25 April 2024

Dimensi.id-Rektor Universitas Paramadina Didik Rachbini mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki masalah berat di masa pandemi ini, sehingga dapat memicu krisis ekonomi. Setidaknya ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari yaitu, pertama proses politik APBN yang sakit dan bias, kedua defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali, ketiga rasio pembayaran utang terhadap pendapatan yang naik di era Presiden Joko Widodo, keempat mengendapnya dana dan bocor di daerah dan kelima, pembiayaan PMN dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan (Tempo.co,1/8/2021).

Kita tahu, tanpa anggaran, maka seluruh biaya operasional negara tidak akan berjalan dengan baik, lebih parahnya negara tidak bisa menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan rakyatnya. Terlebih di masa pandemi ini, dimana semua orang berteriak kesulitan. Kemudian muncul berita pengecatan ulang pesawat Kepresidenan, dari pesawat jenis BBJ 2 yang berwarna dominan biru putih menjadi warna merah putih. Betulkah beliau pemimpin umat, yang peduli pada penderitaan rakyat dan mengesampingkan kebutuhan tersier hanya perbaharui warna badan pesawat?

Pengamat penerbangan Alvin Lie sekaligus mantan anggota Ombudsman RI melalui akun twitter pribadinya mengatakan biaya pengecatan ulang pesawat tersebut menelan biaya sebesar USD 100 ribu hingga 150 ribu. Nilai itu setara dengan Rp 1,4 miliar sampai dengan Rp 2,1 miliar (suarajawatengah.id, 4/8/2021).

Fantastis! Meskipun alasannya untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, namun belum saatnya untuk disegerakan. Aspek lain masih membutuhkan pembiayaan ini, terlebih kebutuhan penanganan pandemi yang sudah meminta ratusan ribu nyawa dan lumpuhnya perekonomian. Sudahlah menjadi rahasia umum, jika hampir 90 persen APBN kita terdiri dari utang. Dan jika terjadi kekurangan, selalu mekanismenya adalah menambah utang.

Padahal, konsekuensi dari pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2020 membuat melonjaknya nilai pembiayaan utang. Merujuk pada Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2020, pembiayaan utang untuk 2020 mencapai Rp 1.039,22 triliun, melonjak 158,4 persen dibanding tahun sebelumnya.

Ekonom, Politikus, dan juga mantan menteri keuangan Fuad Bawazier mengatakan,”Sekarang pun sepertinya kita akan sering mengalami resesi ekonomi, dan bisa jadi negara terakhir juga yang keluar pandemi,” katanya dalam Forum Guru Besar dan Doktor INDEF dengan tajuk “Ekonomi Politik APBN, Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19” yang digelar virtual, Ahad (1/8).

Kebijakan pemerintah dinilai tidak stabil sehingga menyebabkan efek krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penanganan pandemi yang setengah-setengah membuat dana APBN yang dihimpun dari hutang pun menjadi ‘mubazir’. Belum lagi penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah yang sangat minim. Ditambah dengan kebocoran fatal karena korupsi. Ini membuat roda ekonomi tidak berputar seperti yang diharapkan, sementara hutang sangat bengkak. “Dengan hutang itu lama-kelamaan bisa jebol, ini akan terjadi krisis gagal bayar,” tambah Fuad Bawazier.

Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan juga menyebut Indonesia sudah memasuki tahapan krisis karena indikasi pemerintah sudah menaikkan pajak. Rasio penerimaan perpajakan terus menurun dari 10,68 persen sebelum pandemi menjadi 8,69 persen. Di tambah dengan risiko turunnya harga komoditas yang akan memasukan APBN dalam krisis yang semakin dalam. “Penerimaan negara cenderung sulit meningkat lagi, ini sangat tergantung dengan harga komoditas yang bisa turun karena pengaruh kondisi global nanti,” katanya. Ini membuat pemerintah menggenjot penerimaan dari pajak (republika.co.id, 4/8/2021).

Dengan skema penambahan utang dan pajak, siapa yang bakal disusahkan atau jika lebih spesifikasi lebih diperas? Jawabnya, rakyat! Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula nasib rakyat hari ini. PPKM darurat resmi diperpanjang lagi, rakyat umum dibatasi geraknya, sementara rakyat dengan modal besar, pemilik usaha kakap bebas mengembangkan bisnisnya. Kesenjangan makin tajam, nasib rakyat makin terpanggang. Lantas, untuk apa dibuat anggaran?

Benarlah, jika faktanya negara hanya bersembunyi di balik pergantian istilah penanganan pandemi, sehingga betul pula apa yang dikatakan Fuad Bawazier, usaha yang setengah-setengah inilah pangkal persoalan munculnya krisis bagi APBN kita. Pemerintah cenderung berbelok-belok dalam membelanjakan APBN, dengan berbagai program yang belum mendesak hari ini, sementara yang harusnya difokuskan malah terkesan lambat di respon atau malah dikorupsi.

Islam sangat bertentangan dengan sistem aturan yang hari ini diberlakukan. Anggaran negara yaitu Baitul mal adalah badan keuangan yang sejak zaman Rasulullah menjadi kepala negara pertama Islam di Madinah telah memberikan banyak contoh, betapa harta negara adalah milik kaum Muslimin. Harta itu berasal dari fa’i, zakat, kharaz, jizyah dan berbagai hasil pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara.

Sebab landasannya adalah hadis berikut, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Maka, tak ada sedikitpun upaya pemimpin setiap pemimpin Muslim kala itu kecuali memenuhi tanggung jawab sebagai periayah (pengurus) sebagaimana yang dibebankan syariat kepadanya. Apakah sulit? Tentu tidak bagi yang ahli dan Alquran As-Sunnah adalah panduan memerintahnya.

Maka, hal pertama yang dilakukan adalah menghapus utang, terutama yang berbasis riba, negara akan membuat perjanjian dengan negara pemberi utang untuk mengembalikan pokoknya sedang ribanya ditinggalkan. Kedua adalah mendorong seluruh rakyat untuk berbisnis halal, real dan bukan bentuk bisnis atau syirkah yang diharamkan oleh syariat seperti saham misalnya. Ketiga negara akan memberdayakan seluruh rakyat agar berusaha sesuai dengan keahliannya, dengan memberikan bantuan cuma-cuma baik dalam bentuk modal bergerak maupun tidak.

Keempat, negara akan mengelola sumber daya alam yang menjadi kepemilakan umum dan negara, hasilnya bisa dijual kepada rakyat dengan harga murah atau gratis ( seperti BBM) atau dirupakan pembiayaan seluruh aspek kebutuhan rakyat baik untuk pendidikan, kesehatan ,keamanan , sandang, pangan dan papan. Kelima, negara akan menyalurkan zakat kepada yang membutuhkan, kepada delapan ashnaf sebagaimana yang sudah disebutkan dalam Al-Qur’an. Hari ini sungguh ironi, Indonesia negeri kaya raya, namun semua sumber daya alamnya (SDA) nya bukan milik negara ini, tapi justru menjadi milik asing, yang juga telah menjadikan negara-negara di Asia ini sebagai budaknya.

Inilah gambaran solusi syariat yang siap menggantikan sistem aturan yang memisahkan agama dari kehidupan, kapitalisme seperti hari ini. Tak akan ada krisis berulang, sebab Islam telah membuang akar persoalannya dan mengembalikannya kepada Tauhid, Laa Ila Haillah. Wallahu a’ lam bish showab.

Penulis : Rut Sri Wahyuningsih | Institut Literasi dan Peradaban

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.