10 Mei 2024

Dimensi.id-Ada angin segar bagi para narapidana yang selama ini mendekam di jeruji besi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengeluarkan dan membebaskan 30.432 narapidana dan Anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus corona. Data tersebut dirilis per Sabtu (4/4) pukul 14.00 WIB.

Kementerian yang dipimpin oleh Yasonna H. Laoly itu tengah menggalakkan program asimilasi dan integrasi guna mengantisipasi penularan virus corona (Covid-19) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang melebihi kapasitas. Uniknya lagi, dengan pembebasan ini pihak pemerintah bisa menghemat anggaran yang selama ini diperuntukkan bagi para napi yang mencapai angka miliaran.

Dan yang sempat membuat geger ketika napi koruptor masuk dalam daftar yang akan dibebaskan. Isu ini santer dan menjadi perhatian pejabat publik. Akhirnya Pak Jokowi pun menampiknya dengan mengatakan bahwa Napi Korupsi tidak akan dibebaskan.

Namun, melihat hal ini Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pernyataan Presiden Joko Widodo yang menegaskan tidak ada narapidana korupsi yang dibebaskan terkait upaya penanggulangan Covid-19 tidak berarti apa-apa. Pasalnya revisi UU Pemasyarakatan (RUU PAS) memperingan syarat bagi napi korupsi memperoleh asimilasi, remisi, dan pembebasan bersyarat. Dengan golnya revisi perundang-undangan ini napi korupsi kelak bisa meminta remisi dan lain sebagainya yang meringankan hukuman. (

Adanya revisi yang berulang-ulang dari pihak pemerintah terhadap kasus korupsi ini menunjukkan kelemahan dan tiadanya keseriusan pemerintah atasi masalah kejahatan, termasuk korupsi. Tindakan kejahatan luar biasa ini ternyata ‘diistimewakan’ melebihi kejahatan atau kriminalitas lainnya. Kita bisa lihat dari tarik ulur kasus yang beredar dan hukuman tahanan yang ‘berbeda’ sehingga menuai pertanyaan banyak pihak. Padahal jelas, korupsi adalah sebuah kejahatan yang merugikan negara, memakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.

Tak hanya sampai disitu, siapa sangka pembebasan Napi besar-besaran ini ternyata menambah masalah kembali. Salah seorang napi yang baru dilepas atas keputusan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly kembali beraksi mencuri sepeda motor. Pelaku berinisial MS (32) ini adalah warga Kelurahan Pangarangan, Kecamatan/Kabupaten Sumenep, Madura. 

Tak ayal, ia mendapat bogem mentah bertubi-tubi oleh massa. Kapolsek Wlingi, Komisaris Purdianto membenarkan kejadian ini. Kini pelaku kembali mendekam dibalik jeruji besi Mapolsek Wlingi. Ternyata pembebasan ini tidak sepenuhnya membuat napi semakin jera, justru semakin berulah.  (sumber : Koranmx.com)

Pembebasan napi di tengah kondisi ekonomi yang sulit memang akan memicu terjadi kriminalitas lebih banyak lagi. Sistem ekonomi kapitalisme telah menciptakan jurang pemisah yang jauh antara miskin dan kaya, yang membuat angka kemiskinan semakin meningkat seiring kekayaan yang dikuasai segelintir orang.

Napi yang bebas dan tidak punya pekerjaan, demi ‘memenuhi perut lapar’ pasti berujung pada kriminal, di tengah pemikiran sekuler yang tertancap dalam benak masyarakat. Wacana pemerintah penuhi kebutuhan para napi miskin pun masih dipertanyakan, sedangkan urusan perut adalah perkara untuk melangsungkan kehidupan. Bagaimana jika Islam yang dijadikan solusi untuk permasalahan ini?

Dalam Al Qur’an surah Al Isra’ ayat 9, Allah ta’ala berfirman yang artinya :

“Sungguh Al Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebaikan, bahwa mereka akan mendapatkan pahala yang besar”. Kita harus yakin bahwa ketika permasalahan dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah maka itulah jalan terbaik, jalan yang paling lurus dan diberkahi oleh Allah.

Islam sebagai sebuah pandangan hidup atau the way of life telah mengatur bahwa kejahatan (jarimah) itu sendiri didefinisikan oleh Islam sebagai perbuatan-perbuatan tercela (al-qabih), yakni apa-apa yang dicela oleh Allah SWT.

Syariat Islam menjelaskan bahwa bagi para pelanggar hukum syara’ berupa kejahatan akan dikenai sanksi di akhirat dan di dunia. Allah SWT yang menjatuhkan sanksi di akhirat bagi si pelanggar dan Allah pula yang akan mengazabnya kelak di Hari Kiamat.

Karena itu, kejahatan bukanlah sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula “profesi” yang diusahakan oleh manusia. Juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Ini adalah tindakan melanggar peraturan yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Rabb-nya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia yang lain. Dan para pelaku kejahatan harus diberi sanksi.

Namun, sebelum berbicara sanksi tentu kita harus pahami upaya preventif yang dilakukan oleh negara dalam Islam. Bahwa negara dalam Islam adalah pelaksana hukum syariat yang kaffah, jadi juga menerapkan sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah. Sistem ekonomi Islam menjadikan negara bertanggung jawab memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhannya. Negara harus mencegah masyarakat berbuat maksiat atau zhalim dengan alasan perut lapar. Negara menumbuhkan nuansa keimanan di tengah masyarakat untuk taat pada Allah, takut pada siksa-Nya, dan saling peduli dengan saudaranya.

Kemudian ketika kejahatan tetap terjadi maka dalam Islam dipersiapkan sistem sanksi (‘uqubat). Ini disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Sanksi di dunia dilaksanakan oleh imam (Khalifah) atau orang yang mewakilinya. Yaitu diselenggarakan oleh negara dengan cara menegakkan hudud Allah. Dan ‘uqubat (sanksi) dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).

Keberadaan ‘uqubat sebagai zawajir, mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindak kejahatan/pelanggaran. Dan keberadaan ‘uqubat sebagai jawabir, karena ‘uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang Muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan di dunia.

Perbuatan-perbuatan yang dikenai sanksi adalah tindakan meninggalkan kewajiban (fardhu), mengerjakan perbuatan yang haram, serta menentang perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh negara. Selain tiga hal ini, perbuatan lainnya tidak dikenai sanksi.

Di antara contoh perbuatan yang dapat mengandung sanksi dari Allah adalah perintah untuk menjaga harta dari pencurian. Di satu sisi, syariat telah memerintahkan kaum muslim untuk menjaga hartanya. Di sisi lain, untuk melaksanakan perintah tersebut, Allah mensyariatkan hukum potong tangan untuk pencuri, sebagaimana dalam QS Al-Maidah [5] ayat 38:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Sungguh demikian sempurnanya sistem dalam Islam. Konsepnya sangat tepat dan cermat menangani tindak kejahatan/kriminalitas. Dengan keimanan yang dimilikinya, kaum Muslimin yang melakukan kejahatan justru akan menyadari kesalahannya hingga bertobat, dan bersedia dikenai sanksi atas pelanggaran hukum syariat oleh dirinya tersebut. Wallahu’alam bish shawab.[ia]

Penulis : Fani Ratu Rahmani (Aktivis Dakwah dan Pendidik Homeschooling Balikpapan)

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.