17 Mei 2024


Penulis : Siti Masliha S.Pd (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Dimensi.id-Wabah corona yang terjadi saat ini belumlah berakhir. Susul menyusul daerah terjangkitinya. Dengan kondisi yang sekarang ini, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan New Normal. Artinya rakyat diminta untuk membaur dengan corona. Hal ini justru semakin membuat rakyat semakin sengsara. Pasalnya tidak ada perlindungan sama sekali bagi rakyat dari penguasa.

Selain kondisi di atas penguasa juga tetap ngotot menyelenggarakan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah). Pemerintah beserta jajarannya menggodok peraturan terkait pelaksanaan Pilkada. Di tengah penderitaan rakyat pemerintah justru menyelenggarakan pesta demokrasi.

Partai-partai berlomba-lomba meraih dukungan rakyat untuk memenangkan Pilkada. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh partai berlambang pohon beringin.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menargetkan menang 60 persen di 270 daerah untuk Pilkada 2020. Dia meminta jajaran dan kader Golkar solid. Airlangga menyampaikan itu setelah menghadiri bimbingan teknis pendidikan politik Partai Golkar. Bimbingan teknis ini berupa sosialisasi aturan-aturan pilkada.

“Bimbingan teknis ini tentu sosialisasi dari aturan-aturan pilkada dan kemudian regulasi-regulasi lain terkait internal Partai Golkar, terutama untuk memenangkan 270 daerah yang Partai Golkar bertanding, targetnya 60 persen,” kata Airlangga di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (25/7/2020).

“Dan yang dihadirkan adalah ketua-ketua DPRD dan ketua-ketua fraksi, sehingga di masing-masing daerah Golkar solid untuk memenangkan calon yang sudah diputuskan,” sambungnya. (detiknews.com sabtu, 25/07/2020)

Jika Pilkada ini tetap diselenggarakan di tengah wabah corona maka akan semakin menyengsarakan rakyat. Hal ini dikarenakan:

Pilkada sebagai potensi terjadinya klater baru penyebaran wabah Corona. Pasalnya wabah corona saat ini belum berakhir, bahkan di beberapa daerah penyebarannya masih tinggi. Meski pemerintah menerapkan protokoler kesehatan hal ini tidak menjamin virus corona tidak menyebar. Karena Pilkada moment berkurumunnya banyak orang. Jika pemerintah tetap memaksakan Pilkada dilaksanakan, hal ini akan semakin memperparah penyebaran virus corona. Dan hal ini akan menambah kesengsaraan rakyat.

Jika kita lihat kasus-kasus sebelumnya. Penyebaran corona semakin merajalela misalnya pasar. Namun upaya dari pemerintah belumlah maksimal. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Dari kejadian ini seharusnya pemerintah melakukan evaluasi diri. Jika Pilkada tetap dilaksanakan maka corona akan semakin menyebar. Rakyat semakin sengsara dan memakan banyak korban.

Kondisi rakyat dalam keadaan susah membutuhkan bantuan dari pemerintah, justru dana digunakan untuk pilkada. Sudah menjadi rahasia umum Dana yang digunakan Pilkada membutuhkan dana yang fantastis. Menurut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ada sebanyak 204 pemerintah daerah yang memerlukan tambahan biaya dari APBN. “204 daerah sudah komunikasi, total yang memerlukan tambahan APBN yaitu Rp 1,02 triliun,” kata Tito dalam rapat dengan Komisi II, Kamis (11/6/2020). Rincian Rp 1,02 triliun itu adalah untuk KPUD Rp 908,44 miliar, Bawaslu daerah Rp 76,36 miliar, pengamanan Rp 35,78 miliar. (Liputan6.com 11/06/2020)

Hari rakyat berjibaku dengan wabah corona yang mematikan. Perekonomian rakyat sedang ambruk. Rakyat kehilangan pekerjaan, PHK, biaya pendidikan daring yang membutuhkan fasilitas yang besar. Namun hal ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka sibuk melanggengakan kekuasaan dengan diselenggarakan Pilkada.

Masih segar dalam ingatan kita seorang ibu di Jombang Jawa Timur. Ibu tersebut rela menjual kambingnya untuk membelikan anaknya HP agar tetap bisa sekolah. Dia dan suaminya adalah seorang buruh harian. (Kompas.com kamis 23/07/2020). Selain itu ada juga seorang bapak yang rela mencuri laptop agar anaknya tetap besa bersekolah. Meski cara yang dilakukan oleh bapak ini salah. (Radarlampung Rabu, 22/07/2020).

Inilah fakta yang terjadi di masyarakat, mereka berjibaku menyambung kehidupan dengan segala keterbatasan. Namun pemerintah tutup mata dan telinga terhadap masalah ini. Perintah sibuk memikirkan Pilkada yang agar bisa tetap duduk di kursi kekuasaan. Padahal pendidikan adalah hal yang penting untuk masa depan bangsa ini. Bagaimana nasib bangsa kedepan jika generasi hari ini tertinggal pendidikan?? Permasalahan rakyat sudah depan mata harus menjadi hal yang diprioritaskan untuk diselesaikan. Rakyat butuh riayah atau pengurusan secara real bukan untuk melanggengakan kekuasaan.

Inilah wajah demokrasi yang sesungguhnya. Teori demokrasi dari, untuk dan oleh rakyat hanyalah ilusi saja. Demokrasi sejatinya melanggengkan penguasa dan pengusaha. Suara rakyat hanya dimanfaatkan saja. Wabah corona membuat rakyat semakin sengsara. Namun faktanya ketika rakyat membutuhkan penguasa, mereka lupa akan janji-janjinya. Penguasa telah menodai demokrasi yang sesungguhnya. Sejatinya rakyat adalah “penguasa” yang sesungguhnya yang harus diurusnya. Namun faktanya setelah Pilkada rakyat ditinggalkan begitu saja.

Inilah wajah demokrasi sesungguhnya. Bak kacang lupa kulitnya. Penguasa mencampakkan rakyat begitu saja, ketika rakyat butuh uluran tangan dari mereka. Sampai disini jelas Pilkada tidak akan merubah nasib rakyat. Dari Pilkada ke Pilkada tidak ada perubahan nasib rakyat yang berarti. Hari ini rakyat butuh perubahan revolusioner dan bukan sekedar perubahan parsial. Perubahan revolusioner tidak akan terjadi pada sistem demokrasi. Perubahan ini hanya bisa terjadi pada sistem buatan ilahi. Sistem Islam yang akan melindungi.

Dalam pandangan Islam kekuasaan adalah untuk mengurus rakyat baik dalam maupun luar negeri. Dalam sistem Islam tidak ada pemilihan kepala daerah. Kepemimpinan dalam Islam bersifat terpusat. Kepala daerah dipilih langsung oleh Khalifah sebagai kepala negara. Khalifah bertanggung jawab untuk mengontrolnya. Khalifah mengangkat Wali yang akan ditempatkan di beberapa daerah untuk membantu tugasnya.

Wali adalah amir atau pemimpin di suatu wilayah. Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali, Khalifah juga harus senantiasa melakukan pengawasan secara ketat terhadap para wali. Pengontrolan ini bisa dilakukan oleh Khalifah itu sendiri atau Khalifah menunjuk orang yang akan mewakilinya. Dalam mengambil setiap kebijakan Khalifah senantiasa menyampaikan kepada Wali, hal ini dimaksudkan agar kebijakan tersebut sampai pada daerah yang menjadi tanggung jawab Wali.

Khalifah juga harus senantiasa mengontrol urusan para Wali dan memonitor urusan-urusan mereka. Sebagaimana Khalifah juga wajib mengumpulkan para Wali untuk mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Bin Khaththab sangat ketat mengontrol para Wali. Beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk menyelidiki kondisi para Wali dan mengaudit mereka. Umar mengumpulkan para Wali di musim haji untuk melihat apa yang mereka lakukan, beliau juga mendengarkan apa yang menjadi keluhan-keluhan rakyat, mengingatkan mereka tentang tentang urusan kepemimpinan, dan menyampaikan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Umar.

Jelas terjadi perbedaan yang mencolok Pemilihan Kepala Daerah dalam sistem demokrasi dengan sistem Islam. Dalam Islam siapa saja boleh menjadi Kepala Daerah asal dia mampu dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Sebagai Kepala Daerah harus berdasarkan Al quran dan Sunnah. Selain itu pemilihan Kepala Daerah tidak membutuhkan modal yang besar. 

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.