7 Mei 2024

Penulis : Fitri Hidayah Siregar

           

Dimensi.id-Dua terdakwa penyiram air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, dituntut hukuman satu tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dengan pidana selama 1 tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan,” kata JPU yang membacakan tuntutan Rahmat, dalam sidang yang digelar di PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020) dilansir dari Kompas.com.

           

Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel karena menggunakan cairan asam sulfat atau H2SO4 untuk menyiram penyidik senior KPK itu. Sedangkan, Rony yang juga dituntut hukuman satu tahun penjara dianggap terlibat dalam penganiayaan karena ia membantu Rahmat dalam melakukan aksinya. Atas perbuatannya itu, Rahmat dan Rony dinilai telah melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu. JPU menilai kedua terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Alasannya, cairan yang disiram Rahmat tidak disengaja mengenai mata Novel. Padahal, menutur JPU, cairan itu awalnya diarahkan ke badan Novel.

           

“Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi,” tambah Jaksa.

           

Dalam surat tuntutan disebutkan motif kedua terdakwa adalah tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). “Seperti kacang lupa pada kulitnya, karena Novel ditugaskan di KPK padahal dibesarkan di institusi Polri, sok hebat, terkenal dan kenal hukum sehingga menimbulkan niat terdakwa untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan cara membuat Novel luka berat,” ungkap jaksa.

           

Dilansir dari CNN Indonesia Tim Advokasi Novel Baswedan menilai dua tersangka kasus penyiraman air keras terhadap kliennya tidak cukup dikenakan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan. Tim Advokasi ingin polisi menyertakan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana, guna mengungkap pihak lain dalam kasus ini.

           

Anggota Tim Advokasi, Asfinawati menyebut meski belum ada tersangka lain, pelaku penyiraman terhadap Novel adalah anggota Polri aktif yang terikat sistem komando.


“Karakter lembaga kepolisian yang memiliki sistem komando dan pangkat tersangka yang rendah menunjukkan tindakannya bukan individual karena Novel dalam mengungkap kasus korupsi terbatas pada kewenangan KPK yaitu penegak hukum, penyelenggara negara, atau di atas Rp1 miliar,” ujar Asfinawati kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/12).

           

Pasal 55 KUHP mengatur pihak-pihak yang bisa dipidana sebagai pelaku tindak pidana yakni mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

           

Sementara Pasal 55 KUHP ayat (2) menyebut untuk penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Lebih lanjut, Asfin meminta penyidik tidak memandang kasus Novel sebagai kejahatan bermotif dendam pribadi. Polisi diminta menempatkan kasus ini dalam konteks Novel sebagai penyidik KPK.

           

Penyidik, kata Asfin, seharusnya tak hanya bersandar pada keterangan pelaku. Ia khawatir jika bersandar pada keterangan pelaku, dapat mengaburkan kasus yang sesungguhnya dan memutus rantai pemufakatan jahat.

           

Sangat memprihatinkan memang, melihat bobroknya penegakan hukum di Indonesia pada saat ini. Tuntutan 1 tahun penjara bagi penyerang Novel sangatlah mencederai rasa keadilan masyarakat, dan semakin jelaslah dengan tuntutan tersebut telah menunjukkan kerusakan hukum di Indonesia, dengan menyatakan bahwa cairan yang disiram Rahmat tidak disengaja mengenai mata Novel, yang awalnya JPU menuturkan diarahkan ke badan Novel. Sungguh pengakuan yang sangat tidak bisa diterima akal sehat karena logikanya bila sudah dipersiapkan untuk berbuat kejahatan dengan sedemikian rupa, seharusnya tidak adalagi istilah “tidak sengaja” di dalam persidangan.

           

Bukankah membawa Air Keras itu sudah ada unsur perencanaan yang matang dari sudut penalaran hukum? Bukankah unsur kesengajaan sangat terang sekali? Mengapa peran jaksa penuntut umum terkesan membela para terdakwa? Persidangan kasus ini juga menunjukkan seolah – olah hukum digunakan bukan untuk keadilan tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman “alakadarnya.”

           

Inilah bukti rusaknya hukum sekuler Demokrasi siapa yang berada di pihaknya ia bela siapa yang bayar ia yang dianggap benar. Beda jauh dengan hukum Islam yang tak bisa di lobi – lobi atau pakai cara kompromi, karena standar benar salah sudah baku dari Al-Quran dan Sunnah.

       

  Pernah dimasa Rasulullah SAW. Ada wanita dari suku makzumiyah (suku para tokoh terhormat) yang mencuri dimana harus dikenai had potong tangan, akhirnya tokoh-tokoh geger dan minta Usamah bin Zaid agar melobi rasul untuk mengganti hukuman potong tangan. Dengan itu Usamah pun melobi rasul. “Apakah tidak ada hukum pengganti selain potong tangan?”

Apa jawaban Rasul? “Apakah kamu mau menjadi pembela perkara yang melanggar batas-batas hukum Allah?” Beliau kemudian naik ke atas mimbar dan di hadapan masyarakat yang hadir dengan tegas Rasul mengingatkan, “Sesungguhnya hancur binasa bangsa-bangsa sebelum kamu disebabkan bila yang mencuri datang dari kalangan kaum elit, mereka biarkan tanpa diambil tindakan apapun, tetapi bila yang mencuri datang dari orang-orang lemah, segera mereka ambil tindakan. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri akan aku potong tangannya.” (HR. Muttafaqun Alaih ).

           

Begitu pula dengan hukuman bagi pelaku penganiayaan, di dalam Islam secara jelas tertera didalam Al-Quran . Di mana penganiayaan ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja untuk melukai atau mencederai orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 45 yang artinya :

           

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasanya nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka – luka pun ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

           

Berdasarkan dalil hukum yang tertera dalam ayat Al-Quran tersebut dapat dipahami bahwa pidana pembunuhan parsial dalam pengertian hanya melukai atau mencederai (penganiayaan )maka sanksi terhadap pelakunya ialah qisas yang sebanding dengan perbuatannya.

           

Inilah hukum Islam, jika tegak akan memberikan keadilan bagi semesta, kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat yang cara mewujudkannya hanyalah dengan terus berjuang menegakkan kembali kepemimpinan Islam (Khilafah Islam) yang kepemimpinannya adalah di atas landasan tauhid dan keagungan syariah Allah SWT yang  mendatangkan rahmat bagi umat manusia.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.