17 Mei 2024

Penulis : Sherly Agustina, M.Ag | Kontributor media dan pemerhati kebijakan publik

Dimensi.id-“Seorang sejarawan menulis, sistem pertanian Muslim Spanyol adalah ‘the most complex, the most scientific, the most perfect, ever devised by the ingenuity of man” (Muslimahnews).

Kebergantungan Impor Pangan

Kado pahit di awal tahun, tiba-tiba makanan pokok yang biasa diserbu warga Indonesia menghilang. Ternyata, menghilangnya tahu dan tempe karena harga bahan baku kedelai impor naik. Hal ini membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2022. Sebagai bentuk protes pada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe tentang kenaikan harga kedelai (Republika.co.id, 2/1/21).

Impor pangan yang terjadi adalah bagian dari efek disahkannya UU Cipta Kerja 5 Oktober lalu oleh DPR, tentu saja membuat para petani was-was. Hal ini tertera dalm UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal 30 ayat (1) diubah menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani” (tirto.id, 26/10/20).

UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.”

Nyata, disahkannya UU Cipta Kerja bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk para corporat kelas kakap. Rakyat menjerit dengan naiknya harga kedelai impor, rakyat dipaksa bertahan dengan kondisi tak ada pilihan. Sementara pemerintah lebih mengutamakan impor yang menguntungkan para pemodal atau corporat. Di mana nurani pemerintah terhadap rakyat kecil, yang selama hidupnya bergantung pada usaha tahu dan tempe misalnya.

Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh dan untuk rakyat. Faktanya, dari pemodal, oleh dan untuk pemodal. Padahal, setiap pemilu para wakil rakyat sibuk mendekati rakyat. Melakukan kampanye dan pencitraan yang begitu manis. Penuh dengan janji-janji, jika mereka terpilih nanti seolah-olah sosok pemimpin sekaligus pahlawan bagi rakyat.

Di antara janji yang mereka kampanyekan adalah membuka lapangan pekerjaan, membantu rakyat miskin, pendidikan gratis jikapun sulit biaya murah, dan sebagainya. Namun ketika menjabat, semuanya hanya obral janji tanpa bukti. Bisa dilihat, kebijakan yang ada bukan untuk kepentingan rakyat. Bukannya memberi lapangan pekerjaan, tapi menambah angka pengangguran di negeri ini.

Inikah wajah demokrasi sesungguhnya, yang dielu-elukan para pejabat tinggi negeri. Rakyat kecil hanya gigit jari, pada siapa mereka mengadukan semua ini. Hukum rimba nyata terasa, dimana yang miskin dan lemah semakin tak berdaya sementara yang kuat semakin kuat.

Kemandirian Pangan dalam Islam

Lalu, bagaimana pandangan Islam mewujudkan kemandirian pangan? Pangan di dalam Islam adalah kebutuhan individu warga negara yang harus dipenuhi oleh negara baik langsung ataupun tidak langsung. Harga di pasar diupayakan stabil dan terjangkau karena jika tidak stabil akan berdampak pada keluarga. Misalnya kesehatan anak, tumbuh kembang fisik dan mentalnya.

Sebisa mungkin tak melakukan impor, sehingga negara mandiri dalam mengelola pangan untuk memenuhi kebutuhan warga dengan kualitas yang bagus.  Kemandirian pangan dalam Islam ada pada politik pertanian, yang mengacu pada  peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan  yang adil. Hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberdayakan sektor pertanian, karena pangan merupakan sesuatu yang urgent bagi sebuah negara. Menyangkut asupan gizi yang berkualitas bagi warga negaranya.

Hasil pemetaan sumberdaya lahan tingkat tinjau, dari total daratan Indonesia seluas 188,2 juta ha, lahan yang berpotensi atau sesuai untuk pertanian seluas 94 juta ha, yaitu 25,4 juta ha untuk pertanian lahan basah (sawah) dan 68,6 juta ha untuk pertanian lahan kering (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).

Berdasarkan kondisi biofisik sumber daya lahan, luas lahan yang sesuai untuk pengembangan kedelai di 17 provinsi mencapai 17,7 juta ha, terdiri atas lahan berpotensi tinggi 5,3 juta ha, berpotensi sedang 3,1 juta ha, dan berpotensi rendah 9,3 juta ha. Dengan lahan seluas ini, sebenarnya tidak perlu ada kebijakan-kebijakan kedelai impor (Muslimahnews).

Pemerintah melakukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.

Pengembangan Iptek pertanian ini penting agar negara secara mandiri melakukan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Bukan meliberalisasi sektor pertanian untuk kepentingan industri asing. Negara tidak boleh melakukan ekspor pangan sampai kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi dengan baik.

Adapun ekstensifikasi dengan membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan tanah mati. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah Saw, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin Khaththab telah bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud] .

Selain itu,  pemerintah melakukan kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga pangan akan terjaga. Selain itu, negara akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang akibat larangan Islam menimbun barang. Per kepala dipastikan terpenuhi kebutuhan pangannya, sehingga kesejahteraan bisa dinikmati oleh seluruh warga negara.

Begitu jelas konsep kemandirian pangan di dalam Islam. Siapa yang tak ingin diatur dengan aturan yang menjamin kesejahteraan bagi setiap warga negaranya. Maka, tak ada pilihan lain selain kembali pada aturan Allah. Dzat yang menciptakan alam semesta beserta isinya, Dzat yang membuat aturan yang begitu sempurna.

Allahu A’lam bi ash Shawab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.