1 Mei 2024

Penulis : Ammy Amelia (Member Akademi Menulis Kreatif)

Dimensi.id-Skenario New Normal yang baru-baru ini dirancang oleh pemerintah, seolah menjadi episode indah dalam pandangan tabu masyarakat. Namun nyatanya, banyak pihak yang mengkritik wacana tersebut karena dirasa terlalu dini untuk diperbincangkan.

Dewan pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dr. Hermawan Saputra, mengkritik pemerintah dalam menjalankan persiapan kehidupan New Normal. Menurutnya, membicarakan New Normal lebih tepat dilakukan sekitar minggu ketiga/empat Juni nanti ataupun awal Juli. Karena saat ini temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. Adapun New Normal adalah sesuatu yang akan dihadapi dan harus diikuti dengan banyak pra syaratnya. Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Kedua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakat sudah lebih mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastuktur pendukung untuk New Normal. Nyatanya, keempat syarat tersebut belum terjadi di Indonesia. Karena itu, kehidupan New Normal dianggap kebijakan yang tergesa-gesa dan terkesan memaksakan. (Merdeka.com, 25/05/2020).

Akibat gencarnya perbincangan New Normal, masyarakat kini seolah bersikap permisif terhadap penyebaran virus Covid-19. Padahal faktanya, kurva positif virus ini belum melandai bahkan masih menunjukkan kenaikan yang signifikan. Walaupun relaksasi PSBB belum resmi diputuskan, namun banyak fasilitas umum yang saat ini kembali ramai dikunjungi masyarakat. Tingkat mobilitas masyarakat di luar rumah semakin nampak terlihat. Hal ini jelas menarik perhatian para ahli yang menyayangkan akan hal tersebut. Ketergesaan relaksasi justru bisa jadi menihilkan upaya dan strategi pencegahan yang sebelumnya telah dikerjakan.

Dilansir dari pikiranrakyat.com (29/05/2020), juru bicara pemerintah untuk penanganan virus Covid-19 di Indonesia, Achmad Yurianto, menyampaikan adanya peningkatan jumlah kasus pasien positif Covid-19 mencapai 678 orang, sehingga total kasus menjadi 6.492 orang. Sedangkan untuk kasus dengan kematian bertambah 24 orang, sehingga total 1.520 pasien meninggal dunia. Menilik dari data dengan ribuan korban terdampak penyebaran virus Covid-19, rasanya terlalu gegabah jika pemerintah menyatakan untuk memulai rencana kehidupan New Normal.

Seyogyanya pemerintah melakukan transparansi data terkait jumlah kasus positif virus Covid-19, agar pengambilan kebijakan dapat disesuaikan dengan fakta yang bisa dipertanggung jawabkan. Analisa yang sesuai dengan kaidah sains juga menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan solusi untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.

Upaya menormalkan kondisi ekonomi seharusnya berbanding lurus dengan upaya penanganan wabah dari aspek kesehatan. Bukan malah menjadi bumerang yang mengancam eksistensi generasi. New normal yang diharapkan sebagai solusi, nyatanya justru menciptakan kondisi New abnormal atau lahirnya bencana baru.

New Normal bukan sebatas melepas masyarakat ditengah ancaman wabah tanpa diiringi protokol kesehatan yang dipersiapkan secara matang. Masyarakat yang digiring untuk berdamai dengan virus Covid-19, tak elak bagaikan korban gambling yang saat ini tengah siap dimainkan oleh pemerintah.

New Normal menunjukkan betapa abainya peran negara terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat demi meraih nilai materi. Kebijakan yang diambil atas landasan pemisahan agama dari kehidupan ini telah menggerus nilai luhur kemanusiaan. Padahal dalam Islam, hak hidup (haqqul hayat) atau hifdzun nafs (perlindungan jiwa) merupakan kebutuhan paling mendasar (dlaruriyat), yang ada di peringkat teratas menyusul hifdzuddin.

Pentingnya hak hidup (hifzdun nafs), karena di dalam ruh yang ditiupkan dalam jiwa setiap manusia merupakan ‘ruh Allah’ yang Maha Suci. Seperti yang tertulis dalam firman Allah Swt. yang artinya:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruh-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. Al Hijr, 15:29).

Dari al Barra bin Azib ra., Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Hilangngnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455 dan dishahihkan al Albani)

Dari dalil di atas dapat kita lihat, betapa Islam memandang bahwa nyawa adalah sesuatu yang berharga. Di sisi Allah Swt. hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya daripada hilangnya dunia.

Penjagaan paripurna yang ada dalam Islam hanya bisa terealisasi dengan adanya institusi yang menerapkan seluruh hukum Islam. Dan satu-satunya institusi yang mampu menjadi perisai bagi rakyat adalah institusi Khilafah ala minhaj Nubuwah.

Wallahu’alam bishawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.