25 April 2024
66 / 100

 

 

Dimensi.id-“Jauhkan dirimu dari pinjaman bank atau kartu kredit dan berinvestasilah dengan apa yang kamu miliki.” – Soedono Salim (Bankir dan Pengusaha)

Begitulah salah satu nasihat dari sang bankir dan pengusaha ternama Indonesia ini. Walau pun berprofesi sebagai bankir beliau justru menasihati orang lain untuk menjauhkan diri dari pinjaman bank. Mungkin saja ini karena beliau paham betul kebahayaan terlilit pinjaman bank.

Kartu Kredit Pemerintah Daerah

Gesek sekarang, bayar belakangan. Konsep ini terus didengungkan di tengah masyarakat, sampai ke tubuh pemerintahan. Pemerintah pusat mewajibkan pemerintah daerah untuk menggunakan kartu kredit pemerintah dalam melakukan pembayaran setiap pengeluaran instansinya. Pemerintah Kota Bandung tak ketinggalan dalam program ini.

Dilansir dari laman bandung.go.id, Pj Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono resmi meluncurkan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD) untuk lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung di Pendopo Kota Bandung, Kamis 11 Januari 2024. Kartu kredit ini dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dibebankan pada APBD.

Program penggunaan kartu kredit pemerintah ini berdasarkan  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2022 tentang petunjuk teknis penggunaan kartu kredit pemerintah daerah dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta Peraturan Wali Kota nomor 23 tahun 2023 tentang tata cara penggunaan dan penyelenggaraan KKPD dalam pelaksanaan APBD tertanggal 25 Juli 2023.

Sebagai pilot project, penggunaan KKPD untuk 10 perangkat daerah, nantinya penggunaan KKPD akan didorong digunakan di seluruh perangkat daerah. Tentu bukan tanpa alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan ini. Sebagaimana disampaikan oleh Bambang Tirtoyuliono, harapannya penggunaan KKPD akan membuat pos pengeluaran APBD lebih akuntabel, transparan, lebih cepat, birokrasi tidak terlalu panjang dan yang terpenting potensi terjadinya fraud itu bisa diminimalisir.

Selain itu, anggaran pun akan lebih meningkat serapannya, juga akan lebih mudahkan untuk keperluan belanja barang jasa dan perjalanan dinas dalam bentuk pembayaran QRIS dan kartu fisik. Mengingat saat ini orang sudah terbiasa melakukan pembayaran cashless.

Kenali Kartu Kredit

Sebelum membahas tentang boleh tidaknya menggunakan kartu kredit, mari kita lihat terlebih dulu sejarah penggunaan kartu kredit agar kita lebih mengenalnya. Awalnya, kartu kredit berkembang di Amerika kemudian Indonesia ikut merasakan euforianya. Sehingga muncullah kartu kredit pertama di Indonesia yang ditawarkan kepada Bank Duta untuk kalangan kaya, pengusaha dan pejabat.

Lambat laun Bank yang lain pun menawarkan kartu kredit kepada para nasabahnya dari berbagai kalangan. Proses transaksi dengan kartu kredit melibatkan beberapa pihak, yaitu pemegang kartu kredit, toko, bank pemilik mesin EDC, perusahaan jaringan kartu kredit, dan bank pemegang kartu.  Kewajiban pembayaran kartu kredit akan dipenuhi terlebih dahulu oleh penerbit yang kemudian akan dibayar kembali oleh pemegang kartu kredit kepada penerbit pada waktu yang telah disepakati.

Dengan kata lain, berhutang. Nikmati sekarang, bayar belakangan. Inilah gaya hidup yang dikampanyekan dunia hingga hari ini kita rasakan dampaknya.

Emang Boleh?

Sebagai manusia yang lemah dan terbatas tentu kita butuh standar dalam menilai sesuatu. Apakah ini baik untuk kita atau tidak? Apalagi jika diterapkan dalam tubuh pemerintahan. Secara individu saja kartu kredit akan membawa dampak buruk, mulai dari gaya hidup konsumtif karena tergiur promo sebagai pengguna kartu kredit, hal ini membuat individu tidak sadar kemampuan finansialnya, membuat pengguna jadi boros karena tergiur promo rewards sehingga berbelanja barang atau jasa yang tidak urgent, bahkan bisa jadi salah satu alasan untuk bunuh diri atau melakukan tindakan kriminal kala pengguna tidak mampu untuk membayar.

Belum lagi kita bahas dari sisi aturan agama. Allah berfirman dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya, “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” Sementara kita ketahui pinjaman di bank pasti menggunakan riba. Karena dari situ mereka mendapatkan untung. Baik pemerintah menggunakan kartu kredit pemerintah daerahnya untuk acara amal bagi rakyat, tapi mereka tetap melakukan aktivitas ribawi dengan menggunakan kartu kredit tersebut.

Apalagi jika pemerintah telat membayar tagihan kartu kredit, otomatis akan dikenakan denda. Padahal sudah menjadi rahasia umum proyek apapun yang melibatkan pemerintah pasti pembayarannya akan mundur. Sudahlah bayar pinjamannya dikenakan riba, ketika telat pun mendapat denda riba.

Inilah potret sistem kapitalisme yang hidup dengan topangan sistem ribawi. Lihatlah pinjaman negara pada World Bank atau dept trap Cina. Berbagai negara dipaksa dan terpaksa meminjam sejumlah besar uang demi menjalankan roda pemerintahannya. Tentu ada bunga alias riba saat pembayarannya. Ditambah skema pembayaran bunga terlebih dulu. Sehingga sulit sekali melunasi hutang negara kita. Akhirnya negara pun tersandra oleh hutang dunia. Saat tersandra hutang begini, tentu sang pemberi hutang akan bertindak superior dan meminta para penghutang untuk menuruti kehendaknya, tak terkecuali melepaskan hak kepemilikan bandara, pelabuhan, atau bisa jadi fasilitas negara yang penting lainnya.

Siapapun pelakunya, lagu yang sama diputar dalam skema ini. Allah cabut keberkahannya, Allah buktikan perhitungan manusia keliru, sehingga kian terpuruklah para pelaku ribawi. Sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Akankah kita biarkan pemerintah kita pun terjerat maksiat yang dosanya seperti menzinahi ibu sendiri? Akankah kita diam menunggu azab Allah hadir di bumi pertiwi khususnya kota Bandung yang terkenal religious ini?

“Ketika zina dan riba dilakukan terang-terangan di masyarakat, berarti mereka telah menghalalkan adzab Allah untuk ditimpakan ke diri mereka.” (HR Thabrani)

Na’udzubillahi min dzalik. Tentu kita tidak mau.

Islam Jauhi Riba

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dengan asas keimanan pada Allah dan Rasul, sistem Islam ditegakkan dalam semua lini kehidupan. Termasuk dalam masalah pembayaran aktivitas operasional pemerintah daerah.

Betul, kita ingin yang efisien, simple, lebih akuntabel, transparan, lebih cepat, birokrasi tidak terlalu panjang dan meminimalisir potensi terjadinya fraud. Tapi, dalam Islam ada koridor yang harus dipatuhi setiap muslim, apalagi pejabat pemerintahan sebagai penguasa yang menerapkan aturan pada rakyat dan mengurusi kepentingan rakyat. Sesuai kaidah fiqh, “Setiap perbuatan kaum muslim terikat hukum syarak.”

Halal haram akan jadi standar dalam pemilihan kebijakan. Maslahat yang ingin dicapai tak bisa mengalahkan hukum Allah swt. Sehingga pembayaran akan diganti dengan yang tidak berbau ribawi. Bisa saja Islam memakai kartu sebagai metode pembayaran pengeluaran belanja daerah, tapi bukan berhutang dengan riba. Bisa jadi dengan kartu debit, bisa jadi pula akadnya berhutang tapi tidak memakai bunga.

Proses berhutang jadi solusi dalam sistem kapitalisme karena pos pemasukan yang sempit dalam APBN apalagi APBD. Tidak begitu dengan Islam, ada banyak sekali pos pemasukan negara, mulai dari fa’I, ghanimah, kharaj, jizyah, ‘ushur, khumus. Belum lagi berbekal sumber daya alam yang melimpah di negeri-negeri muslim. Maka, bukan tidak mungkin negara akan memiliki tabungan yang bisa dipakai untuk memiliki kartu debit.

Transaksi lebih mudah, riba pun dijauhi. Negara dan rakyat terhindar dari azab. Semoga baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan terwujud.

Wallahu’alam bish shawab.

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.