1 Mei 2024
Kasus Narkoba

Dimensi.id-Jelas, Indonesia tercinta ini masih darurat narkoba. Berita dan pelaporan kasus narkoba hampir tak pernah sepi, kasusnya pun terus bertambah,  baru saja putra raja dangdut Rhoma Irama, Ridho Rhoma, tertangkap polisi bersama dua temannya. Sebab polisi menemukan tiga butir ekstasi yang disembunyikan di kantong celananya.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus dalam jumpa pers di Polres Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara membenarkan penangkapan itu. Hasil tes urine, artis yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penyanyi itu  positif mengandung metamfetamin dan amfetamin dengan barang bukti yang ditemukan,”(kompas. Vom.8/2/2021),

Kemudian lembaga yang memiliki motto Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa Bangsa, ternyata juga terjerat kasus narkoba. Meski arti motto itu adalah menjadi pengayom masyarakat, tak pelak, narkoba mampu mencoreng muka mereka. Adalah Kapolsek Astana Anyar, Kota Bandung, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi  dan 11 anggotanya ditangkap karena diduga memakai narkoba.

Mereka diamankan oleh tim Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Barat (Jabar). Kapolda Jawa Barat Irjen Ahmad Dofiri menyampaikan kasus ini pertama kali tercium saat salah satu anggota Polsek Astana Anyar diduga menyalahgunakan narkoba.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam pernyataan tertulisnya menilai apa yang dilakukan Kompol Yuni dan anggotanya merupakan tantangan bagi Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam memberantas narkoba di tanah air (jpnn.com, 18/2/2021).

“Tantangan memberantas narkoba bukan hal main-main lagi, karena sudah menggerogoti jantung kepolisian dimana seorang Kapolsek perempuan tega-teganya memimpin sebelas anak buahnya untuk (memakai) narkoba bareng,” tambah Neta.

Secara logika mengapa narkoba masih menjadi primadona karena memang masih ada yang membutuhkan. Terlebih di beberapa kalangan narkoba dianggap sebagai gaya hidup elit dan prestisius. Maka harta yang mereka punyai memang sebagian besar digunakan untuk belanja narkoba.

Ada banyak pendapat pula yang ikut mendongrak perfoma narkoba hingga melejitkan harganya. Diantaranya untuk memberi rasa percaya diri di hadapan umum dan lain sebagainya. Para selebritas lah pasar terempuk peredaran barang haram ini. UU negara yang mengatur peredarannya pun tak mampu menghalangi keluar masuknya narkoba di negara ini. Barang haram ini sudah menjadi komoditas.

Tak pelak, banyak kasus ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa dan lain-lain yang secara sukarela menjadi pengedar dan lain sebagainya sebab memang menjanjikan. Terlebih di tengah pandemi yang meluluhlantakkan perekonomian, narkoba seakan menjadi dewa penyelamat. Padahal inilah Kehancuran dan nyata bahwa masyarakat kita sakit, termakan kapitalisme dengan  menghalalkan segala cara untuk menghidupi neraka dan keluarganya.

Pada kasus 12 polisi di Astana Anyar inipun tak terlalu mengejutkan , dengan tangkapan kasus narkoba, akan ada banyak barang bukti yang tersimpan di gudang atau gedung  kepolisian. Memang ini hanyalah ulah oknum dan bukan anggota kepolisian secara menyeluruh tapi ada satu hal yang sama dalam pandangan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Yaitu dikarenakan uang yang didapat dari peredaran narkoba ialah dana segar yang gurih dan para bandar tak segan-segan memberikan uang itu untuk oknum polisi asal bisnisnya lancar. Tak beda dengan di negara barat. Saking susahnya negara memberantas peredaran narkoba akhirnya mengambil kebijakan negaralah yang mengendalikan narkoba yaitu dengan melegalkan, dengan payung UU maka narkoba menjadi pendapatan negara.

Amerika, narkoba diklaim mampu  menyumbang pajak sebesar US$ 34,3 miliar per tahun dengan asumsi narkoba tersebut dikenai besaran pajak setara dengan alkohol dan tembakau (yang memang cukup tinggi di Amerika Serikat). Ganja bakal menyumbang pajak setara US$ 6,4 miliar, kokain dan heroin menyumbang US$ 23,9 miliar, dan narkoba jenis lainnya menyumbang pajak hingga US$ 4 miliar.

Saat ini, 38 dari 51 negara bagian di Amerika Serikat yang memperkenankan penggunaan ganja untuk kebutuhan medis (29 negara bagian) dan rekreasional (9 negara bagian). Kanadapun kini  menjadi negara makmur pertama di dunia yang melegalisasi ganja pada pertengahan 2018 lalu. Kebijakan ini tidak muncul tiba-tiba. Justin Trudeau dari Partai Liberal sudah mendengungkan kebijakan politiknya terkait legalisasi ganja seperti yang terpampang di laman kampanyenya sejak tahun 2015 lalu (beritasatu.com, 21/9/2020).

Lantas, bagaimana Indonesia mampu secara mandiri menggencarkan anti narkoba bahkan memberantasnya jika masih menjadi “pasar” empuk bagi negara-negara produsen narkoba sebagai perolehan pajak bagi mereka? Terlebih seringnya Indonesia hanya meratifikasi UU internasional, sementara politik luar negeri bebas aktifnya mati kutu.

Maka tak ada cara lain guna memutus rantai peredaran narkoba ini dengan mengganti sistem. Sistem yang selama ini kita pakai, dimana membolehkan narkoba beredar bebas menabrak standar halal haram bahkan menjadikannya sebagai komoditas jelas merusak.  Landasannya adalah sekularisme. Yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Ironi, negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam ternyata malah tunduk kepada hukum buatan manusia yang tak ingin diatur Rabbnya.

Banyaknya korban narkoba dari berbagai kalangan, harus disudahi. Tak akan mampu negara kita membangun bangsa dan negara dengan gemilang sebab generasinya telah rusak. Kesejahteraan yang hakiki tak akan terwujud jika masih mengesampingkan agama sebagai pengatur segala kebutuhan manusia. Kapitalisme dan Sosialis yang pernah diterapkan di negeri ini, sama-sama menghendaki kedaulatan membuat hukum ada pada manusia yang lemah dan tempatnya dosa. Wallahu a’lam bish showab

Penulis : Rut Sri Wahyuningsih | Institut Literasi dan Peradaban

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.