25 April 2024
66 / 100

Hakikat manusia yang sesungguhnya adalah sebagai makhluk. Dalam bahasa arab, kata makhluk bermakna sesuatu yang diciptakan. Yakni ciptaan Allah dalam bentuk yang sempurna melalui proses penciptaan, dan menjalani kehidupan dunia sesuai misi penciptaan-Nya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku (beribadah pada-Ku).” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Kata menyembah-Ku pada ayat ini yakni untuk menyembah dan beribadah kepada Allah SWT. Pada akhir kehidupan manusia akan mengalami kematian, kemudian akan dibangkitkan pada hari pembalasan setelah amalnya dihisab selama hidup di dunia. Itulah masa yang menentukan kesudahan hidup yang kekal di surga atau neraka.

Manusia adalah makhluk yang dibekali thoqatul hayawiyah (potensi kehidupan). Setidaknya ada tiga potensi kehidupan manusia. Pertama, hajatul udhowiyah yakni kebutuhan jasmani. Seperti kebutuhan akan makan dan minum, karenanya ia merasa lapar dan haus. Selain itu kebutuhan tidur, karenanya ia merasa mengantuk. Kebutuhan buang air kecil dan buang air besar, karenanya ia merasa kebelet buang air, dst.

Kedua, gharizah yakni naluri. Naluri ini merupakan suatu keinginan yang muncul pada diri manusia, ada tiga jenis naluri yang dimiliki oleh manusia. Yaitu naluri beragama/mengagungkan sesuatu yang disebut dengan gharizah tadayun.

Manifestasi gharizah tadayun adalah manusia menjalankan shalat, puasa ramadhan, haji, dsb. Bahkan yang mengaku anti tuhan (atheis) pun tetap memiliki potensi naluri tadayun ini. Hanya saja salah sasaran yaitu ia mengagungkan raja, presiden, atau sesuatu yang ia anggap lebih besar dari dirinya sendiri. Maka hati-hati dalam hidup jangan sampai manusia justru menuhankan ‘dunia’ di dalam hatinya. Sepatutnya sebagai abdillah (hamba Allah) kita hanya menempatkan Allah sebagai yang Maha segala Maha, yang mampu berkuasa pada hidup kita disaat kita merasa kerdil dan terbatas.

Naluri kedua adalah gharizah baqo’ atau keinginan untuk mempertahankan diri. Contoh kecilnya, saat kita ditonjok ada rasa ingin menonjok balik. Atau keinginan kita untuk berprestasi dan mengejar mimpi, itu manifestasi dari gharizah baqo’ ini. Maka sepatutnya gharizah baqo’ yang acapkali memainkan peran ego yang cukup besar ini bisa kita tundukkan dengan syariat Allah.

Naluri ketiga adalah gharizah nau’ atau naluri berkasih sayang dan melestarikan keturunan. Contoh nyatanya keinginan setiap insan untuk mencintai dan dicintai, sayang pada orangtua pun termasuk pada naluri ini, menikah, dsb. Maka sebagai hamba Allah, memenuhi naluri ini harus pada koridor-Nya. Jangan sampai karena nafsu ingin dicintai dan mencintai, akhirnya menanggalkan kehormatannya dengan melakukan perzinahan, na’udzubillah.

Fakta salah arah pada pemenuhan gharizah telah banyak kita saksikan dalam kehidupan sosial kita. Angka seks bebas sudah pada tataran yang amat mengkhawatirkan. Belum lagi praktik LGBT yang telah menyalahi kodrat manusia. Ini baru dari potret buramnya kehidupan manusia yang menegasikan syariat Islam.

Ketiga, akal. Akal fungsinya sebagai al-faruq atau furqon, yakni pembeda antara hak dan bathil. Untuk mewujudkan akal dengan proses berpikir pada manusia, kita harus mengaitkan fakta sebagai realitas masalah yang diindera dengan informasi sebelumnya (ma’lumat tsabiqoh) yang disimpan di dalam memori otak.

Dari sini kita sudah harus clear perbedaan antara akal dan otak. Mengapa di dalam Al-Qur’an, Allah banyak menyebutkan lafaz akal sebagai qulub selain aql. Itu karena qulub digunakan untuk memahami. Maka sangat tidak bisa kita menyamakan fungsi otak dengan akal. Otak hanyalah salah satu organ tubuh manusia yang juga dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah lain seperti hewan. Sementara akal adalah proses berpikir yang dilakukan untuk memahami sebuah realitas. Inilah hakikat manusia secara kaffah.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.