30 April 2024

Penulis : Cut Zhiya Kelana, S.Kom

Dimensi.id-Matahari bersinar terang, menandakan bahwa hari ini tidak akan turun hujan. Entah jika malam nanti, sudah berapa hari hujan sore, malam hingga pagi. Tapi hujan ini tak juga menambah air sumur yang menguning, berharap ia akan memutih.

Berharap saat nanti mencuci baju putih tidak berubah warna menjadi warna kuning. Beli baju saja susah, teringat aku saat ikut CPNS berapa bulan lalu. Pagi-pagi buta aku sudah berlari mengendarai motor butut pemberian si abang untuk ikut tes CPNS.

Aku tak punya baju putih, tapi kakak iparku meminjamkannya padaku. Mungkin bukan baju baru karena ia pun membeli di pasar loak katanya baju putih mahal dan uangnya gak cukup membeli yang baru, tak apalah hanya untuk sehari. Aku tak pernah mengeluh, meski bajuku hanya itu saja, yang penting tertutup auratku sehingga Allah tak menyeret ayahku, abangku, adikku ke neraka.

Begitu juga ia tak punya sepatu hitam untuk ikut tes, kebetulan mamak punya sedikit rezeki dan menyuruhku kepasar membeli sepasang sepatu baru untuk tes besok, maka kami pun barteran kebetulan ukuran kaki pun sama. Padahal sudah ku katakan tak usah, masih ada sepatu lama, meski sudah agak jelek dan sedikit sobek. Langsung aja mamak membaca wajahku yang tak ingin maksimal ikut CPNS ini, aku pun kalah, padahal saat itu aku sedang lelah dan tak sehat.

Semalaman aku begadang mengejar tugas dan selebihnya aku gunakan waktu untuk belajar tes itu, yang sulit bagiku tetaplah urusan matematika dari dulu. Dan seperti dugaan aku tak lewat disana, aku bersyukur meski tau pasti mamak akan marah nantinya.

Aku berjalan mencari kantin, rasa lapar menyergapku. Aku tak sempat sarapan tadi, lagipun aku tak berselera. Aku hanya ngatuk akibat begadang semalaman, dan rasa hampir tak bisa berfikir.

Aku tak tertarik pada apapun selain buku, karena aku lebih haus ilmu dan sanggup menahan lapar. Tapi aku tak bisa melihat orla  kelaparan, karena tau rasanya lapar itu gak enak. Bahkan karena lapar ada seorang suami yang tega membunuh anak-istrinya.

Aku hentikan labi-labi (sudako), dan ku ganjal perut dengan banyak minum air. Ku intip dompetku hanya ada uang sepuluh ribuan, semoga cukup buat pulang. Adikku harus pulang setelah mengantarku ke kampus tadi, karna ia pun harus mengajar hari ini.

“Gimana tesnya?” Tanya mamak buat nafsu makanku hilang, padahal hari itu tak ada apapun untuk ku makan

“Ya gitulah mak” jawabku sekenanya sembari menahan kantuk

“Itulah…gak belajar kan, ini kesempatan kapan datang lagi” Mamak mulai menceramahiku

“Mak… semalam itu Maya udah belajar, sampai jam 2. Cuma di matematika aja satu poin lagi gak lewat” jawabku membela diri

Mamak diam, wajahnya menunjukkan betapa kecewanya ia padaku. Mungkin berharap akulah yang bisa meraih mimpinya. Meski aku tak mau tetap saja ku ikuti kemauan mamak, seperti mengajar, berharap ada anaknya yang menjadi guru. Sehingga ia bisa membanggakan kami ketika pulang kampung nanti. Kenyataannya sekian kali aku ikut CPNS namun terus gagal, dan rasa malas menghampiriku setelah tau jahatnya sistem ini.

Logikanya saja, aku kuliah di teknik namun tes yang ku ikuti bukan dibidangku. Menanyakan betapa hebatnya pancasila, lah mereka yang teriak pancasila ternyata pencuri uang rakyat. Rasa aku muak dengan semua ini, katanya pengangguran akan digaji kutunggu saja janji itu. Meski dibohongi lagi akan mudah bagi masyarakat nanti melihatnya sendiri termasuk mamak.

Aku sudah bahagia bisa mencari nafkah meski hanya jualan olshop yang untungnya tak seberapa tapi insyaallah berkah. Inipun olshop sedang di incar oleh bu menkeu, buat ditarik pajaknya. Untung Cuma lima atau sepuluh ribu pun di pajakin, lalu harta orang kaya kemana aja. Duh… susah ya jadi orang miskin, jadi sasaran ketidakadilan terus menerus. Sedang orang kaya bebas gitu bisa beli jet pribadi sampai pulau pribadi.

Orang seperti kami, gak boleh sakit apalagi saat ini wabah. Kejam memang, tapi kenyataannya rapidtest untuk masyarakat pun digunakan gratis oleh DPR dan anggota keluarganya. Kami biasa jika harus makan nasi sisa kemarin, dan harus pandai mengolahnya menjadi bubur kah? Menjadi tape kah? Atau di kering kan lalu digoreng menjadi cemilan. Berusaha menjadi cerdas ditengah sistem jahat ini.

Orang seperti kami pula yang mengolah bata pisang, jantung pisang hingga buah pisah menjadi sayuran lezat yang tidak bisa dibayangkan orang kaya. Terutama itu menjadi hidangan lezat khas Aceh, sangking laparnya kami harus pintar mengolah apapun untuk mengganjal lapar.

Sedangkan pemerintah abai dan selalu mengatakan kami kurang gizi, bagaimana tidak kurang gizi jika semua dana pemerintah duluan dikorupsi. Disaat wabah seperti ini pun apa bedanya perlakuan mereka pada kami, malah semakin menjadi.

Lihatlah pemimpin negeri ini, tak bisa dipegang omongannya. Pelanggar utama dari setiap keputusannya, jadi cerminan siapa harus kita lihat lagi jika bukan Islam. Orang seperti itu dikatakan munafik, ketika berjanji di ingkari. Dan aku juga heran masih ada saja orang yang tak paham tentang kondisi ini, membelanya memuja seperti berhala yang mendewakannya.

Kurasa saat ini masa jahiliyah modern, karna pemimpinnya sendiripun jahil. Ah…aku rasa baru bangun dari mimpi buruk, lupa tadi pas mau tidur gak wudhu. Setan pun senang membawaku mengawang dalam mimpi.[S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.