4 Mei 2024

Penulis : Mustika Lestar, (Pemerhati Sosial)

           

Dimensi.id-Memasuki tahun ajaran baru 2020/2021, madrasah menggunakan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab yang baru. Kurikulum tersebut sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) 183 tahun 2019.

           

“Mulai tahun pelajaran 2020/2021, pembelajaran di MI, MTs dan MA akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. KMA 183 tahun 2019 ini akan menggantikan KMA 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah,”ungkap Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar dalam rilis yang diterima detik.com, Sabtu (11/7).

           

Sebagai tindak lanjut KMA 183 tahun 2019, nantinya madrasah akan menggunakan buku yang sebelumnya telah dinilai oleh Tim Penilai Puslibang Lektur dan Khazanah Keagamaan. Sebanyak 155 buku telah disiapkan, termasuk untuk PAI akan menjadi instrumen kemajuan serta mempererat kehidupan berbagsa dan bernegara. Salah satu upaya yang dilakukan adalah meletakkan materi sejarah Khilafah, jihad dan moderasi beragama secara korelatif dalam berbagai bentuk perjuangan Muslim (detik.com, 11/7).

Moderasi Beragama Mengukuhkan Sekularisme

           

Sekularisme semakin menancapkan taringnya di negeri ini. Bagimana tidak, upaya menghilangkan ajaran Islam dari benak umat manusia semakin digencarkan. Seperti terlihat pada Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang resmi menyatakan bahwa pihaknya telah menghapus konten-konten terkait ajaran radikal dalam 155 buku pelajaran agama Islam. Menurutnya, penghapusan konten radikal ini merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag).

           

“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” ujar Fachrul dalam keterangan resminya, Kamis (2/7).

Fachrul menjelaskan, ratusan judul buku yang direvisi berasal dari lima mata pelajaran, yakni Al-Qur’an Hadist, Akidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dan Bahasa Arab. Dalam buku itu, masih terdapat soal Khilafah dan nasionalisme, namun di dalamnya akan memberi penjelasan bahwa Khilafah tak lagi relevan di Indonesia. Adapun buku tersebut akan dipakai pada tahun ajaran baru 2020/2021 ini, dari laman cnnindonesia.com (2/7).

           

Memang sepak terjang Menteri Agama, Fachrul Razi dalam menghapus konten-konten terkait ajaran radikal dalam buku pelajaran bukanlah suatu hal yang baru. Sejak September 2019 lalu, ia sudah nyaring bersuara menangkal radikalisme yang akan digantikan dengan moderasi beragama (beragama yang biasa-biasa saja), dengan mulai merevisi ratusan buku pelajaran agama setelah menemukan pelajaran yang katanya mengandung muatan jihad dan Khilafah, pelajaran yang tak sesuai dengan konteks zaman.

Tak cukup sampai disitu, terbaru Fachrul juga menyatakan program moderasi beragama yang juga telah berjalan adalah Pembangunan rumah moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) serta penguatan bimbingan perkawinan. Dalam sektor bimbingan perkawinan, Fachrul menitikberatkan pada persoalan kesehatan dan moderasi beragama. Ia berharap melalui program ini, kepala keluarga bisa mengajak anggotanya bersifat moderat. Ia juga menyebut, program moderasi beragama lain yang dijalankan pihaknya adalah pelatihan bagi guru dan dosen, penyusunan modul pengarusutamaan Islam wasathiyah dan madrasah ramah anak. Menag mengaku sedang mematangkan ide menggelar lomba ceramah toleransi, menulis cerita pendek tentang toleransi hingga lomba karikatur toleransi dan kerukunan umat beragama.

Ketakutan sekaligus kebencian rezim terhadap Islam dan ajarannya di negeri ini tampak semakin menguat. Ironisnya, hal tersebut bukan muncul dari kalangan non-Muslim, melainkan ditunjukkan oleh Muslim itu sendiri. Jelas, kebijakan pemerintah ini terlihat sebagai upaya mencitraburukkan Islam dengan menyebar aroma kebencian yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan Islam. Sebab jihad dan Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam merupakan suatu kewajiban yang diperintahkan oleh syariat. Tentu, hal ini sangat berbahaya, seperti dapat menyempitkan pemahaman umat terhadap jihad dan Khilafah, mengakibatkan umat yang akan melupakan makna hakiki dari radikal yang sesungguhnya, melahirkan tafsiran yang menyimpang terhadap nash-nash syariah, menjauhkan umat terhadap prinsip agamanya sendiri dan mengancam kemurnian Islam.

Padahal Khilafah pernah menjadi institusi global dan secara empiris pernah mempersatukan 2/3 belahan dunia. Begitupula jihad yang senantiasa membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia, selain kepada Allah SWT. Menempatkannya hanya sekadar catatan sejarah dalam Islam tanpa disertai penjelasan tentang kewajiban jihad fii sabilillah dan kewajiban penegakan Khilafah adalah upaya mereduksi ajaran Islam yang mulia. Hal itu adalah tindakan tercela bahkan kemunkaran nyata yang dilaknat oleh Allah SWT.

Tentang kewajiban jihad, Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskannya di dalam firman-Nya: “Diwajibkan atas kalian berperang sekalipun perang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, paahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui,” (Q.s. al-Baqarah [2] : 216).

Demikian pula, penegakan Khilafah Imam an-Nawawi rahimallah di dalam Syarhu Shahih Muslim menuliskan: “Dan mereka (kaum Muslimin) sepakat bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum Muslimin mengangkat Khalifah dan kewajiban (mengangkat Khalifah ini) ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal,”

Moderasi Islam dikenal sebagai upaya menjadikan Islam yang pertengahan, yakni Islam yang lebih toleran, cinta damai dan  tidak ‘kaku.’ Karakternya, mendukung demokrasi, mengakui HAM, menolak pemberlakuan seluruh hukum Islam dalam kehidupan, menolak untuk mengganti konstitusi dengan hukum Islam dan sebagainya. Islam moderat mempercayai demokrasi sebagai sistem politik terbaik, bahkan terbaik di muka bumi yang sebenarnya sumber dari segala konflik di negeri ini.

Yang sering dijadikan dalil bagi moderasi adalah penyebutan Islam wasathiyah di dalam Al-Qur’an: “Dan demikian itu, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai ‘ummatan wasathan’ (umat pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian,” (Q.s. Al-Baqarah: 143).

Namun, dalam tafsir Imam at-Thabari menjelaskan bahwa‘al-wasthu’ bermakna adil dan juga bisa bermakna pilihan. Sebab, orang yang terpilih di antara mereka (Tafsir at-Thabari, 3/143). Dalam hal ini sifat adil dan terpilih yang Allah SWT berikan kepada umat Islam telah digambarkan sejak Islam menjadi asas berdirinya sebuah negara dan menjadi aturan kehidupan bermasyarakat di Madinah kala itu.

Dalam tafsir Imam at-Thabari lainnya, beliau menjelaskan bahwa: “Demikian pula Kami (Allah) telah membedakan dan mengutamakan kalian (umat Muhammad) dari umat agama lain, menjadikan umat Muhammad sebagai yang terbaik (wasathon).” Maka ‘wasthu,’ menurut Kamus Bahasa Arab adalah Al-khiyar (terbaik) dan Al-hasabu (pilihan). Pilihan di antara kaumnya, yaitu pilihan terbaik, umat terbaik dan sebagai wasith. Demikianlah, tafsir ummatan wasathon yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan moderasi yang sesungguhnya hanya sebatas istilah tidak berdasar.

Sejatinya, apa yang menjadi program rezim melalui Kemenag ini merupakan upaya melahirkan sekularisasi agama demi mengamankan kedudukan mereka dalam balutan sistem politik bobrok Sekularisme-demokrasi, sehingga dunia Islam hanya meyakini Islam sebagai agama ritual semata, tidak untuk mengurus kehidupan apalagi negara. Harapan utamanya, generasi mendatang adalah generasi yang moderat, toleran, anti kekerasan dan senantiasa menjaga persatuan NKRI.  Alhasil, generasi tidak akan pernah siap memerangi penjajah yang masuk dan musuh pun akan dianggap teman, termasuk musuh ‘dalam selimut.’ Ketika generasi semacam ini kelak memimpin sebuah negara, penjajah akan disambut dengan tangan terbuka, ramah, bukan diusir. Miris!

Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW menjadi terpinggirkan dalam seluruh tatanan kehidupan manusia, liberal, sekuler bahkan apatis menyaksikan kerakusan rezim yang silau dengan kekuasaan sehingga rela menjual agama dengan harga murah sekalipun. Celakanya, generasi umat Islam justru turut mendukung hal tersebut. Sungguh, proyek moderasi beragama ini tidak lain adalah upaya memberangus ajaran Islam yang sempurna guna membelokkan pemahaman umat terhadap syariat dan jihad yang menjadi faktor pendorong kekuatan umat Muslim dalam membongkar kebusukan dan cacat cela yang memenuhi wajah rezim anti Islam. Maka, umat harus berpikir sadar akan upaya ini. Jangan sampai syariat (Khilafah dan jihad) Islam dalam pendidikan saat ini dicederai hanya karena kepentingan sepihak (proyek sekularisasi).

Memperkuat Aqidah Umat dengan Tsaqofah Islam

Sesungguhnya ajaran Islam adalah sempurna dan paripurna. Ia bukan sekedar agama, lebih dari itu Islam adalah pandangan hidup yang apabila diterapkan keseluruhan ajarannya. Seperti halnya dalam pendidikan, pendidikan Islam menggunakan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yaitu menghasilkan manusia yang memiliki pola pikir yang Islami sehingga berperilaku sesuai ajaran Islam. Kurikulum disusun agar semua tujuan pendidikan berupa penguasaan tsaqofahIslam dan ilmu-ilmu kehidupan dapat terwujud melalui materi ajar, metode dan sarana pengajaran yang benar.Salah satu materi pengajarannya yang wajib adalah penanaman tsaqofah Islam, baik melalui akidah, fiqh, akhlak, sejarah dan lain sebagainya.

Di samping itu, fungsi pendidikan juga untuk mengokohkan sistem negara yang ada Dengan penyampaian tsaqofah dengan gambarannya yang utuh dapat membentuk pribadi yang utuh pula dalam memahami sistem negara termasuk menjaga keutuhannya. Maka, sungguh sangat tidak masuk akal jika para siswa dijauhkan dari beberapa ajaran Islam termasuk sejarah kehidupan nabi SAW yang mulia dan penuh hikmah, termasuk sejarah perang beliau.

Islam mewajibkan agar negara melayani kebutuhan warga negaranya, termasuk pendidikan dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu merealisasikan seluruh ajaran Islam, bukan malah mereduksi ajaran Islam. Dari sinilah urgensi perjuangan penegakan Khilafah Islam, sebab hanya dalam naungan sistem ini ajaran Islam diterapkan secara Kaffah. Khilafah di waktu dahulu ataupun yang akan tegak nantinya merupakan sistem yang diwajibkan oleh Allah atas kita semua. Sudah saatnya kita bangkit untuk berpikir, bergerak mengambil bagian untuk tegaknya Islam di muka bumi dalam bingkai Khilafah yang mampu membebaskan umat dari problematika di segala penjuru lini kehidupan, baik yang dihadapi oleh individu, masyarakat maupun negarasebagai produk rezim sekularisme-demokrasi sehingga tercapai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “…Setelah itu akan terulang kembali periode Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad). Wallahu a’lam bi shawwab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.