18 Mei 2024

Masyarakat dikejutkan dengan penangkapan Zaim Saidi, oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri. Beliau adalah inisiator, penyedia lapak dan pengelola Pasar Muamalah di Tanah Baru Depok. Dalam pasar muamalah tersebut, tidak hanya menyediakan penukaran mata uang rupiah ke dinar atau dirham. Tapi transaksi perdagangannya juga menggunakan dinar dirham. Dinar yang dipakai adalah koin emas seberat 4,25 gram emas 22 karat. Dan dirham adalah koin perak 2,975 gram perak murni.

Zaim Saidi pun dijerat dengan beberapa pasal. Yaitu pasal 9 UU nomor 1 tahun 1946, tentang larangan membuat benda semacam mata uang atau uang kertas untuk dijadikan alat pembayaran yang sah. Dan pasal 33 UU nomor 7 tahun 2011 tentang sanksi orang yang menolak pembayaran dengan mata uang rupiah. Yaitu pidana kurungan paling lama 1 tahun penjara dan denda uang sebesar 200 juta rupiah (Republika.co.id, 3/02/2021).

Publik mempertanyakan penangkapan Zaim Saidi. Karena kontraproduktif dengan keberadaan beberapa organisasi ekonomi syariah yang dilegalkan oleh pemerintah. Bahkan ketua organisasi tersebut bertabur bintang (pejabat). Seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang ketua umumnya Erick Thohir, Ketua Dewan Pembinanya Ma’ruf Amin dan Wakil Ketua Dewan Pembinanya Puan Maharani.

Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), yang Ketua Umumnya Sri Mulyani. Juga terdapat Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) yang Ketuanya adalah Presiden Jokowi dan Wakil Ketuanya Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Artinya keberadaan berbagai organisasi tersebut berupaya untuk menerapkan dan mengembangkan ekonomi dan keuangan berbasis syariat Islam. Penggunaan dinar dan dirham bagian dari keuangan syariah. Ketika diterapkan dalam transaksi muamalah, lantas mengapa ditangkap?

Sejumlah kalangan, termasuk NU dan Muhammadiyah, menilai penahanan Zaim berlebihan. Apalagi, koin emas yang digunakan lewat hasil membeli dari PT Antam Tbk, BUMN di sektor pertambangan emas.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, K.H. Anwar Abbas, membandingkan Pasar Muamalah Depok dengan kebolehan penggunaan uang asing termasuk dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali. Bila didetailkan faktanya, penggunaan koin dinar dan dirham yang ada mengikuti tiga bentuk transaksi yang biasa terjadi. Transaksi barter komoditas emas dan perak dengan barang TV, sepeda, sembako misalnya.

Lalu transaksi serupa voucher di mana seseorang untuk belanja menukarkan besaran uang rupiah dengan koin dinar dan dirham. Juga transaksi mirip dengan penggunaan koin di tempat permainan anak-anak, harus membeli koin dulu dengan rupiah, kemudian koin itulah yang digunakan untuk membayar permainan. Wajar saja kuasa hukum Zaim Saidi, Ali Wardi menyebut terdapat kejanggalan dalam surat penangkapan Zaim Saidi. Dalam surat tersebut, disebut dinar dan dirham sebagai mata uang.

Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf beranggapan bahwa kegiatan transaksi yang terjadi pada pasar muamalah tidak melanggar Undang-Undang atau pun Peraturan Bank Indonesia atau PBI Nomor 17/3/PBI/2015 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Senada dengan pendapat diatas, Profesor dan Guru Besar Undip Prof. Suteki menyatakan bahwa jika Pemerintah konsisten  dengan ekonomi syariah, mestinya Pemerintah tidak alergi dengan segala unsur syariat termasuk alat bayarnya. Bukankah uang dinar-dirham juga dibeli dengan rupiah dan rupiah pun tetap diperbolehkan sebagai alat tukar bahkan barter sekalipun.

Maka, jika demikian mengapa aparat begitu cepat bertindak terkait penggunaan dinar dan dirham di Pasar Muamalah-nya Zaim Saidi? Betulkah karena ingin  menertibkan peredaran mata uang selain Rupiah? Jika iya, bagaimana dengan mata uang asing yang banyak beredar melalui transaksi jual beli oleh para wisatawan asing seperti Dollar atau Yuan? Jika serius, bukankah seharusnya para pengguna itu juga ditertibkan?

Akhirnya memang tampak perlakuan yang sangat paradoks. Transaksi dinar-dirham yang tidak merugikan siapapun karena tidak terkait dengan penggunaan mata uang asing, mendapat perlakuan diskriminasi bahkan inisiatornya ditangkap polisi. Sementara para pengguna mata uang asing dibiarkan dan tak diusik meski banyak bukti penggunaannya dalam transaksi jual beli yang bisa saja akan melemahkan nilai rupiah.

Masyarakat Ekonomi Syariah  versus Pasar Muamalah Dinar-Dirham

Dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariat sangat pesat. Untuk sektor riil, investasi dalam industri halal baik dari makanan, fashion, kosmetik, farmasi, media dan pariwisata, telah menghasilkan nominal yang tidak sedikit. Tahun 2017 saja mencapai 218,8 miliar dolar. Investasi ini diperkirakan terus tumbuh dengan rata-rata sebesar 5,3 % tiap tahunnya.

Belum lagi dari ibadah haji dan umrah yang rutin setiap tahun dilakukan. Dengan jumlah jamaah haji dan umrah Indonesia terbanyak ke dua di dunia (katadata.co.id, 17/04/2020). Begitu juga dengan sektor keuangan sosial syariah, baik dari zakat maupun wakaf. BAZNAS memperkirakan potensi zakat mencapai Rp217 triliun per tahun. Untuk wakaf tanah mencapai 4,36 miliar meter persegi yang tersebar di 435.768 lokasi. Dan wakaf uang mencapai Rp2-3 triliun per tahun.

Data-data di atas menunjukkan bahwa potensi ekonomi dan keuangan syariah sangat tinggi. Karena pangsa pasarnya memang besar dan luas. Animo masyarakat pun sangat tinggi dalam bertransaksi dan berekonomi sesuai syariat. Sehingga pemerintah hari ini memandang ekonomi syariah seperti di atas sangat menggiurkan. Sangat ‘bermanfaat’ untuk sumber pendapatan Negara. Syariat Islam yang menguntungkan dan menghasilkan pundi uang bagi Negara, diafirmasi dan di beri karpet merah. Tapi sayangnya syariat Islam lain, yang dianggap merugikan, tidak menghasilkan materi/keuntungan, atau menganggu kepentingan penguasa-pengusaha malah dikriminalisasi.

Dan faktanya memang negri muslim terbesar di dunia ini menerapkan syariat Islam secara parsial. Menerapkan sebagian yang dianggap menguntungkan, menolak bahkan membuang sebagiannya yang dianggap merugikan. Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim mengatakan, hal itu menunjukkan syariat Islam diterima jika sesuai kepentingan politik dan hawa nafsu penguasa. Ini adalah kemunafikan ciri khas negara sekuler kapitalistik. Standar diterapkan atau tidaknya syariat Islam adalah materi/kepentingan. Tidak dikaitkan pada ketaatan melaksanakan kewajiban dari Allah SWT dan pertanggungjawaban padaNya.

Pada perkembangannya, kasus Zaim Saidi ini lebih tampak sebagai bentuk kriminalisasi terhadap istilah-istilah syar’i. Narasi yang berkembang terkait kasus ini, justru anggapan komunitas pasar Muamalah terafiliasi dengan gerakan yang memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Ini adalah kebijakan anti Islam. Selama ini, setiap hal yang terkait dengan Islam dituding anti Pancasila.

Dari syariah, khilafah, Liwa dan Roya, dan hari ini dinar dan dirham yang dikriminalisasi.  Terlebih, dinar dan dirham adalah istilah yang sangat khas. Yakni khas sebagai mata uang dari sistem ekonomi Islam dan keberadaannya tercantum dalam dalil-dalil syariat. Sistem ekonomi Islam ini adalah sistem ekonomi yang hanya bisa diterapkan jika sistem pemerintahan yang berlaku juga berasal dari Islam. Yang tak lain adalah sistem Khilafah Islamiah.

Semua upaya ini sangat jelas ingin menyamarkan, bahkan melenyapkan, istilah syar’i. Di mana kasus Zaim Saidi ini hanya ibarat entry point-nya. Dengan kata lain, rezim ternyata semakin gencar memproduksi kebijakan-kebijakan anti-Islam. Jika melihat dinamika politik tanah air satu dekade terakhir, agaknya soal koin “dinar dan dirham” Pasar Muamalah Depok ini sebelas-dua belas dengan kriminalisasi “seragam jilbab” ala SKB 3 Menteri.

Murni pekerjaan kaum sekuler yang terjangkit islamofobia kronik, bukan karena ingin menertibkan pelanggaran administrasi terkait alat transaksi. Jadi, sebenarnya ini merupakan bagian paket lengkap kriminalisasi ajaran Islam. Buktinya kewajiban jilbab bagi siswa di sekolah umum dipersoalkan; pengajuan RUU Minuman Berakohol dihentikan; pelarangan ucapan selamat hari raya pada non muslim dianggap intoleran; usulan hukuman potong tangan bagi koruptor dipolemikkan; usulan penghentian pengelolaan SDA oleh tangan individu/korporasi swasta dianggap provokasi; penyuaraan penerapan syariat Islam kaffah dalam negara dianggap makar.

Jadi, dengan kemunculan istilah dinar dan dirham di tengah ghirah masyarakat muslim Indonesia yang sebenarnya mulai berayun ke arah aturan Islam kafah, kendati masih level individu, pemidanaan kasus ini tampak kental dengan nuansa politik sekuler. Yang tentu saja, hendak menjauhkan umat dari istilah-istilah syar’i yang bersumber dari dalil-dalil syariat. Padahal, baru saja Januari 2021 lalu pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU).

Juga Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Keduanya adalah aksi massal yang juga mengandung istilah syar’i. Ini tentu tampak bertolak belakang. Bagaimana mungkin, bukan? Tapi jangan lupa, makna “syar’i” versi rezim sekuler bukanlah makna yang bersumber dari dalil syariat. Melainkan hasil penafsiran akal sehingga boleh dikata akan lahir istilah-istilah syar’i versi demokrasi. Bukan versi dalil yang haq dari Al Qur’an maupun Sunnah. Adanya GNWU dan MES justru berpotensi sebagai wadah untuk mendefinisikan istilah-istilah syar’i sesuai kehendak rezim. Naudzubillahimindzalik.

Dinar-Dirham Mengancam Kapitalisme

 

Lebih jauh, praktik Pasar Muamalah di Depok yang menggunakan dinar dirham sebenarnya mengancam ekonomi kapitalisme, karena Zaim Saidi dan komunitasnya kerap mengopinikan bahayanya riba dan fiat money. (mediaumat.news, (5/2/2021).

 

Kegagalan sistem kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan, juga volatilitas dan ketidakstabilan yang membelenggu perekonomian, ditambah siklus krisis yang terus membayangi ekonomi negara di dunia, telah menjadi bukti otentik bahwa sistem ekonomi kapitalisme tak layak dipertahankan.

Penyebab utama ketidakstabilan dan tingginya inflasi adalah akibat sistem mata uang yang dipakai dunia saat ini adalah fiat money, suatu sistem mata uang hampa (kertas) tanpa back up emas. Kegagalan dan kezaliman sistem fiat money telah mendorong para pakar ekonomi, baik muslim ataupun Barat—seperti William Shakespeare dari United Kingdom— untuk mengembalikan kembali sistem mata uang emas yang dulu telah sukses membawa keadilan.

 

Namun demikian, kesuksesan dinar dirham membawa keadilan bukan semata keunggulannya. Dinar dirham sebagai mata uang haruslah diadopsi sebuah negara. Pasar syariah dalam ekonomi Islam, seluruh transaksinya sesuai dengan prinsip-prinsip muamalat syariat Islam. Adapun alat pembayaran yang sah dalam negara Islam adalah dinar dirham atau yang berbasis dinar dirham. Dari sini, pasar syariah dalam sistem ekonomi Islam mengharuskan adanya negara yang mengadopsi sistem moneter  emas dan perak yang hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah sistem yang menerapkan syariah kafah, yaitu Khilafah. Sistem inilah yang menjadikan Baitulmal sebagai jantung perekonomiannya. 

Keunggulan Dinar dan Dirham

 

Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi sama sekali masalah-masalah moneter seperti fluktuasi nilai tukar, inflasi, dan anjloknya daya beli. Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS, dalam bukunya The Golden Constant telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditas dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil. (Nurul Huda dkk., 2008: 104). Masalah-masalah moneter itu justru terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas (fiat money) yaitu mata uang yang berlaku semata karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia seperti emas dan perak.

 

Sistem keuangan syaria’h mewajibkan dinar dan dirham sebagai mata uang. Dalilnya jelas diambil dari Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw. Jadi bertransaksi menggunakan dinar dirham pun karena dorongan keimanan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (2004), khususnya bab “Fawâ’id Nizhâm adz-Dzahab wa al-Fidhdhah.” (hlm. 224-dst). menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut:

1) Emas dan Perak adalah komoditas, sebagaimana komoditas lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga.

2) Sistem Emas dan Perak akan menjamin kestabilan moneter.

3) Sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antarnegara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral.

4) Sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapa pun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang.5) Sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antarnegara.

6) Sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain.

Mewujudkan Sistem Moneter & Ekonomi Kuat Anti Krisis Hanya Dengan Khilafah

Permasalahan Kapitalisme khususnya dalam bidang ekonomi dan moneter, tidak dapat diselesaikan dengan metode tambal-sulam Islam parsial. Ibarat satu tubuh, badannya, jantungnya, darahnya dan pompa darahnya adalah kapitalisme. Jika hanya jantungnya saja yang diganti, sementara darahnya dan tubuhnya masih Kapitalisme, tentu tidak dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Cacat bawaan Kapitalisme tidak dapat diobati secara tuntas, kecuali kalau diganti sistemnya secara keseluruhan dengan sistem Islam kaafah.

Dalam rangkaian sejarah, Islam membuktikan bahwa sistem mata uang emas dapat menjaga kestabilan perekonomian dunia. Selama kurun waktu 13 abad, sistem mata uang emas menjadi pijakan alat tukar bagi Khilafah. Hanya saja, sistem ini tidak akan bisa berjalan sendiri dengan sistem yang tidak Islami. Sistem mata uang emas perlu dikombinasikan dengan sistem ekonomi Islam. Dan sistem ekonomi Islam hanya bisa dijalankan oleh pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan tersebut adalah Khilafah.

Dalam Islam, permasalahan krisis ekonomi dapat diatasi dengan menata kembali sektor riil; dengan pelaku pasar rakyat luas, dengan barang dan jasa yang nyata. Ini akan memberikan dampak ekonomi (pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja) secara nyata. Selanjutnya tinggalkan pasar semu yang elitis, spekulatif, manipulatif dan destruktif yang berakibat pada proses pemiskinan masyarakat. Fungsikan uang hanya sebagai alat tukar saja dengan menghapus kegiatan judi dan spekulasi. Ekonomi ribawi sebagai sumber labilitas ekonomi harus dihilangkan. Berlakukan mata uang dinar dan dirham. Tata lembaga keuangan (bank dan non-bank) sesuai prinsip-prinsip syariah sebagai satu-satunya pilihan.

Dari sisi mikroekonomi, semua transaksi ekonomi ekonomi dan bisnis harus sesuai dengan prinsip bisnis syariah, baik Muslim maupun non-Muslim. Semua masyarakat harus paham semua transaksi yang diharamkan sehingga dapat menghindarinya. Semua harus memahami semua transaksi yang diperkenankan dalam Islam sehingga para pelaku ekonomi dan bisnis dapat berbisnis dengan berbagai alternatif yang diperkenankan dalam Islam.

Sistem ekonomi Islam dibangun di atas pondasi akidah Islam. Ini adalah akidah yang haq karena berasal dari Allah yang dibawa kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah Saw. Akidah Islam merupakan akidah yang memuaskan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya, peraturan yang terpancar dari akidah Islam, seperti sistem ekonomi Islam, memiliki karakter yang khas dan manusiawi.

Dalam konteks individu, kegiatan ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai ibadah. Bukan materi yang menjadi orientasi (profit oriented), tetapi keridhaan Allah. Mencari materi merupakan perkara mubah dan menjadi wajib bagi seseorang yang menjadi penanggungjawab nafkah dalam keluarga. Mencari nafkah tentu tidak dengan menghalalkan segala cara melainkan harus terikat dengan hukum syariah.

Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan salah satu wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat. Inilah tugas umum negara. Untuk merealisasikannya, negara menerapkan syariah Islam baik dalam urusan ekonomi di dalam negeri maupun di luar negeri.

Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menyengsarakan umat manusia. Negara menerapkan politik ekonomi agar warga dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam.

Pengalaman moneter dunia menunjukkan mata uang kertas (fiat money) bersifat labil dan selalu kehilangan nilai akibat inflasi. Selembar kertas rupiah dengan selembar kertas dolar AS memiliki nilai tukar yang sangat jauh berbeda. Padahal secara fisik nilai instrinsiknya kurang lebih sama. Daya beli selembar rupiah dengan nominal 1.000 pada hari ini juga lebih rendah dibandingkan dengan satu tahun lalu atau sepuluh tahun sebelumnya.

Akibatnya, seseorang yang memegang dan menyimpan uang kertas sangat riskan mengalami kehilangan nilai kekayaan riilnya. Negara yang mata uangnya lemah dibandingkan mata uang kuat negara lain, nilai kekayaannya dalam mata uang asing cenderung merosot, sedangkan hutang luar negerinya membengkak dalam mata uang lokal. Akhirnya, sebuah negara dan masyarakatnya dapat dimiskinkan dalam sekejap hanya dengan menjatuhkan nilai tukar mata uangnya, sebagaimana pengalaman krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1997/1998.

Mata uang berbasis emas dan perak (dinar dan dirham) adalah mata uang negara Khilafah yang memiliki sifat universal. Dominasi dolar AS ataupun mata uang kuat (hard currency) lainnya atas transaksi ekonomi dunia merupakan salah satu metode penjajahan Kapitalisme atas masyarakat dunia yang harus dihentikan dengan mata uang dinar dan dirham.

Mata uang dinar dan dirham menjamin kebebasan setiap negara dan penduduk dunia untuk melakukan transaksi ekonomi dan perdagangan tanpa harus takut mengalami gejolak kurs, kehilangan kekayaan, ataupun mengalami penjajahan moneter. Dengan demikian, keberadaan mata uang ini sebagai alat tukar internasional menjadi salah satu syarat bagi terwujudnya kesejahteraan dunia.

Dalam Islam hubungan dagang dapat diberlakukan terhadap negara-negara lain jika secara politik negara tersebut terikat perjanjian damai dengan negara Khilafah. Hubungan dagang internasional tidak dilakukan atas motif keserakahan menguasai perekonomian luar negeri, melainkan untuk mendapatkan manfaat dari pertukaran, baik dari sisi kebutuhan akan suatu komoditas maupun dari keuntungan ekonomi.

Mekanisme pasar dalam Islam tidak mengharamkan adanya intervensi negara, seperti subsidi dan penetapan komoditas yang boleh diekspor. Sebaliknya, negara tidak pernah melakukan intervensi dengan cara mematok harga. Harga dibiarkan berjalan sesuai dengan mekanisme supply dan demand. Untuk mempengaruhi harga, negara mengintervensi melalui mekanisme pasar. Negara juga tidak mengenakan cukai atas komoditas yang datang dari negara lain jika negara tersebut tidak memungut cukai atas komoditas yang dibawa warga negara Khilafah. Inilah pola hubungan dagang internasional yang adil dan tidak saling mengeksploitasi.

Sistem Moneter & Ekonomi Islam merupakan solusi bagi umat manusia untuk keluar dari krisis dan hidup sejahtera. Untuk itu, kita membutuhkan Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang menerapkannya.Wallahu’alam bishowab

Penulis: Tita Rahayu

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.