7 Mei 2024

Penulis : Tri S, S.Si (Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Dimensi.id-“Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaat haji. Keputusan ini saya sampaikan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaat Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 1441 Hijriah atau 2020 Masehi,” kata Menteri Agama Fachrul Razi dalam konferensi pers pada Selasa (2/6/2020). (Tirto.id 02/06)

Alasan yang dikemukakan Kemenag perihal pembatalan keberangkatan jemaah haji adalah karena otoritas Arab Saudi hingga saat ini belum juga memutuskan apakah akan membuka kembali ibadah haji untuk negara lain.

Selain faktor kebijakan Arab Saudi yang menjadi alasan dibatalkannya pemberangkatan jemaah, ada faktor internal yang juga menjadi alasan kuat, yaitu ketidaksiapan Kemenag dalam menyelenggarakan pemberangkatan haji di situasi pandemi. Waktunya mepet, sedangkan pada 26 Juni jemaah haji Indonesia dijadwalkan mulai berangkat.

Dalam situasi pandemi, jemaah haji harus menjalani masa karantina 14 hari sebelum berangkat dan 14 hari sesampainya di Saudi. Jemaah pun harus menyiapkan sertifikat sehat. Ditambah biaya yang keluar akan semakin besar lantaran operasional mengikuti protokol kesehatan. Seperti kapasitas pesawat yang biasanya satu pesawat menampung 150 orang, kini hanya boleh menampung 100 orang.

Hal demikian menyebabkan biaya operasional meninggi. Karena alasan-alasan itulah Kemenag akhirnya memutuskan pemberangkatan haji tahun 2020 dibatalkan. Adapun alasan ketidaksiapan Kemendag direspons ormas Islam terbesar di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama). Menurut PBNU, seharusnya pemerintah sudah memiliki perencanaan dalam pelaksanaan haji dalam situasi apa pun, termasuk situasi pandemi.

Menurut Said Aqil selaku Ketua Umum PBNU, pelaksanaan haji adalah agenda tahunan bangsa ini bukan hal yang baru. Pemerintah harusnya sudah pintar dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada. (detiknews.com 03/06)

Begitu pun Muhammad Fauzi, anggota Komisi VIII DPR merasa kecewa terhadap keputusan Kemenag yang tidak berkoordinasi dengan DPR. Fauzi mengatakan bahwa banyak anggota Komisi VIII DPR yang kecewa dengan keputusan pembatalan haji 2020, yang tidak dikoordinasikan dengan DPR. Padahal sesuai ketentuan UU, seharusnya setiap keputusan terkait haji dibicarakan dengan DPR. (republika.co.id 03/06/2020)

Kritikan pun datang dari kalangan ulama. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menilai pembatalan haji ini mengakibatkan daftar tunggu kita semakin lama. Padahal, jika Kemenag tidak terburu-buru mengambil keputusan dan menunggu keputusan otoritas Arab Saudi itu jauh lebih baik. Walaupun kuota dikurangi, tetap harus direspons, misal dengan memberangkatkan jemaah yang masih muda. Namun sungguh sayang, suara ulama, suara ormas, dan DPR tak menjadi pertimbangan Kemenag.

Lantas Kemenag memutuskan hal demikian berdasarkan pertimbangan apa? Benarkah semata untuk keselamatan nyawa? Atau untuk perkuat rupiah? Keputusan pembatalan keberangkatan haji oleh Kemenag yang terkesan terburu-buru memunculkan banyak dugaan, ada apa di balik itu semua? Sebab, jika alasannya adalah untuk menghindari penularan Covid-19, tentu hal demikian tak sesuai dengan kebijakan “new normal” yang akan diberlakukan.

Bandara, mal, pasar, dan sejumlah tempat yang berpotensi menjadi kerumunan, sudah diaktifkan asal menjalankan protokol kesehatan. Sementara pemberangkatan haji malah batal dengan alasan keamanan nyawa.

Seharusnya, jika ingin konsisten terhadap arah kebijakan, maka pemerintah tidak usah takut dengan pemberangkatan haji. Selain itu, pihak Saudi pun belum memutuskan apakah dibuka atau ditutup. Seharusnya keputusan jemaah berangkat atau tidak, diputuskan setelah otoritas Saudi memberikan keputusan.

Dari analisis di atas, ditambah kondisi keuangan Indonesia yang morat-marit. Semua anggaran dipangkas untuk menanggulangi pandemi dan rupiah pun melemah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Wajar akhirnya masyarakat menjadi tidak percaya bahwa keputusan batal pemberangkatan semata karena pandemi.

Semakin menimbulkan tanda tanya besar, sebelum keputusan pembatalan pada tanggal 2 juni 2020 oleh Kemenag, pada 26 Mei nya BPKH (Badan Pengelolaan Keuangan8 Haji) ternyata diundang oleh Bank Indonesia. Ada kepentingan apa mereka bertemu? Mengapa setelah pertemuan Bank Indonesia dengan BPKH akhirnya Kemenag memutuskan untuk membatalkan keberangkatan?

Kepala BPKH, Anggito Abimanyu mengatakan, saat ini BPKH memiliki simpanan dalam bentuk dolar Amerika Serikat sebanyak US$600 juta atau setara Rp8,7 triliun kurs Rp14.500 per dolar AS. Dengan begitu, dana itu akan dimanfaatkan untuk membantu Bank Indonesia dalam penguatan kurs rupiah. (vivanews.com 02/06/2020)

Belakangan, pihak BPKH dan BI sendiri telah menyangkal perihal penggunaan dana haji tahun ini dipakai untuk perkuat rupiah. Walaupun Anggito Abimanyu mengatakan dalam wawancaranya bersama Babe Haikal, bahwa penukaran dana haji valuta asing menjadi rupiah sangat bisa menolong memperkuat rupiah.

Padahal, masih banyak cara untuk menguatkan rupiah yaitu salah satunya dengan stop impor. Karena besarnya impor yang membutuhkan banyak Dolar sebagai alat pembayaran berdampak pada pelemahan rupiah. Kenapa dana haji dipakai sedangkan impor masih tinggi?

Anggito sebelumnya juga menyampaikan, total dana haji yang dikelola BPKH saat ini telah mencapai Rp135 triliun. Sebagian besar dana itu digunakan untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena sebagian besar dana itu diinvestasikan dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). (vivanews.com 02/06/2020)

Sebenarnya pemerintah tidak berhak menggunakan dana tersebut untuk kepentingan investasi nasional dalam bentuk surat berharga. Karena itu artinya pemerintah sedang memakai dana ibadah untuk utang yang berbasis ribawi. Karena kita tahu bersama walaupun SBSN adalah surat berharga yang berlabelkan syariah. Namun tetap saja masih mengandung riba, haram untuk dilakukan.

Bukan kali pertama dana haji menjadi polemik. Jumlahnya yang besar telah menggiurkan berbagai pihak untuk memanfaatkannya. Sebelumnya, tahun 2017 di awal pembentukan BPKH Jokowi menyampaikan harapan agar dana haji bisa dioptimalkan untuk infrastruktur seperti jalan tol atau pelabuhan.

Begitu pun sudah banyak pejabat negara yang masuk jeruji lantaran kasus penggelapan dana haji seperti Suryadarma Ali, Menteri agama era SBY. Tak ada rasa empati pada calon jemaah yang berusaha keras mengumpulkan uang untuk bisa beribadah haji.

Tagar #balikindanahaji yang trending di Twitter, sebenarnya bukan hanya menggambarkan kekecewaan mereka terhadap keputusan pembatalan keberangkatan haji semata. Karena jika memang benar pemerintah mengeluarkan keputusan semata untuk keselamatan umat, dalam hal ini keselamatan nyawa jemaah haji, tentu hal demikian akan didukung masyarakat.

Namun sungguh sayang, kontroversi pengelolaan dana haji sudah sangat cukup menggambarkan pada masyarakat bahwa pemerintah hanya melihat unsur ekonominya saja dari pelaksanaan haji. Opsi pembatalan pemberangkatan haji demi menguatkan rupiah sangatlah niscaya dilakukan rezim yang tak berhati nurani. Padahal, esensi dari berhaji adalah ibadah seorang hamba pada penciptanya. Alih-alih mendorong umat untuk melaksanakan ibadah, yang ada malah dihambat dan dimanfaatkan.

Diakui atau tidak faktanya negara ini mirip negara sekuler, yaitu negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan bernegara. Terjadinya dikotomi mana wilayah yang harus diurusi oleh agama dan mana yang harus diurusi negara, itulah hakikat sekularisme, memisahkan urusan agama dan kehidupan.

Ciri-ciri sekuler lainnya adalah jika ada ajaran agama yang mengusik kepentingan penguasa, seperti ajaran Khilafah, maka akan dikriminalisasi. Padahal sudah jelas dalam syariat bahwa sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan yang harusnya diadopsi negeri muslim. Namun rezim demokrasi yang korup tidak menghendakinya, karena sistem Khilafah dengan mekanismenya akan membuang rezim bodoh dan korup.

Lain dengan ajaran Islam yang berbau-bau materi. Seperti Zakat dan dana haji, pemerintah sampai membuat lembaga yang konsen dalam mengurusi dana tersebut. apalagi kalo bukan tebang pilih dalam menjalankan ajaran Islam. Yang bermanfaat materi diambil, yang membahayakan kekuasaan dibuang.

Misalnya saja menyamakan pajak dengan zakat, padahal menurut ajaran Islam pajak pada rakyat jelata haram sedangkan zakat hukumnya sunah. Menyamakannya sungguh mengada-ada. Begitu pun riba, walaupun telah jelas keharamannya, akan tetapi masih saja negara ini ditopang utang berbasis riba.

Sekularisme yang bertemu dengan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan materi di atas segala-galanya. “Mata duitan” mungkin istilah ini yang cocok untuk menggambarkan setiap kebijakan yang diberlakukan. Dana haji diutak-atik karena bermaslahat untuk memperkuat rupiah, namun ulama yang mengajarkan Islam dikriminalisasi, sungguh ironi.

Maka dari itu, semrawutyna permasalahan terkait dana haji, semata karena negeri ini yang berasaskan sekuler kapitalisme. Asas inilah yang memosisikan kepentingan ekonomi lebih diprioritaskan daripada penyelenggaraan ibadah.

Sepanjang 14 abad sejarah peradaban Islam, sudah 40 kali pelaksanaan ibadah haji ditunda karena alasan wabah, perang hingga konflik politik. Untuk pertama kalinya ibadah haji ditutup pada 930 M saat ada pemberontakan kelompok Qarmatiah terhadap Kekhilafahan Abasiyah.

Penundaan haji karena wabah juga pernah terjadi pada 1831 ketika wabah cacar dari India yang membunuh 75 persen jemaah haji di Makkah. Wabah kembali melanda Makkah tahun 1837 sehingga ibadah haji 1837-1840 ditiadakan. (dikutip dari kitab Al Bidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir)

Jika Arab Saudi kali ini memutuskan untuk menutup Makkah karena wabah, ini bukanlah yang pertama dan jumhur ulama membolehkannya. Namun yang menjadi polemik pembatalan haji justru bukan pada keputusan pemerintahnya, akan tetapi paradigma penguasa yang hanya menjadikan haji sebagai komoditas ekonomilah yang patut dikoreksi.

Haji adalah sebuah kewajiban seorang hamba, maka bentuk pengaturan negara terhadap penyelenggaraan Haji semata untuk memfasilitasi seseorang untuk beribadah. Bukan untuk bisnis apalagi menjadi ajang perburuan rente penguasa.

Maka dari itu pengelolaannya pun didasarkan pada asas bahwa pemerintah adalah pelayan yang mengurusi tuannya, bukan pedagang yang sedang berjual beli dengan pelanggannya. Tabiat seorang pelayan akan melayani tuannya dengan maksimal, agar nyaman dalam beribadah. Berbeda dengan tabiat pedagang yang selalu mencari untung dari pelanggannya.

Misalnya saja pada masa Utsmaniah, Khalifah Abdul Hamid II, saat itu Khilafah membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Pembuatan sarana transportasi tentu bukan bersumber dari dana jemaah, melainkan dana dari pos pemasukan negara yaitu fa’i, pengelolaan kepemilikan umum, dan sedekah.

Begitu pun di masa Abbasiah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Sekali lagi, Khalifah ar-Rasyid membangun jalur haji semata untuk kemaslahatan dan mempermudah jemaah haji, bukan mencari keuntungan.

Selain sarana dan prasarana yang sangat diperhatikan pemerintah dalam rangka mengoptimalkan ibadah haji, pemerintah pun harus memperhatikan pengaturan kuota haji dan umrah. Sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah.

Pengaturan kuota bisa berdasarkan dalil bahwa kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Khilafah akan memprioritaskan jemaah yang belum pernah pergi ke Makkah.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah di hadapan kami dan berkata, “Allah telah mewajibkan haji pada kalian.” Lantas Al Aqro’ bin Habis, ia berkata, “Apakah haji tersebut wajib setiap tahun?” Beliau berkata, “Seandainya iya, maka akan kukatakan wajib (setiap tahun). Namun haji cuma wajib sekali. Siapa yang lebih dari sekali, maka itu hanyalah haji yang sunah.” Dikeluarkan oleh yang lima selain Imam Tirmidzi. (HR Abu Daud no. 1721, Ibnu Majah no. 2886, An Nasai no. 2621, Ahmad 5: 331. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Selanjutnya kuota pun bisa berdasarkan hadis bahwa kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Sehingga yang belum mampu tidak usah mendaftar karena belum terkena taklif hukum. Pengaturan seperti ini akan meminimalisasi potensi antrean yang panjang.

Adapun panjangnya antrean naik haji saat ini diakibatkan oleh adanya dana talangan haji. Sehingga orang yang belum terkategori wajib berhaji sudah mendapatkan antrean. Seperti masa tunggu di provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi selatan yang harus menunggu 30 tahun. Artinya jika daftar tahun 2020 maka jemaah akan berangkat di tahun 2050.

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali ‘Imran: 97).

Oleh karena itu, polemik pembatalan keberangkatan haji di negara ini berasal dari asasnya yang sekuler dalam tata kelolanya. Sehingga, penyelenggaraan haji hanya dilihat dari aspek ekonomi bukan pelayanan penguasa dalam memfasilitasi warganya dalam beribadah. Maka sangatlah mungkin dana haji sebesar 8,7 triliun dianggap lebih bermanfaat untuk menguatkan nilai rupiah daripada memberangkatkan jemaah dalam kondisi saat ini.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.