra, Shalahuddin al-Ayyubi. Di saat sama, lahir pula sosok ilmuwan tangguh fakih fiddin maupun cabang ilmu tsaqofah seperti Imam Abu Hanifah dan al-Khawarizmi.

Perlu dicatat, pendidikan tinggi negara khilafah dengan program studi apapun tetap akan mengajarkan tsaqofah Islam kepada para mahasiswa. Pengajaran tsaqofah Islam di dalam pendidikan tinggi ini bertujuan agar kelak ketika mereka menjadi pemimpin, benar-benar memahami Islam, sehingga bisa mengurus kepentingan rakyatnya dengan baik dan benar apapun bidang yang ia tekuni. Wallahu a’lam.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.