13 Mei 2024
Impor beras

Pemerintah mencanangkan impor beras di tengah proyeksi panen raya. Keputusan ini mendapat sorotan kontra dari banyak pihak, terutama para petani. Sejumlah petani dari sentra produksi padi mulai cemas, harga jual gabah kering panen (GKP) anjlok di tengah wacana impor beras 1,5 juta ton.

Mengutip BBC News Indonesia, Selasa (10/03). Di Indramayu harga gabah sudah Rp3500/kilogram. Padahal 2 minggu lalu, panen di Demak dan Kudus, Jawa Tengah itu masih Rp4500/kilogram. Sementara di Klaten harganya kini sudah di bawah Rp4000/kilogram. Padahal, kondisi normal bisa mencapai Rp4500-5000/kilogram.

Sementara itu Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Profesor Dwi Andreas Santosa, mengatakan keputusan impor beras sebagai kebijakan ‘tak masuk akal’. Menurutnya, stok beras saat ini masih melimpah terlihat dari harga kering panen yang justru menurun di akhir tahun 2020.

Padahal, menurut Prof Dwi Andreas, semestinya harga gabah kering panen naik di akhir tahun karena masuk masa paceklik. Saat itu petani dalam tahap mulai merawat tanaman, sehingga gabah yang diperdagangkan jumlahnya kecil

“Menurun di akhir tahun itu justru anomali. Karena gabah kering panen hampir selalu naik, sampai puncaknya di bulan Januari dan Februari, baru Maret turun,” kata Ketua Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan adanya potensi peningkatan produksi padi periode “subround” pada Januari hingga April 2021 sebesar 25,37 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), sebanyak 5,37 juta ton atau 26,88 persen dibandingkan “subround” yang sama tahun 2020 sebesar 19,99 juta ton GKG.

Menurut catatan BPS, peningkatan produksi padi dari 2019 ke 2020 mencapai 45 ribu ton. Pada 2019 produksi padi mencapai 54.604.033,34 ton lalu meningkat menjadi 54.649.202,24 ton. Pada kuartal I tahun ini, BPS juga memperkirakan produksi beras akan meningkat 26%.

Alasan Pemerintah

Pemerintah beralasan, impor sebagai langkah antisipasi krisis pangan. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengatakan rencana impor beras sebagai upaya mengamankan persediaan beras dalam negeri di tengah pandemi.

“Bulog bersama kementerian perdagangan mengatur masuknya ini untuk jaga stok sampai dengan akhir tahun 2021, jaga stok 1,5 juta ton,” katanya kepada BBC News Indonesia.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor beras ini sudah disepakati antar-kementerian. Tujuannya sebagai ‘iron stock’ yang ia sebut sebagai cadangan di mana pemerintah melalui bulog bisa memastikan ketersediaan beras itu selalu ada.

“Jadi tidak bisa dipengaruhi oleh panen atau apa pun, karena ini dipakai untuk iron stock dan ini sudah kita sepakati, sudah kita perintahkan waktu tempat dan harga itu di tangan saya,” kata Mendag Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu.

Rencana impor beras ini pertama kali dihembuskan Menteri Koodinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat kementerian perdagangan pekan lalu. Airlangga mengatakan penyediaan ini diperlukan untuk bantuan sosial berupa beras pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), antisipasi banjir, dan pandemi.

Kontradiktif dengan Kampanye Presiden

Lagi-lagi, ini adalah kebijakan kontradiktif. Rencana impor beras ini disampaikan tak lama dari seruan Presiden Joko Widodo untuk mencintai produk dalam negeri dan membenci produk asing. Ironis.

“Saya juga selalu menyampaikan kepada kementerian/lembaga dan semua BUMN untuk memperbesar tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Ini harus terus, jangan sampai proyek-proyek-proyek pemerintah, proyeknya BUMN, masih memakai barang-barang impor. Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan sebuah permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil,” kata Persiden Jokowi seperti dikutip dari situs sekretariat negara, Jumat (05/03).

Sungguh, kebijakan impor beras ini menyisakan tanya yang tak berkesudahan dan kecewa berkepanjangan. Apakah lahan kita tak lagi subur? Apakah SDM kita tak kapabel, tidak ada para ahli yang mumpuni? Apakah iklim dan SDA kita tidak mendukung? Hingga kita tak mampu memproduksi bahan pangan pokok untuk negeri ini dan harus impor terus?

Liberalisasi Pertanian Biang Impor Pangan

Tingginya angka impor telah menempatkan Indonesia sebagai negara net-importir. Jika merunut sejarahnya, hal ini dimulai sejak Indonesia masuk dalam Agreement on Agriculture (AoA) World Trade Organization (WTO) pada 1995.

Atas nama kerjasama multilateral, kapitalisme global mendesain berbagai kesepakatan liberalisasi pertanian. Sejumlah kewajiban yang tercantum dalam AoA tersebut, berdampak negatif bagi kelangsungan hidup para petani di negara-negara berkembang, yang tidak mampu bersaing langsung dengan produk impor. Diperparah tanpa adanya subsidi dan proteksi dari pemerintah.

Desain aturan main di dalam kesepakatan cukup njelimet, mirip jebakan Batman sehingga akan memperdaya negara-negara berkembang dan memperkaya negara maju. Ini di satu sisi.

Sementara di sisi lain, kesepakatan-kesepakatan semacam ini berpotensi mengancam ketahanan pangan suatu negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Dengan liberalisasi pertanian, produk impor pun semakin menguasai pertanian Indonesia dan menguntungkan para importir atas dasar mekanisme pasar.

Belum pernah ada sejarahnya, banjir produk impor menguntungkan petani lokal. Yang ada, menguntungkan para importir dan mafia impor yang ditopang modal besar, dan dibeckingi kaum kapital.

Baca juga: Sistem kapitalis melindungi bisnis narkoba

Ibarat penyakit, impor Indonesia sudah kronis. Oleh karena itu, bentuk penyelamatan terbaik adalah merujuk kepada Islam. Islam adalah penyembuh paripurna dengan kelengkapan diagnosa dan terapi serta pemberian obat dengan dosis yang tepat.

Islam berbeda diametral dengan kapitalisme liberal. Maka dibutuhkan perubahan mendasar dalam tata kelola pangan dan pertanian hari ini. Islam akan mengubah paradigma dalam bernegara, bahwa fungsi negara adalah sebagai pelayan rakyat. Negara bukan fasilitator dan regulator bagi korporasi sebagaimana kapitalisme, dimana korporasi menguasai hajat pangan dan pertanian dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Islam mewajibkan negara hadir secara riil melayani kebutuhan pangan rakyat, bukan menyerahkannya kepada swasta apalagi asing sebagaimana mekanisme hari ini dimana negara turut mengambil keuntungan dari transaksi hajat rakyatnya sendiri.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Itu fakta. Sumber daya alam pertanian sangat berlimpah. Didukung pula jumlah sumber daya manusia yang banyak, tenaga ahli dan para ilmuwan, lahan subur yang terhampar luas, serta iklim yang sangat mendukung.

Dengan segenap potensi yang ada, semestinya Indonesia mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri tanpa tergantung impor. Di sinilah urgensinya Islam untuk diadopsi menggantikan kapitalisme liberal.

Islam meniscayakan negara mampu menjalankan fungsinya secara benar.  Perubahan ke arah itu akan segera terwujud atas izin Allah.

Penulis: Pipit Agustin | Koordinator JEJAK

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.