27 April 2024

Dimensi-id-Pasti ada cerita dalam sejarah bagaimana bisa mayoritas penduduk di Nusantara memeluk agama Islam, padahal diketahui sebelumnya penduduknya menganut animisme, dinamisme sebagai keyakinan penduduknya. Kita pun tahu bahwa Allah menurunkan agama Islam tidak di Nusantara tapi di Arab. Lalu, bagaimana agama Islam bisa masuk ke nusantara dan diterima penduduknya yang semula memeluk aliran kepercayaan. Pertanyaan ini sungguh menggelitik pemikiran, mengingat sejarah Islam di Nusantara seolah terputus. Semangat nasionalisme juga mencoba mengkaburkan sejarah Islam yang sebenarnya dengan hanya melihat sejarah Nusantara di abad 19, perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda, Jepang dan Inggris. Bahkan semangat nasionalisme yang berlebihan memunculkan aliran Islam dengan label Nusantara yang merasa lebih unggul dari Islam yang ada di Arab.

JKDN telah membuka tabir sejarah, sehingga terlihat jelas ada jejak-jejaknya di nusantara yang menyibak hubungan erat antara nusantara dengan negara adidaya Daulah Khilafah Islamiyyah berpusat di Turki yang memiliki politik luar negeri dakwah dan jihad, sehingga Islam menyebar sampai ke bumi Nusantara. Islam telah memberi pencerahan pada penduduknya atas kebenaran hakiki yang berasal dari Sang Pemilik Hidup, serta memberi spirit semangat perjuangan untuk melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan bangsa barat di bumi Nusantara. Dikirimnya duta untuk memahamkan penduduk nusantara adalah nyata ada yang tidak mungkin dilakukan oleh kekuasaan dalam sistem demokrasi kapitalisme dan tidak pula oleh komunisme. Hanya negara yang memiliki misi dakwah dan jihad untuk menegakkan agama Allah saja yang mungkin mengutus duta yang membawa ajaran Islam. Tentunya, mereka yang dikrim bukan orang sembarangan, dan tentunya memiliki pemahaman Islam yang luas dan mendalam.

Tentunya sebagai penduduk bumi Nusantara harusnya berterima kasih atas datangnya para duta Islam yang sudah menyebarkan Islam di bumi Nusantara. Begitu pula pada negara Islam, khilafah yang telah mengirim utusannya dengan membawa agama yang benar sehingga kita bisa membedakan mana yang Haq dan yang batil. Semangat perjuangan juga tidak bisa dilepaskan dari Islam, sehingga para pendahulu kita berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan barat karena terinspirasi dengan ajaran Islam.

Diketahui bahwa kesultanan-kesultanan Islam, yang berkuasa di bumi Nusantara, mendapatkan legitimasi dari Khilafah. Syariat Islam diterapkan di bumi Nusantara oleh kesultanan Islam yang mendapatkan dukungan dari negara khilafah. Saat itu, bukan demokrasi sekularisme ataupun kapitalisme, tapi Islam yang diterapkan oleh para penguasa kesultanan di Nusantara. Lalu bagaimana bisa kita menolak diatur dengan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada saat ini, padahal para pendahulu kita sudah menerapkan Islam dalam kekuasaan kesultanan. Penerapan Islam secara kaffah sungguh sesuai dengan para pendahulu kita, karena jauh sebelum para penjajah barat datang membawa nilai sekularisme dan kapitalisme, kehidupan Islami sudah dirasakan penduduk Nusantara dan bahkan masih ada jejak-jejaknya. Apakah kita mengambil nilai-nilai yang dibawa oleh para penjajah, atau para pendahulu kita yang dengan gagah berani mengusir penjajah karena dorongan dari keyakinan yang benar yakni Islam.

Tersibak fakta sejarah bahwa para Pejuang Nusantara melawan imperialisme Belanda, Inggris dan Portugis, didasari oleh spirit membela Islam. Mereka berjuang untuk agamanya, Islam, bukan sekularisme ataupun kapitalisme. Bahkan kalau kita jujur nilai-nalai kapitalisme dibawa oleh para penjajah barat karena senangat ingin menguasai satu negeri yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa, bagaikan penggalan tanah surga.

Nenek moyang kita berjuang dan berkorban untuk Islam dan melawan para penjajah yang membawa nilai-nilai demokrasi kapitalis. Sejumlah kesultanan, dari Aceh, Banten, Demak, Ternate, Tidore, dll, semuanya berkhidmat kepada Islam, bukan pada demokrasi. Kebebasan, sekulerisme dan demokrasi termasuk agama Kristen dan Katolik, justru masuk ke Nusantara membonceng para penjajah yang ingin menguasai negeri ini, sementara khilafah datang untuk meriayah dengan Islam.

Sejumlah kesultanan Islam yang bersengketa, juga diselesaikan oleh utusan Khilafah Utsmani. Perjanjian Giyanti, adalah bukti nyata bahwa Khilafah perduli dengan masalah di nusantara. Kesultanan di Jogjakarta dan Surakarta pada akhirnya mampu didamaikan. Pertempuran heroik perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, ternyata juga didorong oleh semangat membela agama Allah, Islam. Melalui film ini kita juga tahu bahwa Jihad menjadi api semangat yang mendorong mereka untuk melawan penjajah. Para pendahulu kita, benar-benar pejuang Islam, bagian dari Khilafah. Karena itu, kita wajib terikat dengan perjuangan Islam sebagaimana diperjuangkan kakek moyang kita. Mereka, ternyata mujahid fi Sabilillah yang dengan gagah berani mengarungi medan jihad. Mereka adalah orang-orang hebat yang berjuang untuk Islam, bukan untuk demokrasi dan sekularisme yang merupakan warisan penjajah barat.(ME)

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.