17 Mei 2024
11 / 100

Dimensi.id-Panggung pencarian bakat internasional bergetar, seorang penyanyi tuna netra asal Indonesia, berhasil menarik minat salah satu juri untuk memberikan hak istimewanya yaitu Golden Buzzer. Putri Ariani, pelajar asal Yogyakarta, berhasil memukau para juri dengan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri ” Loneliness” dan membuat Simon Cowel, raja industri musik asal Inggris yang menjadi salah satu juri pada kesempatan itu untuk memberi hadiah impian setiap peserta audisi.

 

Sontak dunia melihat Putri sebagai sosok yang inspiratif, dengan keterbatasan fisik yang ia miliki tak membuatnya patah semangat, malah terus berusaha menempa dirinya dengan prestasi dan prestasi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim pun tak hanya menemui Putri Ariani secara langsung untuk memberikan ucapan selamat atas pencapaiannya di America’s Got Talent (AGT) 2023 tapi juga memberikan Beasiswa Indonesia Maju (BIM).

 

Mas Menteri mendukung penuh cita-cita Putri untuk melanjutkan pendidikan di The Juilliard School New York yang terkenal sangat ketat seleksinya. Lepas dari itu, Nadiem sangat mengapresiasi prestasi Putri yang mengharumkan nama Bangsa Indonesia. Inilah yang dimaksud mewujudkan konsep Merdeka Belajar, Putri dalam hal ini melalui caranya mengembangkan bakat menyanyinya.

 

“Menurut saya, pengalaman Putri sangat menggambarkan konsep Merdeka Belajar, di mana orang tua mengikuti minat dan bakat, dan memberikan kebebasan dalam mengajarkan Putri,” kata Menteri Nadiem (insertlive.com, 13/6/2023).

 

Menilik Konsep Merdeka Belajar

 

Nadiem terlihat sedang menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa apa yang dipilih Putri adalah salah satu konsep dari merdeka belajar. Ditambah dengan berita Putri Ariani mendapat Rp7 triliun dari Simon Cowell atas kemenangannya di acara pencarian bakat tersebut . Jumlah yang fantastis! Beruntungnya Putri yang memiliki bakat luar biasa sehingga dengannya bisa meraih apapun yang bagi anak Indonesia lainnya hanya impian semata.

 

Bagi anak-anak Indonesia yang tak punya bakat istimewa, jelas ini menumbuhan rasa iri hati, jangankan berprestasi, untuk sekadar sekolah saja susah. Entah karena jarak rumah mereka yang jauh, tak punya seragam, tak punya gadget, tak punya buku, tak punya gedung sekolah, tak bisa sekolah karena jembatan rusak, jalan berlumpur hingga tak punya uang untuk sekolah sehingga terpaksa bekerja membantu orang tua.

 

Sangat disayangkan, padahal bakat bisa tumbuh di anak mana saja, baik kaya maupun miskin dengan stimulasi tertentu, dengan kurikulum pendidikan yang baku, sistem pengajaran yang murah dan berkualitas. Semua bisa diraih, jadinya dimana letak kesalahannya? Apakah perhatian pemerintah, dalam hal ini kementerian menunggu viral, masuk dalam ajang internasional kemudian bisa mendapatkan berbagai fasilitas?

 

Konsep belajar merdeka diklaim lebih baik dari kurikulum-kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia. Kurikulum Merdeka telah berhasil memberikan kesempatan kepada guru untuk lebih bebas berinovasi karena sudah tidak terikat oleh aturan kaku, Nadiem pun mengklaim siswa lebih tenang belajar karena ujian nasional sudah dihapuskan dan penilaian dilakukan oleh gurunya sendiri. Kualitas pendidikan dapat dimonitor oleh pemerintah daerah (pemda) melalui data dari Asesmen Nasional di Platform Rapor Pendidikan.

 

Selesaikan persoalan pendidikan dengan hadirnya kurikulum merdeka belajar ini? Tentu saja tidak, sebab hanya menyentuh permukaan persoalan. Terus bergantinya kurikulum, menunjukkan betapa lemahnya negara ini, urusan kurikulum yang seharusnya merupakan dasar dari pendidikan nyatanya tak punya konsep baku, sehingga harus sering berganti.

 

Bagaimana dengan SDM pendidikan? Banyak sekali guru kita yang kurang update platform pendidikan merdeka belajar, belum dengan kesejahteraan guru PPPK dengan gaji minim dan kecemasan mengenai kontrak kerjanya berlanjut atau tidak, pemotongan tunjangan, serta gaji yang tidak dibayarkan selama berbulan-bulan. Kemudian jam mengajar yang tinggi, namun bertentangan dengan kebijakan belajar merdeka sendiri yang dengan alasan penghematan, lebih mendorong siswa untuk belajar sendiri tanpa pendampingan guru. Dan masih banyak lagi kendala lainnya.

 

Ditambah dengan minimnya perbaikan atau pembangunan sarana dan prasarana pendidikan . Sehingga ketika sistem zonasi diterapkan, ada banyak siswa yang mendapatkan sekolah dengan fasilitas seadanya, SDM pendidikan minim dan spesifikasi borongan alias semua mata pelajaran di garap satu guru. Sementara di ibukota provinsi, kabupaten atau kecamatan, ada sekolah yang meluber pemiliknya tapi kuota terbatas, muncullah tindak percaloan dan ” beli kursi” alias suap menyuap, rekayasa titik koordinat rumah dan lain sebagainya.

 

Dalam pidato Hardiknas 2019, yang merupakan awal pengenalan istilah Merdeka Belajar, Nadiem menyatakan bahwa Merdeka Belajar bermakna bahwa sekolah, murid, dan guru memiliki kebebasan untuk berinovasi, serta belajar dengan mandiri dan kreatif. Kebebasan dalam membangun minat tanpa batasan jelas ini sangat berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran dan budaya yang merusak generasi, serta menggerus pemahaman Islam. Terlebih jika melihat kebelakang bahwa kurikulum merdeka ini berdasarkan apa yang dipahami Ki Hajar Dewantoro yang memadukan konsep kebatinan dan humanisme dalam mewujudkan kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga.

 

Liberalisasi Pendidikan Sangat Kental

 

Generasi muda seolah dihipnotis dengan keberadaan kurikulum merdeka yang mampu mengakomodir jiwa kebebasan mereka, tak perlu titel, tak perlu berilmu tinggi, tak perlu gelar sarjana, selama ada jaminan kebebasan ekspresi maka disitulah esensi pembelajaran. Jelas ini sangat menyesatkan. Bagaimana pun sebuah negara maju tidak hanya membutuhkan generasi yang cerdas secara teknologi, namun juga yang peka terhadap perubahan sehingga bisa berkontribusi demi kemaslahatan umat.

 

Keberadaan Putri penyandang disabilitas namun berprestasi dan diapresiasi negara seolah mengatakan, inilah yang dimaksud dengan kurikulum merdeka, anda merdeka menentukan minat dan bakat, namun jauhkan agama dari kehidupan anda, sebab agama hanya candu yang menjauhkan manusia dari berkreasi bebas. Kemudian membatasi ” mengharumkan nama negara” di kancah internasional seolah hanya di dapat di luar pendidikan resmi. Bukan di depan bangku guru, tapi di dunia digital.

 

Tatanan Dunia Baru: Butuh Sistem Islam 

 

Sejatinya, yang dibutuhkan rakyat bukanlah sekadar pembelajaran yang membahagiakan. Namun, lahirnya sumber daya manusia unggul yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan agar dapat mengelola negeri ini dengan aturan Allah. Inilah yang akan mengantarkan negeri ini maju. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan dalam kurikulum yang berasas atau berakidah Islam, bukan sekularisme kapitalisme. Wallahu a’lam bish showab. [DMS].

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.