2 Mei 2024

Penulis : Ratna Mustika Pertiwi, S.Pt

Dimensi.id-Beberapa waktu lalu publik dikagetkan dengan pembahasan RUU baru dikursi DPR yakni RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Ideologi Pancasila). Hal ini mendapat berbagai respon kontra dari masyarakat, pasalnya pembahasan RUU ini dinilai tidak tepat karena masyarakat sedang dikhawatirkan dengan pandemi covid-19 yang semakin menjadi-jadi di Indonesia. Sebut saja situs Worldometers (22/6/2020) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi peringkat pertama pasien covid-19 terbanyak se Asia Tenggara. Sedangkan sebuah media Australia Sydney Morning Herald (19/6/2020) mengkritisi bahwa pemerintah Indonesia kurang tegas dalam menangani virus corona sehingga sulit meredam tingkat infeksi yang berkembang cepat.

Tetapi pada faktanya ditengah kepiluan masyarakat menghadapi virus covid-19, RUU HIP ini menjadi RUU nomor 25 prioritas dalam Prolegnas DPR-RI. Apabila ditelisik lebih dalam, usulan RUU HIP sudah mulai dibahas DPR-RI dalam Rapat Baleg tanggal 11-12 Februari 2020 yang dihadiri para pakar dan dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Baleg DPR-RI Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka.

Tujuan dirancang RUU HIP ini sebenarnya juga sulit dicerna oleh masyarakat, pasalnya Rieke Diah Pitaloka selaku Ketua Rapat pembahasan RUU HIP selalu enggan menjawab ketika ditanya apa tujuan sebenarnya RUU HIP oleh para wartawan. Ia malah melemparkan soal ini ke Ahmad Basarah, kader PDIP yang ditunjuk sebagai juru bicara partai khusus RUU ini (Tirto.id 24/6/2020).

Di dalam Naskah Akademik RUU HIP, dijelaskan bahwa RUU HIP dibuat “sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.” (Hal. 59).

Bila membaca lebih jauh draft asli RUU HIP, latar belakang dibuatnya RUU ini adalah untuk membentuk manusia yang Pancasilais, maksudnya menjadikan manusia berkarakter Pancasila yang memiliki semangat cinta tanah air, mencintai budaya Indonesia, memiliki jiwa patriotik  serta hidup dengan kebiasaan gotong-royong. Prof. Jimly Assidique yang juga menyambut positif adanya RUU HIP ini mengatakan, bahwa generasi hari ini khususnya para millenial seperti kehilangan arah kehidupannya, sehingga muncul sikap individualisme, radikalisme, kosmopolitanisme serta ketidakpedulian terhadap keadaan orang lain. Dari latar belakang inilah diharapkan RUU HIP dapat membumikan nilai-nilai Pancasila dalam sektor pembangunan maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam Catatan Hasil Rapat RUU HIP disebutkan ada lima fraksi yang menyetujui RUU tersebut, antara lain FPDIP, FGolkar,FGerindra, FNasdem, FPKB. Sedangkan Fraksi Partai Demokrat memilih untuk menarik keikutsertaan dalam Panja (Panitia Kerja) karena dianggap pembahasan RUU ini kurang pas dengan kondisi masyarakat yang sedang melawan pandemi infeksi virus covid-19. Fraksi PKS, PAN dan PPP meminta untuk RUU tersebut direvisi dan mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis dan Larangan untuk menyebarkan Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme.

Lebih dari itu, PKS juga meminta mencabut Pasal 6 ayat 2 terkait dengan Ekasila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan yang berkebudayaan) dicabut karena hari ini Ekasila sudah disempurnakan menjadi Pancasila yang dulu diambil dari Piagam Jakarta.

Kegaduhan demi kegaduhan dimasyarakat terhadap RUU HIP terus datang dari berbagai kalangan. Gelombang aksi massa tidak bisa dibendung, ditengah pandemi covid-19 massa berbondong-bondong datang untuk mengikuti Aksi “Cabut dan Batalkan RUU HIP Dari Prolegnas” yang diselenggarakan oleh PA 212 dan berbagai Aliansi didepan gedung DPR-RI (Merdeka.com 24/6/2020).

RUU HIP : RUU Multitafsir Sebagai Upaya Membangunkan Komunisme dan Alat Gebuk Oposisi?

PKI adalah sekelompok orang-orang yang meninggalkan bekas luka pada bangsa Indonesia didalam sejarah. Bagaimana tidak, paham komunisme yang mereka emban begitu ekstrim, sehingga oposisi dari kalangan ulama dan santri banyak terbunuh mengenaskan. Sebut saja secarik tinta sejarah yang menggambarkan Peristiwa Kanigoro, dimana para santri dan ulama dihujani peluru berantai saat sholat, sehingga rumah Allah itu berceceran darah. Al-Quran dirobek berkeping-keping serta sepatu lusuh manusia komunis itu menginjak-nginjak masjid tanpa adanya rasa bersalah.

Atau mengingat kembali luka yang tertinggal di Lubang Buaya saat Para Jendral disiksa luar biasa, kaki, kepada dan badan mereka dipukul dengan senjata laras panjang. Entah masih hidup atau mati dengan lumuran darah dibadan, mereka diseret tanpa rasa kemanusiaan dan dilempar ke dalam sumur sedalam 12 meter itu lalu dihujani tembakan untuk memastikan mereka mati.

Peristiwa ini adalah salah satu contoh sekelumit kekejaman PKI yang sangat dikhawatirkan ditengah-tengah masyarakat.Wajar saja apabila terjadi gelombang penolakan RUU HIP dari berbagai kalangan, karena terindikasi ingin memberikan ruang kebebasan terhadap paham komunis ketika TAP MPRS No. 25 Tahun 1996 tidak dicantumkan dan malah pasal-pasal yang tidak ada kaitannya dengan Pancasila dijadikan sebagai sandaran.

Bila menelisik lagi, pemerasan Pancasila menjadi Ekasila terindikasi untuk semakin menjauhkan peran agama dari kehidupan. Pasalnya disebutkan di Pasal 7 RUU HIP bahwa ciri pokok Pancasila adalah Trisila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan yang berkebudayaan. Padahal sejak lama mereka meneriakkan Pancasila sudah final dan harga mati, tetapi dengan adanya RUU HIP ini membuktikan bahwa makna Pancasila dapat diotak-atik oleh pemegang kekuasaan.

Diksi-diksi yang aneh dan multi tafsir yang tertera di draft RUU HIP tentunya memunculkan berbagai kritik. Sebut saja Wibisono seorang tokoh Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara mempertanyakan diksi “Tuhan” dalam RUU HIP, “Siapa yang dimaksud Tuhan dalam RUU ini?” Ucapnya (Gatra.com 3/6/2020). Diksi-diksi ini bisa menjadi ambiguitas, dapat ditafsirkan oleh Penguasa, mengingat Presiden adalah pemegang kekuasaan pembinaan Haluan Ideologi Pancasila (Pasal 44).

Refli Harun juga berkomentar bahwa RUU HIP ini tidaklah penting ditengah kegentingan menghadapi wabah covid-19. Ia mengkhawatirkan dengan adanya reduksi makna Pancasila sesuai versi penguasa, para koruptor bisa berlindung dibalik RUU ini dan sekaligus bisa menjadi alat untuk menggebuk oposisi yang mengkritisi pemerintah (Dara.co.id 7/6/2020).

Selaras dengan adanya hujan kritik dari berbagai pihak tentang indikasi kebangkitan komunisme pada RUU HIP, Fraksi PDIP sepakat untuk mencantumkan TAP MPRS No. 25 Tahun 1996 tetapi dengan menambahkan diksi larangan untuk radikalisme dan khilafahisme pada konsideran RUU HIP, karena dianggap paham khilafahisme juga bertentangan dengan dengan Pancasila (Kompas.co 2/7/2020).

Dari fakta-fakta yang berkembang sangat jelas siapa yang dibidik oleh RUU HIP, latar belakang untuk mengembalikan jati diri bangsa hanyalah dijadikan sebuah dalih. Karena pada kenyataannya RUU HIP ini sangat jelas diarahkan kepada aktivis muslim yang hari ini lantang meneriakkan perlawanan kepada rezim oligarki yang korup dan menyengsarakan rakyat.

Jika fakta hari ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi meminta untuk menunda pembahasan RUU HIP, bukan berarti pembahasannya berhenti. Apalagi banyak berita bersliweran tentang Presiden boleh menjabat selama tiga periode, pasti RUU HIP akan benar-benar digodok untuk mempertahankan kekuasaan dan menyingkirkan para aktivis-aktivis yang dinilai bersebrangan dengan rezim.

Problem Negeri Siapa Penyebabnya?

Tidak dinafikkan bahwa permasalahan masyarakat begitu banyak dan membuat kehidupan mereka semakin sempit nan sulit. Tingginya biaya kehidupan semisal biaya pendidikan, kesehatan dan pemenuhan kebutuhan pokok menambah deretan kepiluan hidup masyarakat biasa. Ditambah sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri, membuat jengah dan frustasi sementara terowongan pekerja migran asal China terus dipermulus.

Tidak dipungkiri pula kehidupan liberal ala Barat telah menyuntikkan racunnya sejak lama kepada anak-anak muda. Akhirnya terbentuklah generasi millennial yang abai terhadap permasalahan negeri dan malah mereka kebanyakan menjadi biang kerok permasalahan. Misalnya jeratan kasus narkoba, pergaulan bebas, balapan liar, tawuran antar pelajar dan segudang masalah lain menjadi sebuah indikasi kegagalan negara dalam mencetak generasi muda yang memiliki masa depan gemilang.

Belum lagi masalah korupsi yang dilakukan oleh tikus-tikus berdasi, menggondol uang negara tetapi tidak mendapat hukuman yang setimpal. Sebut saja seperti Setya Novanto, aktor utama korupsi E-KTP mendapatkan tempat yang spesial ditahanan kelas 1, kamarnya seperti hotel bintang lima penuh dengan fasilitas misal televisi, AC dan fasilitas gym. Atau masih ingat dengan Gayus Tambunan, koruptor kelas kakap Bank Century yang pernah ketahuan plesiran ke Bali padahal kala itu ia seharusnya menjalani masa tahanan.

Kalau begitu benarkah problem-problem ini disebabkan masyarakat tak mengaplikasikan  Pancasila sehingga RUU HIP dapat dibenarkan?

Pancasila hanyalah sebatas nilai-nilai yang universal, bisa dikatakan multitafsir, tergantung ideologi yang menaunginya. Seperti yang kita ketahui pula seluruh dunia tak terkecuali Indonesia, sedang terpenjara didalam sistem Kapitalisme Sekuler, sistem buatan manusia yang berasaskan sekulerisme, sistem yang mengesampingkan agama didalam kehidupan. Pengaturan pengelolaan negara berdasar kekuatan pemilik modal dibawah sistem keuangan moneter ribawi. Sehingga kehidupan manusia bagai di alam liar, siapa yang punya banyak modal dia memiliki segalanya.

Sistem ini pula tidak memandang pembagian kelas kepemilikan, semua kekayaan sumber daya alam dapat diprivatisasi. Walhasil devisa negara didapatkan hanya dari memeras pajak dari rakyat. Selain itu masyarakat wajib memenuhi kehidupan mereka sendiri termasuk pemenuhan kesehatan dan pendidikan karena negara hanya sebagai regulator (pembuat kebijakan) bukan fasilitator (yang memenuhi fasilitas). Wajar saja masyarakat ngos-ngosan membiayai seluruh aspek kehidupannya ditambah harus membayar begitu banyak pajak yang dibebankan. Lihat saja hari ini, ketika masyarakat harus dibebankan Rapid test atau PCR test dengan biaya sendiri padahal ekonomi sedang seret, ditambah ada indikasi kesengajaan menaikkan biaya listrik oleh PLN membuat dada rakyat semakin sesak.

Standar kebebasan berekspresi yang dilahirkan dari sistem kehidupan sekuler, juga menyebabkan manusia-manusia yang dilahirkan menjadi kehilangan martabatnya. Imbasnya terjadi ledakan kasus kehamilan diluar pernikahan, perceraian, narkoba, LGBT dan semacamnya. Wajar saja nilai-nilai yang ada dalam 5 sila Pancasila diabaikan, bahkan hanya dihafalkan didalam lisan, karena memang tidak mempengaruhi cara pandang masyarakat dan tidak ada peraturan yang dilahirkan darinya.

Dalam perspektif sistem kapitalisme sekuler, makna “Ketuhanan” dalam Pancasila, bisa dimaknai apapun. Bisa jadi Allah, bisa jadi mungkin batu, bisa jadi patung atau yang lainnya, tidak berTuhanpun juga tidak apa-apa, karena memang tidak ada standar yang jelas disebabkan memang peran Pencipta Alam Semesta benar-benar harus dipisahkan dari ranah kehidupan karena dianggap ini adalah yang paling tepat dan moderat, letak Tuhan hanya dalam ranah privat.

Atau makna “Persatuan” yang sangat ambigu, dipandang Pancasilais jika muslim masuk gereja, mengikuti perayaan agama lain serta mengakui Pluralisme. Atau menawar PKI untuk diupdate kembali statusnya ditengah-tengah masyarakat, dianggap makna persatuan karena memanusiakan manusia. Tetapi yang memperjuangkan islam, atau aktivis yang menyerukan kebenaran dan mengkritisi kezaliman dianggap memecah belah negara, dan masih banyak lagi.

Inilah mengapa Pancasila sebenarnya sebuah nilai ambstrak, yang maknanya akan mengikuti Ideologi yang Berkuasa.

Sudah Saatnya Kembali Kepada Pelukan Ideologi Islam

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita kembalikan urusan kehidupan hanya kepada Allah S.W.T. Islam bukan hanya sekedar agama ritual belaka, namun adalah sebuah Ideologi atau mabda yang menggetarkan ideologi oposisi yakni Kapitalisme dan Komunisme.

Konsep Ideologi islam sudah sangat rinci dan jelas meliputi Aqidah dan Syariah, sumber hukum syariahnya juga sudah jelas dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas. Sehingga kita sebagai makhluk yang serba lemah dan terbatas, tidak perlu membuat hukum sendiri dari akal tetapi cukup dengan menerapkan aturan Allah didalam kehidupan dalam naungan negara Khilafah.

Metode penerapannya juga sudah jelas melalui dakwah dan jihad. Dengan dakwah fikriyah, masyarakat akan dibentuk menjadi manusia yang bersyaksiyah islam, ia akan memiliki pola pikir dan pola sikap yang mulia sesuai dengan islam sehingga tidak ada ambiguitas didalam islam, standar kehidupan sudah jelas yakni Ridha Allah semata. Dakwah tidak hanya dilakukan didalam negeri tetapi diluar negeri, apabila ada penghalang-penghalang dakwah, wajib dilakukan jihad jika Khilafah sudah terbentuk. Islam akan mengirimkan pasukan untuk membebaskan negeri yang dituju untuk membebaskan dari kekafiran dan kedzaliman penguasanya. Jika sudah berhasil dibebaskan, mereka akan diriayah sebaik mungkin oleh Khilafah sesuai dengan syariah islam tanpa memaksakan akidahnya.

Komposisi pengaturan islam yang pas, akan dapat mengatur muamalah didalam masyarakat seadil-adilnya, kepemilikan akan diatur sesuai dengan kelas, yakni kepemilikan individu, negara dan masyarakat. sumberdaya alam akan dikelola negara yang hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat, sehingga hajat kesehatan dan pendidikan akan didapat secara cuma-cuma.

Dari sinilah kita mengerti bahwa, ditabrakkannya Khilafah dan Pancasila adalah suatu dalih untuk melanggengkan kekuasaan rezim ini. Ketakutan mereka akan gagalnya berbagai proyek asing membuat rezim ini menghalalkan berbagai cara untuk membungkam masyarakat. Rencana dicantumkannya frasa “khilafahisme” dalam RUU HIP memperjelas keadaan, bahwa mereka hari ini sedang memutar otak agar masyarakat tumpul, tidak lagi mengkritik rezim sehingga proyek-proyek komersialisasi asset negara berjalan mulus.

Wallahu’alam bhisawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.