Ironi Negeriku
dahulu, tanah airku pernah banjir,
oleh darah dan air mata,
para pejuang kemerdekaan.
kini, tanah airku juga pernah banjir,
oleh sungai yang meluap,
akibat sampah yang tersumabat, hutan yang digundulkan.
dahulu, di tanah airku,
bambu runcing pahlawan bersulang dengan senapan penajajah
kini, di tanah airku,
penjajah malah duduk bersulang secangkir teh di taman istana
dahulu, di negeriku, tanah subur nan makmur direbut penjajah
tapi para pahlawan menghalau korbankan jiwa raga
kini, di negeriku, tanah subur nan makmur itu memang masih ada
hanya saja, sebagian tetap milik penjajah
dan kita? diam seolah tak tahu apa-apa.
dahulu, di negeriku, kaum muda kaum tua
bersatu raih kemerdekaan
kini, di negeriku, yang katanya sudah merdeka,
tapi perpecahan dimana-mana,
saling hujat, saling hasut, klaim kebenaran pribadi.
dahulu, tanah airku memang terjajah, tak merdeka
tapi api semangat, darah perjuangan membara!
kini, negeriku yang katanya telah merdeka,
sebaliknya, semangat kian redup, terbius kesenagan sementara.
inilah ironi negeriku,
yang dengan bangga kita ceritakan perjuangan pahlwan terdahulu
tapi tertunduk malu, jika mengigat tingkah dan pola kita yang lamban,
enggan berjuang hanya suka bersenang – senang.
inilah ironi negeriku,
di mana pergerakan kian redup, perjuangan tak menyeluruh,
lalu, siapakah yang akan sempurnakan makna merdeka?
jika para generasi memilih tak acuh,
karna kantong sudah penuh dengan remah-remah rupiah?
/baca juga :https://www.kompasiana.com/masaza/5cbe6d6b95760e43835bf3e2/puisi-negeriku-indonesia