18 Mei 2024

Pada tanggal 1-2 November akhir tahun lalu, para pemimpin dari hampir 200 negara dunia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB); Conference of the Parties ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia. COP sendiri merupakan badan pembuat keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yang ditandatangani pertama kali pada 1992. Forum tingkat tinggi ini diadakan untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara dunia mengatasinya.

Dalam kesepakatan tahun 1997, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengembangkan proposal carbon credit untuk mengurangi emisi karbon di seluruh dunia atau yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Namun, Protokol Kyoto gagal lantaran sulitnya menarik negara-negara dengan buangan emisi besar untuk bergabung, seperti Cina, Amerika Serikat dan Rusia. Pada tahun 2015, COP21 menghasilkan Paris Agreement yang menyepakati penurunan pemanasan global agar tidak melebihi 20C dan berupaya menekan hingga 1.50C. Masing-masing negara menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bentuk komitmen nasional mereka mengatasi persoalan iklim dan mengurangi emisi gas. Namun, realisasi Paris Agreement masih menggantung dengan banyaknya excuse atau pun ketidakpatuhan negara-negara penghasil emisi. Pasca 5 tahun berlangsung -sebagai rentang waktu pelaksanaan kesepakatan-, COP26 menjadi pertemuan pertama guna mengevaluasi implementasi Paris Agreement setelah 2020 tertunda akibat pandemi COVID-19.

Akankah COP26 dengan Pakta Glasgow-nya berhasil mengatasi krisis iklim? Benarkah ini menjadi upaya mereka menyelamatkan bumi?

 

Pakta Glasgow: Legitimasi Nafsu korporasi

Pakta Glasgow yang ditetapkan pada COP26 merupakan kesepakatan menindaklanjuti sekaligus mengevaluasi implementasi Paris Agreement dengan fokus pembahasan diantaranya tentang peralihan penggunaan sumber energi terbarukan, penghentian pemakaian sumber energi fosil, mengakhiri deforestasi dengan bantuan keuangan, penetapan aturan untuk pasar karbon global, mobilisasi dana untuk negara-negara berkembang dari negara-negara maju guna mitigasi dan adaptasi dampak emisi, memastikan komitmen setiap negara untuk mencapai target nol emisi (net zero emission) di 2050 dan pengurangan karbon secara progresif di 2030.

COP26 menjadi ‘pertaruhan’ bagi keberlangsungan peradaban manusia di bumi, sebab perubahan iklim telah beralih menjadi darurat global yang mengancam banyak jiwa dalam tiga dekade terakhir. Mencairnya es, banjir bandang, suhu dingin dan panas ekstrim maupun kekeringan hingga mengakibatkn kebakaran di berbagai wilayah bukanlah fenomena biasa. Laporan terbaru IPCC menjelaskan bahwa suhu bumi saat ini sudah berada di 1,18 0C, semakin mendekati konsentrasi 1,5 0C (ambang batas kenaikan suhu bumi untuk mencegah dampak yang lebih ekstrim). Dan setiap perubahan 1 derajad dari suhu bumi global akan memberikan percepatan siklus air dan iklim ekstrim sebesar 7%, sebagaimana penjelasan Wakil Ketua Kelompok Kerja 1 IPCC, Edvin Aldrian dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2021, Selasa (14/9/2021).

Peringatan keras di laporan IPCC yang menjadi kode merah untuk benar-benar diperhatikan adalah terkait dampak kerugian yang amat sangat besar kita alami jika tidak serius menekan peningkatan suhu bumi. Tak hanya banyaknya titik yang akan terendam air laut, namun juga masifnya bencana ekstrim yang memakan korban, kerusakan parah hasil pembangunan serta ancaman wabah penyakit akibat bangkitnya virus dan bakteri yang sudah terkubur lama di lapisan es selama puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun, akibat lapisan es mencair.

Oleh karenanya, COP26 yang digelar kemarin merupakan deadline bagi dunia menetapkan aksi nyata mengatasi laju kenaikan suhu bumi guna mencegah kerusakan yang lebih parah. Akan tetapi, kita tidak melihat komitmen kuat negara penghasil emisi menghentikan nafsu serakah korporasinya. Didetik terakhir pengambilan keputusan, disepakati revisi satu kata dari kata menghapuskan bahan bakar fosil menjadi hanya mengurangi penggunaannya secara bertahap. Mereka juga belum mengakhiri subsidi bahan bakar fosil yang dianggap pendorong utama perubahan iklim serta masih menunda pembahasan fasilitas pendanaan baru yang diperuntukkan bagi negara-negara rentan untuk mengatasi kerugian dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim.

Kita juga tidak mendapati solusi progresif di dalamnya selain berkutat pada implementasi pasar karbon dan realisasi kompensasi $100 miliar per tahun dari negara maju. Seolah persoalan selesai dengan mekanisme tersebut, padahal sumber masalahnya masih tetap ada, yaitu aksi para korporasi untuk tetap memproduksi emisi gas rumah kaca. Laporan IPCC menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca terjadi seiring adanya aktivitas industri sejak diciptakan beberapa dekade lalu. Dan hari ini suhu bumi meningkat lebih cepat dalam satu dekade (2011-2020) dibandingkan era pra revolusi industri (1850-1900). Artinya, belum pernah didapati kenaikan temperatur secepat ini sebelumnya dan hal tersebut terjadi sejak munculnya aktivitas industri di era Kapitalisme.

Berdasarkan data Climate Watch, penggunaan energi merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca, yaitu menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi pada 2017 lalu. Dan dari penggunaan energi tersebut, sektor industri adalah penyumbang emisi terbesar (29%), sebagaimana data dari International Energy Agency (IEA) / Johannesburg Renewable Energy Coalition (JREC). Ada 100 perusahaan yang dianggap bertanggung jawab atas sumbangan 71 persen emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di tingkat global sejak 1988, menurut sebuah laporan 2017 oleh Carbon Disclosure Project (CDP). Sebanyak 25 di antaranya adalah korporasi milik negara maupun swasta yang menyumbang lebih dari 50 persen emisi GRK industri global. CDP mengatakan skala emisi perusahaan ini berkontribusi secara signifikan pada perubahan iklim. Lima diantaranya adalah ExxonMobil Corp (sumbangan emisi secara global: 1,98%), National Iranian Oil Co (2,28 %), Gazprom OAO (3,91 %), Saudi Arabian Oil Company (Aramco) (4,50 %), dan Cina (Batu bara) (14,32%).

Mengapa hal ini bisa terjadi? Aktivitas korporasi global dengan watak rakus kapitalis yang menghalalkan berbagai cara menyebabkan eksplorasi tanpa batas pada sumber daya alam dan aktivitas produksi yang tak terkendali. Walhasil, kemampuan natural alam menjaga keseimbangan pun berkurang. Dr. Simon Lewis, ahli ekologi dari Universitas Leeds Inggris mengatakan setiap tahun ada 38 miliar ton karbondioksida yang dihasilkan manusia. Sebanyak 28 miliar ton berasal dari pembakaran bahan bakar kendaraan, pabrik-pabrik dan sumber minyak fosil lainnya. Sisanya 10.8 miliar ton berasal dari efek pencemaran lingkungan seperti penebangan hutan sembarangan. Dari jumlah karbon dioksida yang dihasilkan itu (38 miliar ton/tahun) hanya 40 persen yang bisa diserap hutan dan pohon-pohon. Yakni diserap oleh hutan-hutan tropis di wilayah selatan bumi sebesar 8,8 miliar ton per tahun dan 6 miliar ton dari penanaman kembali hutan-hutan dan pohon di seluruh dunia. Apabila jumlah hutan semakin sedikit  semakin sedikit pula karbon dioksida yang terserap, walhasil konsentrasi gas yang tidak terserap pun semakin banyak di atmosfer.

Inilah realitas dunia kita hari ini disaat Kapitalisme dengan korporasinya mengendalikan. Kemashlahatan hidup manusia disertai keseimbangan alam tidak akan pernah diutamakan kecuali dominasi keserakahan para korporasi semata. Segala upaya penyelamatan hanya sekedar kedok menutup bobroknya watak asli Kapitalisme.

 

Kontribusi Indonesia Dalam Bingkai Kapitalis

Pasca pelaksanaan COP26, sejumlah hasil yang disepakati menjadi pekerjaan rumah untuk ditindaklanjuti semua negara, tak terkecuali Indonesia. Indonesia siap berkomitmen  mengimplementasikan kegiatan mitigasi dan adaptasi guna memenuhi target penurunan emisi. Padahal apa yang dilakukan Indonesia, layaknya petugas pencuci piring belaka. Dalam dokumen (NDC) nya, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebanyak 29% dari kondisi business-as-usual pada tahun 2030 dengan sumber daya nasional dan hingga 41% jika mendapatkan dukungan dan kerja sama internasional. Hal ini menjadi bagian dari perencanaan pembangunan nasional 2020-2024 serta salah satu agenda prioritas nasional.

Staf Ahli Menteri LHK bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanthi menyampaikan bahwa, aksi pengendalian perubahan iklim baik upaya mitigasi maupun adaptasi perlu didukung oleh banyak instrumen, dan pendanaan adalah salah satunya. Selama kurun waktu 2015-2020, untuk mencapai target NDC, APBN menganggarkan 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim atau sebesar 3.461 Triliun Rupiah. Dari 2020 hingga 2030, estimasi biaya mencapai 3.779 Triliun Rupiah. Masih ada gap pembiayaan 40%, setelah digabungkan kekuatan pendanaan dari pemerintah 27% dan swasta 33%.

Menghadapi tantangan yang ada, pemerintah terus mengembangkan kebijakan inovatif. Tiga diantaranya adalah: Climate Change Fiscal Framework (CCFC), carbon pricing, dan Pooling Fund Bencana (PFB). CCFC merupakan kerangka menformulasikan climate change dalam kebijakan fiskal. Termasuk bagaimana merumuskan carbon pricing atau yang dikenal dengan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). NEK merupakan pemberian harga atas karbon dan saat ini Indonesia tengah membangun mekanismenya. Sebelumnya, Indonesia telah mengenalkan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Objek pajak meliputi barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang mengemisi karbon dengan harga 30 rupiah per kilogram karbon. Subjek pajaknya adalah individu dan perusahaan. Penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pemulihan ekonomi serta kesiapan sektor. Penerapan pajak karbon akan dimulai dari sektor PLTU batu bara dan akan semakin memperkuat pasar karbon yang sudah mulai berjalan. Sedangkan PFB merupakan skema mengumpulkan, mengakumulasi dan menyalurkan dana khusus bencana (Indonesia ranking 12 dari 35 negara rawan bencana) yang dikelola satu pintu dengan dana lingkungan hidup oleh BPDLH (Badan Pengelola Dana Linkungan Hidup) melalui mekanisme asuransi.

Apabila kita cermati, pembatasan fokus penyelesaian masalah iklim hanya pada tindakan mitigasi dan adaptasi, merupakan pengalihan isu sekaligus menciptakan solusi palsu. Sebab, dengan menjauhkan pembahasan iklim dari akar masalah hanya membiarkan sumber masalah tetap eksis beserta masalahnya dan melahirkan rumusan solusi yang tidak solutif. Sekaligus penipuan publik dan pembentukan mental-mental kapitalis di masyarakat (asal ada kompensasi materi dari perusahaan, seolah persoalan selesai). Pantas saja aktivis lingkungan menyebutnya sebagai greenwashing dan upaya ‘lari’ para korporasi penyumbang karbon dari aksi penurunan emisi secara serius dan cepat. Penerapan mekanisme pasar dan perizinan pengelolaan hutan maupun lahan dianggap sama dengan perampasan tanah dan hutan secara sistemik dengan kedok hijau dan pemulihan iklim. Belum lagi, ditambah adanya upaya mengambil untung dari ‘bisnis hijau’ oleh para penguasa yang sekaligus pengusaha serta pemberian beban ke masyarakat dengan pemberlakuan pajak karbon atas nama penyelamatan bumi. Jelas, pola pikir menyelesaikan masalah ala kapitalis ini adalah pola pikir batil dan harus disadari kekeliruannya agar kita tidak terjebak didalamnya, adaptif hingga akhirnya menjadi bagian yang mengadopsi pola pikirnya. Na’udzu billahi min dzalik.

Berikutnya, jika kita cek fakta atas pernyatan Presiden di COP26 bahwa Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi dalam 20 tahun terakhir. Tentu pernyataan tersebut tak berdasar. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare per tahun pada periode 2009-2013, menjadi 1,47 juta hektare pertahun periode 2013-2017. Bahkan kedepan akan semakin meningkat dikarenakan masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan hutan, khususnya di wilayah Indonesia timur, ditambah regulasi yang semakin mempermudah pembukaan hutan. Jika pun ada penurunan, maka hal itu terjadi karena hutannya sudah habis (Jawa dan Sumatra).

Terkait penggunaan batu bara, Presiden menyatakan Indonesia akan segera menyetop pemakaiannya dan beralih ke energi terbarukan. Namun, hal tersebut menjadi omong kosong belaka setelah Presiden mencabut larangan ekspor batu bara baru-baru ini. Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara menegaskan bahwa pemanfaatan energi batubara berada dalam pusaran banyak kepentingan. Pencabutan larangan ekspor tersebut justru menunjukkan sikap kurang serius pemerintah dalam penanganan krisis iklim sekaligus mencederai target penghentian penggunaan batu bara Indonesia di tahun 2040 dengan energi bersih dan terbarukan.

Berikutnya, komitmen rehabilitasi hutan mangrove atau hutan bakau seluas 600 ribu hektar sampai 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memandang skeptis atas realisasinya. Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana menilai target Presiden RI itu sangat berlebihan bila merujuk pada kondisi di lapangan. Wahyu menjelaskan, salah satu kebijakan yang menunjukkan tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam rehabilitasi mangrove yaitu dengan adanya Pasal 35 omnibus law UU Cipta Kerja. Salah satu ketentuan dalam pasal tersebut, yaitu dihapusnya batas minimum 30 persen kawasan hutan. Di sisi lain, lanjut Wahyu, penegakan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan oleh korporasi juga turut dilemahkan.

Berdasarkan catatan Walhi, sedikitnya 62% lahan hutan sudah dikonsesi untuk korporasi besar. Padahal korporasi itu mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan. Selain itu ketidakseriusan pemerintah menurutnya terlihat dari pengurangan wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Ditambah lagi adanya anggapan bahwa sawit bukan penyebab deforestasi sehingga dirubah menjadi tanaman kehutananan. Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi mengkritisi hal tersebut, Zenzi menyebut sejumlah perusahaan sawit terus berupaya melegalisasi kejahatan kehutanan melalui para akademisi. Menurutnya, orang buta sekalipun pasti menyatakan bahwa sawit penyebab deforestasi. Walhasil, penguasa tidak sungguh-sungguh bekerja menyelamatkan rakyat dan lingkungan, sebaliknya justru berpihak pada korporasi.

 

Islam, Solusi Hakiki

Manakala Kapitalisme sekuler terbukti gagal memenuhi kemashlahatan manusia, hal mendasar yang musti dipegang ialah Syari’at Islam sebagai petunjuk hidup manusia dan penyelesai atas segala sesuatu, termasuk dalam perkara iklim. Pemanasan global dengan kerusakan alam tidak akan terjadi bila sejak awal manusia mengembalikan aturan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) pada Syari’at Allah. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik serta ekonomi global Islam. Yaitu sistem yang bersandar kepada aturan Sang Pencipta Yang Maha Tahu.  Dalam surah Al-Baqarah ayat  255 Allah SWT berfirman :

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar”.

Didalam sistem kehidupan Islam, SDA energi merupakan kepemilikan umum. Umatlah pemilik sesungguhnya dari SDA energi, sementara negara hanya sebagai pengelola saja. Karena merupakan kepemilikan umum, maka diharamkan bagi swasta untuk menguasainya, karena itu berarti menghalangi umat mendapatkan haknya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)

Dalam hal ini, negara hanya menarik biaya dari masyarakat sebesar biaya produksi, transportasi, dan litbang dari produk energi yang dihasilkan. Namun, negara boleh-boleh saja mengambil keuntungan dari harga produk energinya, dengan catatan tidak memberatkan dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat dalam bentuk lain. Kedaulatan dan ketahanan energi merupakan kewajiban dalam Islam. Ketiadaan kedaulatan energi, yang di antaranya disebabkan penguasaan asing terhadap SDA energi, akan sangat mengancam kedaulatan negara. Hal ini jelas-jelas terlarang dalam Islam. Allah Swt. berfirman: “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS An Nisa’: 141)

Kedaulatan energi ada ditangan Daulah dengan cara mengamankan seluruh SDA energi beserta mata rantai industrinya dari cengkeraman swasta. Daulah Islam mengelola sendiri SDA energi dan mata rantai industrinya, asing sama sekali tidak memiliki posisi tawar untuk menekan Khilafah. Pemilihan SDA energi yang memiliki kelimpahan tinggi dan penggunaan sedikit akan menjamin ketahanan energi negara, mencegah asing menekan Khilafah dengan isu krisis energi. Resource depletion dikurangi dengan mengembalikan perspektif keinginan dan kebutuhan pada perspektif Islam. Pemborosan terjadi karena kapitalisme tidak membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Desentralisasi ekonomi dapat mengurangi kepadatan penduduk di kota metropolitan yang berkontribusi dalam pemborosan energi. Demikian pula daulah juga mencegah penggunaan SDA energi yang jumlahnya melimpah tapi konsumsinya sedikit sebagai tulang punggung energi masyarakat, melainkan hanya memenuhi kebutuhan industri besar.

Mengatasi climate change dengan menghentikan pembakaran energi fosil dan menggantinya dengan energi bersih juga akan diambil alih oleh daulah bukan diserahkan swasta, dan tanpa ada motif alteria untuk mencari keuntungan dengan pajak karbon, produk energi baru terbarukan yang semuanya membebani kehidupan umat. Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya.  CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.

Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minyak, gas, batubara).  Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskan dan semakin banyak pula CO2 yang akan dibuangnya.  Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2.  Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara.  Secara teknologi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working, dsb).

Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi pemanasan global.

Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, swasta maupun negara.  Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit!  Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit!  Di level bawah, para aktivis dakwah perlu mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”.

Diantara langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi deforestasi dan krisis iklim, yakni memperhatikan laju alih fungsi lahan hutan. Fungsi pengelolaan, pemanfaatan produktivitas lahan, dan konservasi hutan harus berjalan beriringan. Berikutnya, tidak menyerahkan lahan hutan yang sejatinya sumber daya alam milik publik, kepada swasta yang hanya fokus pada profit. Dari sisi dunia kepakaran, penting untuk menjaga idealisme intelektual/pakar/pejabat kehutanan agar tidak mudah tergiur cuan yang nantinya menumbalkan potensi kehutanan sehingga terprivatisasi oleh swasta. Di samping itu, hendaklah penguasa memfasilitasi riset untuk penjagaan plasma nutfah menuju pelestarian keanekaragaman hayati, tidak menyerahkan pendanaan riset kepada swasta/asing. Wallahu a’lam biah-showab.

 

Penulis: Yuyun Pamungkasari

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.