18 Mei 2024

Penulis : Reni Rosmawati, Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi AMK

Dimensi.id-“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383)

Di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, terjadi lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia.  Meskipun pemerintah sudah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 dan menetapkan penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan hanya bisa dimohonkan dispensasi ke pengadilan. Faktanya, regulasi ini belum menekan praktik pernikahan dini di Indonesia.

Sebagaimana dilansir oleh laman Jawa pos.com (26/7/2020), Pengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah, mencatat terdapat 240 permohonan dispensasi nikah.

Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara Taskiyaturobihah mengatakan dari 240 permohonan dispensasi nikah tersebut 50% di antaranya karena hamil duluan. Sedangkan selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah.

Banyaknya permohonan dispensasi nikah tidak hanya terjadi di Pengadilan Agama Jepara, melainkan hampir menyeluruh di seluruh Indonesia. Jawa Barat menjadi salah satu provinsi penyumbang angka pernikahan di bawah umur tertinggi berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020.

Menurut Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Susilowati Suparto, M.H., peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga. (Kompas.com, 8/7/2020)

Selain itu, menurut Susilowati kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar di rumah juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. Ia menuturkan, aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar. Ini terjadi bila pengawasan orangtua terhadap anaknya sangat lemah. Sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan melonjaknya angka dispensasi meningkat di masa pandemi.

Hal senada disampaikan Dosen FH Unpad lainnya, Dr. Sonny Dewi Judiasih, M.H.CN. Ia menjelaskan, praktik perkawinan di bawah umur rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga miskin serta tingkat pendidikan yang rendah.

Sejumlah faktor yang memengaruhi praktik pernikahan dini ini di antaranya adanya faktor geografis, terjadinya insiden hamil di luar nikah, pengaruh kuat dari adat istiadat dan agama, hingga minimnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi.

Semestinya, kata Sonny, pengadilan jangan mempermudah izin dispensasi kawin. Fakta di lapangan, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim. Hal ini menjadikan Indonesia kerap bertahan di jajaran negara dengan angka pernikahan dini tertinggi di dunia.

Hakim sepatutnya mempertimbangkan alasan yang menjadi dasar permohonan dispensasi, saran Sonny. Ia menjelaskan, pertimbangan mengadili permohonan dispensasi kawin harus mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019. Apakah alasan tersebut merupakan alasan yang mendesak atau dapat ditunda, serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. pungkasnya

Tingginya angka remaja yang mengajukan dispensasi nikah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, fenomena ini meningkat seiring dengan adanya kebijakan sekolah daring. Berkurangnya pengawasan dari sekolah serta terbatasnya peran orangtua dalam mengawasi anak mengakibatkan anak memiliki keleluasaan dalam bergaul. Sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi nikah dini meningkat. Ironisnya, selain hamil di luar nikah, anak pun terancam putus sekolah.

Data ratusan remaja mengajukan dispensasi nikah di berbagai daerah menegaskan problem yang lahir dari kebijakan dispensasi nikah ini: pertama dijalankan bersamaan dengan pendewasaan usia perkawinan dengan harapan menurunkan angka pernikahan dini. Dan kedua, menjadi jalan keluar untuk memaklumi fenomena seks bebas di kalangan remaja.

Dalam kasus perkawinan anak, Indonesia menjadi negara tertinggi ketujuh di Asia Tenggara menurut data United Nations Children’s Fund (UNICEF). Karena itu, untuk mencegah perkawinan anak ini, sebagian kalangan melakukan berbagai cara, salah satunya melakukan kampanye anti pernikahan dini.

Jika kita menilik dengan seksama, kampanye anti pernikahan dini, sebenarnya sudah sejak lama digaungkan oleh penguasa negeri ini didukung oleh kelompok liberal. Hal ini sejalan dengan agenda global PBB bahwa hak anak harus dijaga. Semua anggota PBB termasuk Indonesia telah menyepakati sebuah konveksi hak anak salah satunya menyukseskan penegakan hukum dalam negeri yang melarang pernikahan anak. Dalam konveksi ini, anak didefinisikan setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun. Jadi menikah di usia 16 tahun termasuk pernikahan anak atau pernikahan dini yang harus dilarang.

Merespon agenda global PBB ini, UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan di negeri ini terus direvisi oleh DPR. Melalui rapat paripurna pada 16 September 2019 lalu, DPR menyetujui revisi batas usia pernikahan anak. Dimana pada peraturan Sebelum revisi perempuan boleh nikah setelah berusia 16 tahun sedangkan laki-laki setelah 19 tahun. Kini, baik perempuan maupun laki-laki boleh menikah setelah 19 tahun.

Berbagai alasan diungkapkan untuk menyukseskan kampanye anti pernikahan dini ini. Di antaranya karena melanggar hak anak, dianggap mendiskriminasi perempuan dan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Pernikahan dini juga dianggap menghasilkan keluarga yang tidak harmonis. Karena tidak adanya kesiapan mental bahkan dianggap pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Padahal hal yang sama juga bisa terjadi pada pernikahan di usia dewasa. Problemnya bukanlah di usia pernikahan.

Tidak bisa dinafikan, anak adalah aset bangsa dan mesti dijaga. Namun ironisnya, propaganda pencegahan pernikahan dini dan perkawinan anak atas nama perlindungan anak yang digembar gemborkan penguasa dan kalangan liberal seringkali tidak sinkron dengan realitas yang ada. Lihat saja ketika kampanye anti pernikahan dini dilakukan begitu masif dan sistematis, pada saat yang sama pemerintah membuka keran pergaulan bebas selebar-lebarnya. Artinya, ketika anak-anak terjebak pergaulan bebas, kemudian mereka dilarang untuk menikah, tentu mereka bisa melakukan penyimpangan-penyimpangan seperti perzinaan, aborsi, kekerasan seksual hingga bisa berujung pembunuhan.

Semua kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem kapitalis-sekuler yang mengusung paham liberal. Sistem ini telah rusak dan cacat sedari lahir, sehingga ketika diterapkan berpotensi menimbulkan kerusakan dan kehancuran. Watak pemimpin dalam sistem kapitalisme sama sekali tidak memiliki kapasitas dalam mengurusi atau meriayah rakyatnya. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan penguasa tidak ada satu pun yang berorientasi pada penyelamatan generasi. Sistem pendidikan dan pergaulan makin dijauhkan dari aturan-aturan agama, sementara aturan menyangkut informasi dan media massa seperti televisi dan internet yang justru menjadi jalan mulus bagi proses introduksi produk-produk pornografi dan pornoaksi yang merusak alam pikir dan perilaku anak diberikan kelonggaran.

Sistem ekonomi berbasis neoliberal kapitalistik yang diterapkan pun telah sukses memproduksi kemiskinan dan gap sosial yang sangat lebar. Yang memaksa orangtua menghabiskan waktunya untuk bekerja, sehingga waktu interaksi dan pendampingan proses tumbuh kembang anak berkurang.

Di lain sisi, sistem hukum yang diterapkan juga sama sekali tak berorientasi pencegahan apalagi berdampak penjeraan bagi para pelaku kejahatan. Terlebih, definisi kejahatan dalam sistem hukum sekuler yang diadopsi pemerintah ini tak mencakup di dalamnya perilaku seks bebas dan maksiat lainnya. Itulah mengapa potret generasi penerus hari ini nampak sangat buram.

Jika ini terus berlangsung dan negeri ini membenarkan kampanye global anti pernikahan dini, sebenarnya pada saat yang sama, dengan tanpa sadar negeri ini juga mengatakan bahwa hukum Allah tidak relevan dengan zaman, tidak bisa diterapkan lagi dan mengajak menjauhi hukum agama. Karena itu, larangan nikah dini dan dispensasi nikah bukanlah solusi yang dibutuhkan oleh anak. Akan tetapi bangsa ini membutuhkan pemberlakuan sistem ijtima’i (sistem pergaulan Islam) dan sistem pendidikan Islam. Agar generasi siap memasuki gerbang keluarga dan mencegah seks bebas remaja. Sistem ini tentu hanya akan terwujud dalam institusi Islam yakni Daulah Khilafah Islamiyyah.

Khilafah telah menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya rujukan dalam menerapkan hukum. Demikian halnya dengan pernikahan. Menurut kacamata Islam pernikahan di usia dini tidak menjadi masalah selama laki-laki dan perempuan tersebut sudah baligh dan mampu  untuk menikah serta seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi juga tidak ada pelanggaran hukum syara di dalamnya. Sebab, usia bukanlah problem, tetapi bagaimana orangtua, lingkungan dan negara mampu menyiapkan dan mendukung agar pernikahan tersebut dapat berjalan sesuai dengan  ketentuan syariat. Inilah yang akan menjadi konsentrasi khilafah.

Rasulullah saw. bersabda:

“Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”(HR. Al-Bukhari)

Sistem pendidikan khilafah yang berbasis akidah, akan menyiapkan kurikulum sekolah sejak dini sampai masa baligh maksimal 15 tahun. Dimana mereka telah siap dengan beban syariat termasuk siap menanggung amanah-amanah besar menjadi orangtua dengan berbagai tanggung jawabnya. Hingga menjadi anak-anak umat yang memiliki visi menyebarkan risalah agung (Islam). Selanjutnya, tidak bisa dipungkiri bahwa merajalelanya pergaulan bebas, adalah faktor yang menyebabkan pernikahan dini. Maka khilafah akan berkonsentrasi menyetop pergaulan bebas ini bukan menyetop pernikahan dini yang semua madzhab membolehkan pernikahan pada usia tersebut.

Khilafah akan memberlakukan sistem pergaulan Islam di tengah-tengah masyarakat. Negara akan berkonsentrasi mencetak orangtua yang mampu mendidik anak-anaknya dan mencegahnya bergaul bebas. Termasuk menciptakan masyarakat yang memiliki kepedulian; melalui pembiasaan amar makruf nahi mungkar, untuk menciptakan generasi unggul dan mencegah perbuatan maksiat.

Negara khilafah juga menciptakan media yang bersih dari konten-konten merusak akidah dan merusak akhlak masyarakat. Seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, termasuk konten pornografi dan pornoaksi.

Negara akan menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat. Hukum ini pasti membuat pelaku jera, sebab, sistem sanksi Islam bersifat zawajir (pencegah) berarti dalam mencegah manusia dari tindakan kejahatan. Dan jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Pelanggan berupa zina akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah menikah. Dicambuk dan diasingkan bagi pelaku yang belum menikah. Pembuat dan penyebar konten-konten porno, akan diberikan sanksi ta’jir yang jenisnya ditentukan oleh khalifah.

Negara khilafah pun akan memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyat, berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan kepada setiap individu tanpa terkecuali. Dengan demikian maka tidak ada lagi orang tua yang menikahkan anaknya dengan dalih alasan ekonomi.

Demikianlah betapa kompleksnya Islam dalam memberikan aturan dan menyelesaikan masalah kehidupan. Kegemilangan Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan tak terbantahkan lagi. Bahkan sejarah mencatat hampir 14 abad lamanya Islam mampu menjadi mercusuar dunia serta melahirkan generasi cemerlang. Yang demikian karena Islam mengatur segalanya sesuai dengan tuntunan syara. Termasuk dalam hal pergaulan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada aturan Islam secara totalitas. Agar generasi penerus bangsa kita menjadi generasi yang berkualitas dan memiliki kepribadian Islam. Sehingga masalah pergaulan bebas yang selama ini melekat pada remaja dapat terselesaikan dengan tuntas.

Dengan menerapkan sistem Islam, maka ketahanan keluarga, ketahan ekonomi, maupun kesiapan menikah dan menjadi orangtua akan terbentuk.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.